Senin, 19 Desember 2011

DOU LABO DANA MBOJO (Peran Ulama Bima dalam mengembangkan Islam di Asia)

Pada abad 16 M, Dana Mbojo sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para pedagang Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di wilayah Nusantara. Pada saat inilah kemungkinan para pedagang Demak datang ke Dana Mbojo selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam. Ketika Islam muncul sebagai agama yang besar pengaruhnya di kawasan Nusantara pada abad 16 M, “dou labo Dana Mbojo” (rakyat dan negeri Mbojo) masih diselimuti ajaran agama budaya warisan leluhur yang bernama makamba makimbi. Raja-raja sebagai hawo ro ninu (pengayom dan pelindung) rakyat masih memegang teguh agama makamba makimbi. Atas kehendak Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka pada pertengahan abad 16 M, para pedagang Demak, Ternate dan Aceh datang ke Dana Mbojo mengajak masyarakat untuk meninggalkan agama lama dan menerima agama samawi yang bernama Islam. Karena pada masa itu Dana Mbojo merupakan kerajaan maritim, maka para pedagang Mbojo banyak yang berkunjung ke pusat-pusat perdagangan Islam, seperti Demak, Aceh dan Ternate. Mereka bergaul dan berinteraksi dengan para pedagang Islam. Mungkin mereka sudah ada yang memeluk agama Islam, dan ikut aktif memperkenalkan agama Islam kepada keluarga dan sanak saudaranya Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa Tome Pires (Portugis), memberikan keterangan ketika berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M melukiskan keadaan Bima sebagai berikut: “Pulau Bima adalah pulau yang diperintah oleh seorang Raja kafir (Makamba-Makimbi, penulis). Dimilikinya banyak perahu dan banyak bahan makanan, serta juga daging, ikan dan asam, dan juga banyak kayu sopang yang dibawanya ke Malaka untuk dijual di Cina, kayu sopang itu tipis dan harganya di Cina lebih murah dari kayu sopang Siam yang tebal dan bermutu. Bima juga memiliki banyak budak dan banyak kuda yang dibawanya ke Jawa. Perdagangan di pulau ini ramai, orang hitam berambut lurus. Terdapat banyak dusun, banyak orang dan banyak hutan. Orang yang berlayar ke Banda dan Maluku singgah disitu dan membeli berbagai jenis kain yang kemudian dijualnya di Banda dan Maluku. Pulau itu juga memiliki sedikit emas. Mata uang Jawa yang berlaku disitu. Tome Pires memaparkan “… oleh karena modal mereka kecil, sedangkan awak perahu mereka budak, maka mereka memanjangkan pelayarannya supaya lebih beruntung: dari Malaka mereka membawa barang untuk dijual di Jawa, disitu mereka membeli barang lain untuk dijual di Bima dan disitu mereka membeli berbagai kain untuk dijual di Banda dan Maluku sebagai tambahan barang-barang yang tersedia. Bagaimana peranan Demak terutama pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521-1546) dalam penyiaran Islam di Nusantara bagian timur?, hal ini dapat diketahui dari catatan riwayat perjuangan Sunan Giri, salah seorang wali yang sangat dihormati di Demak. “ Sungguh amat besar jasa Sunan Giri semasa hidupnya, karena beliaulah yang mengirimkan utusan (mission secret) keluar Jawa. Mereka terdiri dari pelajar, saudagar, nelayan. Mereka dikirim oleh Sunan Giri ke Pulau Madura, juga ke Bawean dan Kangean, bahkan sampai ke Ternate dan Haruku di Kepulauan Maluku. Amat besar pengaruh Sunan Giri terhadap jalannya roda pemerintahan di Kerajaan Demak. Sehingga soal yang penting senantiasa menantikan sikap dan keputusan yang diambil oleh Sunan Giri. Oleh para wali lainnya, beliau dihormati dan disegani. Waktu dulu Giri adalah menjadi sumber ilmu keagamaan dan termashur di seluruh tanah Jawa dan sekelilingnya. Dari segala penjuru, baik dari kalangan atas maupun kalangan bawah banyak yang pergi ke Giri untuk berguru pada Sunan Giri. Beliaulah kabarnya yang menciptakan Gending Asmaradana dan Pucung. Daerah penyiarannya sampai ke Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Madura. Menurut riwayat, Sunan Girilah yang menghukum sesat terhadap diri Syech Siti Jenar karena mengajarkan ilmu yang berbahaya pada rakyat. Sunan Giri adalah terhitung seorang ahli pendidik (paedagog) yang berjiwa demokratis”. Selain Demak, Ternate juga memiliki peran penting dalam mewujudkan proses Islamisasi di Daerah Bima. Ternate merupakan satu-satunya negara Islam di Nusantara bagian timur, yang pada abad 16 M muncul sebagai pusat penyiaran Islam. Tanpa mengurangi jasa para saudagar Arab yang lebih awal datang menyiarkan Agama Islam di Ternate, peranan Demak dalam perkembangan Islam di negeri itu cukup besar. Pada masa pemerintahan Sultan Trenggono, salah seorang wali yaitu Sunan Giri telah banyak mengirim mubalig ke Ternate dan Haruku di Kepulauan Maluku. Sebaliknya banyak orang-orang Ternate yang pergi belajar agama ke Giri. Menurut catatan raja-raja Ternate, pada tahun 1495 M, Zainal Abidin Sultan Ternate pertama, mewakilkan pemerintahan kepada salah seorang keluarganya, lalu baginda melawat ke tanah Jawa, memperdalam pengetahuan tentang Islam kepada Sunan Giri. Maka oleh karena telah ramainya orang-orang Islam dari Jawa, atau dari tanah Melayu datang ke Maluku dan orang Maluku melawat ke tanah Jawa dari Haitu, selain Sultan sendiri, adalah Patih Putah, yang setelah kembali dari memperdalam pengajiannya di Jawa, telah menyiarkannya dengan amat giat ke negerinya. Pada masa Sultan Baabullah (Tahun 1570-1583), usaha penyiaran Islam semakin ditingkatkan dan pada masa beliaulah, para mubalig dan pedagang Ternate meningkatkan kegiatan dakwah di Dana Mbojo. Pada masa pemerintahan Sultan Babullah, Ternate mengalami kejayaan, beliau memperluas wilayah daerahnya sehingga kira-kira pada tahun 1850 M, menguasai kepulauan yang tidak kurang dari 72 banyaknya. Daerahnya membentang dari Mindanao (Philipina) di Utara sampai Bima di Selatan dan Irian di Timur, sampai Sulawesi Barat. Ia tewas dalam tahun 1583 dan digantikan oleh anaknya Sahid Barkat (H.J. Van Den Berg, DR.H. Kroe Kamp, tahun 1954, hal. 218). Diantara 72 pulau (negeri) yang dikuasai Baabullah disebutkan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat dan Sangaji Mena di Bali. Kemungkinan yang dimaksud dengan Sangaji Kore di Nusa Tenggara Barat dalam kutipan ini adalah nama lain dari Sanggar, kalau kemungkinan itu benar, maka pada masa itu Kore (Sanggar) dan Dana Mbojo sudah didatangi oleh para mubalig Ternate untuk menyiarkan agama Islam. Selain dua daerah yang disebutkan diatas, kehadiran para Mubhalig dari Sulawesi (Luwu, Bugis, Gowa dan Tallo) turut menambah daftar daerah yang berusaha mengislamkan Dana Mbojo. Untuk hal ini, menurut Bo Istana yang ditulis pada 18 hari bulan Rabi’u Akhir 1270 H, bahwa “ Hijratun Nabi Saw samad seribu dua puluh delapan, sebelas hari bulan Jumadilawal telah datang di Labuhan Sape saudara Daeng Mangali di Bugis Sape dengan orang Luwu, Tallo dan Bone untuk berdagang. Kemudian pada malam hari datang menghadap Ruma Bumi Jara yang memegang Sape untuk menyampaikan sebuah Cilo dan kain Bugis, dan sepucuk surat sepupu Ruma Bumi Jara di Bone bernama Daeng Malaba. Adapun saudaranya itu mengabarkan bahwa orang-orang itu berdagang cilo, kain dan keris serta membawa agama Islam. Kerajaan Gowa dan Tallo dan Luwu dan Bone sudah masuk Islam dan Daeng Malaba dan keluarganya semua masuk Islam. Dimintanya Bumi Jara agar jadi Islam dan membawa orang-orang itu menghadap Ruma Bicara Ama Lima Dai, sebab ada persembahan untuk Ruma Bicara. Pada saat itu, Ruma Bicara telah wafat dan tidak diketahui oleh orang-orang Tallo dan Bone. Orang-orang itu dibawa oleh Bumi Jara kepada adik Ruma Bicara bernama Rato Waro Bewi dan anak Ruma Bicara La Mbila. Tiada di rumah, karena sudah pergi ke Dusun Teke menjaga Ruma Ta Ma Bata Wadu (La Ka’I) disuruh oleh Rato Waro Bewi karena Ruma Ta Ma Bata Wadu dikejar-kejar oleh Mantau Asi Peka hendak dibunuh. Setelah keberhasilan Ruma Ta Ma Bata Wadu (La Kai) lolos dari kejaran Raja Salisi, ternyata membawa angin segar bagi perkembangan Islam selanjutnya di Daerah Bima. Kehadiran Dato’ Ri Bandang di Daerah Bima kemudian membawa kepastian dalam diri La Kai sehingga pada waktu selanjutnya setelah melakukan sumpah di Raba (Dam) Parapi, La Kai kemudian di Bai’at dan sekaligus merubah namanya dari La Kai menjadi Abdul Kahir. Cita-cita dan usaha Abdul Kahir sebagai Sultan Pertama daerah ini (Bima) ternyata tidak berputus setelah Ia wafat. Sampai pada masa kepemimpinan Sultan Ibrahim, panji-panji Islamiah masih tetap berkibar di Dana Mbojo sebagai suatu Negeri yang memiliki kedaulatan walau dalam hal ini tidak sepenuhnya karena Pemerintah Kolonial Belanda masih ada atau tetap bercokol di Bumi Maja Labo Dahu. Setelah mangkatnya Sultan Ibrahim, tiba giliran seorang anak muda yang bernama Muhammad Salahuddin menduduki posisi penting sebagai pengganti ayahandanya dalam mengemban tugas berat sebagai Hawo ra Ninu ba Dou ma labo Dana ro Rasa (Pemimpin bagi Masyarakat dan Negeri) yaitu menjabat sebagai Sultan. Dengan modal ilmu agama yang luas, Sultan Muhammad Salahuddin kemudian bersama ulama anggota Lembaga Majelis Syar’iyah bekerja keras untuk mempertahankan kejayaan Islam. Pada hakekatnya Lembaga Majelis Syar’iyah meneruskan tugas dan fungsi Lembaga Sara Hukum yang telah dibubarkan oleh penjajah Belanda. Tetapi peranannya di bidang hukum sudah ada yang diambil alih oleh lembaga Peradilan Pemerintah Kolonial Belanda, seperti kasus pencurian, pembunuhan dan perjinahan. Kendati demikian bagi mereka yang terlibat dalam kasus-kasus tersebut, tetap menerima sanksi berdasarkan hukum adat, yang akan ditetapkan oleh Majelis Syar’iyah bersama Sultan. Mulai saat itu, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan “Uma Bui” (Rumah Bui atau Penjara). Mereka yang pernah menerima hukuman karena berjinah, mencuri dan perbuatan sejenis, merasa malu dan aib. Karena itu banyak diantara mereka yang melakukan “Paki Weki” yaitu pergi mengasingkan diri ke daerah-daerah lain, sambil bertaubat kepada Allah SWT. Langkah awal yang dilakukan oleh para ulama anggota Majelis Syar’iyah ialah melanjutkan kegiatan pendidikan yang berpusat di masjid dan langgar. Para orang tua yang mempunyai anak-anak usia dini (5 – 17 tahun) diwajibkan menyerahkan putra-putrinya kepada guru ngaji. Agar mereka bisa membaca Al Qur’an dan dapat melakukan sholat dengan benar. Setelah berumur 13 tahun ke atas mereka akan memperdalam ilmu agama di masjid dan langgar. Para ulama yang berperan pada masa-masa awal pemerintahan Sultan Muhammad Salahuddin pada umumnya mantan pimpinan Lembaga Sara Hukum, seperti Syekh Mansyur, Syekh Muhammad dan para ulama lokal Mbojo pernah menuntut ilmu agama di Makkah dan Madinah. Pada waktu yang bersamaan jumlah masjid dan langgar ditingkatkan. Kegiatan tersebut tidak dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda. Karena sesuai dengan pola Snouck yang menganjurkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberi kebebasan kepada umat Islam dalam melaksanakan ibadah. Rupanya Snouck membuat kekeliruan dalam merumuskan pola tersebut. Dia lupa bahwa bagi umat Islam urusan ibadah tidak bisa dilepaskan dengan urusan muamallah. Nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah sholat, puasa, zakat dan naik haji, akan diamalkan dalam kegiatan di bidang muamallah. Mungkin dia menyangka bahwa pelaksanaan ibadah tidak ada kaitannya dengan urusan muamallah. Mungkin dia samakan dengan fungsi ibadah bagi umat Nasrani. Pada periode tahun 1917 – 1937 ada tiga orang ulama Bima yang menjadi guru di Makkah, yaitu Syekh Abubakar Ngali, Syekh Hamzah Cenggu dan Syekh Abidin Dodu. Ketiga ulama ini menjadi guru, para pelajar yang datang dari berbagai penjuru Nusantara. Pada periode sebelumnya yaitu pada akhir abad XIX M, seorang ulama Bima yang terkenal di Makkah adalah Syekh Abdul Al Ghani Bima. Beliau adalah ulama berdarah Arab yang lahir dan besar di Bima. Dengan demikian sejak akhir abad XIX – pertengahan abad XX M, ulama Bima sudah punya andil dalam penyebaran Islam di wilayah Asia Tenggara. Murid-muridnya setelah kembali ke daerah dan negara masing-masing menjadi ulama Haramain yang terkenal. Setelah lama mengabdi dalam dunia pendidikan di Makkah dan Madinah, Syekh Abubakar Ngali, Syekh Hamzah Cenggu dan Syekh Abidin Dodu kembali ke Bima. Mereka diangkat sebagai pejabat Majelis Syar’iyah. Salah satu diantaranya yaitu Syekh Hamzah Cenggu, diangkat menjadi Lebe Na’e Karumbu. Pada periode ini H. Abdul Rasyid Sape juga kembali ke Bima. Pada tahun 1933 M, para ulama Bima yang bermukim di Makkah banyak yang kembali. Setelah kembali ada yang diangkat sebagai anggota Majelis Syar’iyah dan ada pula yang aktif sebagai Guru Agama di desa-desa. Dari sekian banyak ulama yang kembali pada tahun 1933 diantaranya adalah Tuan Guru H. Ishaka Abdul Qadir Rabangodu dan Tuan Guru H. Usman Abidin. Kemudian pada tahun 1941 datang pula H. Muhammad Saleh Abdul Qadir Monta dan H. Abdul Malik Sulaiman Ngali (Prof. DR. Abdul Gani Abdullah, 2004 : 186, 192, 194). Dalam waktu yang bersamaan H. Rauf Nata, H. Hamzah Nata, H. Sanusi Teke, H. Yasin Teke dan beberapa orang ulama dari Dena, Dodu, Sumi, Simpasai dan Lanta Sape kembali ke Bima. H. Yasin Teke diangkat sebagai “Lebe Dala” karena itu populer dengan sapaan “Ruma Lebe Dala”.

Tidak ada komentar: