My BOOK

MATAHARI TERBIT DI DORO LONDA
Y.H. AHMAD Editor : Iskandar Dinata, M.AP Diterbitkan Oleh OIVANDA`S Salaja Baca Bekerjasama Dengan KKS Yogyakarta Dan Yayasan Darul Husna Bima Hak Cipta © Pada Penulis Kupersembahkan Karya Ini Kepada : Ananda Tercinta YUSMI PUTRA BILMANA dan YUSMI PUTRA SULHAM. Semoga kalian terlahir sebagai pembaharu dalam dunia Pendidikan Indonesia, khususnya bagi kemajuan pendidikan Dana Mbojo. BAB I BIMA DAN KESULTANAN BIMA SEBELUM PENDUDUKAN JEPANG A. MASA PENDUDUKAN BELANDA Sejarah mencatat bahwa Bangsa Indonesia dijajah oleh Belanda selama tiga setengah abad (350 Tahun). Sebagaimana daerah-daerah lain di Nusantara, Bima juga tidak ketinggalan menjadi bagian dari wilayah jajahan Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda mulai memasukkan Nusa Tenggara sebagai bagian dari wilayah jajahannya di Indonesia adalah pada tahun 1915. Bima sebagai bagian dari Nusa Tenggara tentu saja tidak terlepas dari penderitaan kedikdayaan Belanda dengan sistem kerja paksa dan politik adu dombanya. Nusa Tenggara adalah sebutan bagi wilayah yang terletak di sebelah timur Bali, yang berarti pulau di sebelah Tenggara. Pada masa kolonial, Nusa Tenggara dikenal sebagai Kleine Soenda-Eilanden (Kepulauan Sunda Kecil). Hal ini untuk membedakannya dari kepulauan Sunda besar yang mencakup Jawa, Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, dan Irian Jaya. Sekarang pengertian umum mengenai Kepulauan Sunda Kecil meliputi Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores, Timor serta berbagai pulau kecil di sekitarnya, yang secara keseluruhan memiliki luas 73.614 km2. Kehadiran Belanda di Bima ditandai dengan mendaratnya Stephen van Hegen sebagai orang Belanda pertama yang mengunjungi Bima. Setelah kedangan orang Belanda, keadaan politik dan ekonomi di daerah ini diubah oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) melalui perjanjian antara Makassar dan Bima. Pada tahun 1669, Bima mengadakan ikatan perdamaian dan persahabatan dengan Belanda. Ditandatanganinya Pakta Tiga Negara di Berlin oleh Jepang bersama Jerman dan Italia pada tanggal 27 September 1940 mengakibatkan pemerintah Belanda di Belanda dan Hindia Belanda berada di bawah tekanan. Ekspansi militer Jepang membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.W.L Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-1945), meninggalkan posisi netral di Pasifik. (Ardhana, 2005 : 298). Berakhirnya pendudukan Belanda di Indonesia dipengarahi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah: Pertama, krisis ekonomi tahun 1929 dan diikuti oleh suatu masa depresi ekonomi yang lama disebabkan kekerasan kepala pemerintahan hindia Belanda yang menolak segala tindakan devaluasi “gulden” (Onghokham, 1998 : 81). Kedua, pada bulan November 1940 dalam keadaan negeri Belanda diduduki Jerman dan adanya ancaman-ancaman dari Jepang pemerintah Hindia Belanda menerima dua laporan tentang keadaan politik (van der Wal dalam Onghokham, 1998 : 140). Ketiga, adanya usaha Jepang untuk menyapu bersih pasukan-pasukan Belanda dan sekutu serta pengambilalihan pemerintahan (walau memerlukan waktu berbulan-bulan). Kekuatan militer Belanda tumbang; hanya ada segelintir gerombolan tentara yang masih tetap bertahan di beberapa daerah terpencil. Kebanyakan rakyat Indonesia tidak memberi bantuan kepada mereka. Di beberapa daerah orang Indonesia menyerang serdadu-serdadu dan warga sipil Belanda, sehingga satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri ialah menyerah kepada pihak Jepang (Ricklefs, 1999 : 298). Menyerahnya Belanda kepada Jepang pada bulan Maret 1942 telah dianggap sebagai titik terakhir dari kekuasaan kolonialnya di Indonesia yang telah berlangsung selama tiga setengah abad. Namun tanpa peristiwa itupun, sesungguhnya awal dari proses runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia telah nampak sejak benih-benih nasionalisme Indonesia modern mulai menampakkan dirinya. Proses itu makin nyata pada pertengahan tahun 1920-an hingga awal tahun 1940-an dengan munculnya aspirasi dan gerakan-gerakan nasionalis yang dengan tegas menuntut kemerdekaan Indonesia. Situasi internasional yang ditandai oleh perang dunia II, menjadikan Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda di Indonesia selama tiga setengah tahun, hanyalah factor yang mempercepat proses keruntuhan tersebut yang sudah berakar jauh sebelumnya. Keruntuhan tersebut, menjadi bagian berakhirnya pendudukan Belanda di nusantara, termasuk di daerah Bima. B. BIMA DALAM SEJARAH Dalam pembabakan sejarah daerah Bima, terdapat lima zaman dalam perkembangannya. Pembabakan ini berdasar pada fakta atau realita yang terjadi di daerah Bima, adapun ke lima zaman tersebut adalah : 1. Zaman Naka (Masa pra sejarah); 2. Zaman Ncuhi (Masa hidup berkelompok); 3. Zaman Kerajaan; 4. Zaman Kesultanan; dan 5. Zaman Kemerdekaan. Hampir senada dengan hal tersebut, Hilir (2004 : 22), melihat bahwa perkembangan politik dan pemerintahan di Bima mengalami perkambangan bentuk yang disesuaikan dengan tatanan masyarakat pada masing-masing zamannya. Sehingga sistem politik dan pemerintahan yang pernah tumbuh dan berkembang dalam sejarah Bima adalah : 1. Masa Naka (Zaman Prasejarah); 2. Masa Ncuhi; 3. Masa Kerajaan; 4. Masa Kesultanan; 5. Masa Swapraja; 6. Masa Swatantra; dan 7. Masa Kabupaten Dati II. Pada masa Ncuhi terdapat lima Ncuhi, yang masing-masing memegang suatu wilayah kekuasaan meliputi daerah lembah dan pegunungan yang luas. Adapun kelima Ncuhi tersebut, yaitu : 1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Tengah. 2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Selatan. 3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Barat. 4. Ncuhi Banggapupa, memegang wilayah Utara. 5. Ncuhi Doro Wuni, memegang kekuasaan Wilayah Timur. (M. Hilir Ismail, 2004 : 26). Sedangkan munculnya masa kerajaan di Bima diawali oleh kedatangan seorang tokoh dari Jawa yang meletakkan batu pertama sekaligus membuka hubungan antara perdagangan dengan warga setempat, dialah Sang Bima yang mempersunting Putri Sari Naga yang kemudian melahirkan dua orang putra, masing-masing bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud kemudian dinobatkan oleh Ncuhi sebagai raja pertama di Bima dan Indra Kumala menjadi raja pertama di Dompu. Adapun jumlah raja di Bima yaitu empat belas orang dan raja terakhir adalah La Kai. La Kai inipun selanjutnya menjadi sultan pertama di kesultanan Bima. Kemudian namanya diganti berdasarkan budaya Islam, sehingga menjadi Sultan Abdul Kahir dengan gelar Ma Bata Wadu. Sedangkan jumlah Sultan yang memerintah kesultanan Bima sebanyak 13 orang, satu diantaranya adalah sultan perempuan yang bernama Sultan Komala Syah Bumi Partiga yang kemudian dipersunting oleh Sultan Abdul Qudus di Gowa. Pada tahun 1915, tonggak pimpinan Kesultanan Bima mulai dipegang oleh Muhammad Salahuddin sebagai Sultan. Beliau menggantikan kedudukan ayahandanya Sultan Ibrahim yang mangkat pada tanggal 16 Desember 1915. Sultan Muhammad Salahuddin adalah orang yang sangat jenius. Seorang autodidak yang ulet sehingga mampu membaca huruf latin tanpa melalui pendidikan formal. (Tajib, 1995 : 75). Kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh Sultan Muhammad Salahuddin ini merupakan modal yang paling berharga dalam melengkapi diri guna mengemban tugas berat memimpin Kesultanan Bima sebagai Hawo Ro Ninu (Pengayom Rakyat). Selain memiliki kecerdasan yang tinggi, beliau juga merupakan sosok manusia yang tegas. Hal itu beliau perlihatkan dengan melakukan penolakannya untuk bekerjasama dengan pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa Sultan Muhammad Salahuddin ini pula, Bima membangun tonggak sejarah dalam hal perlawanan terhadap Hindia Belanda, yaitu dengan melakukan aksi-aksi perebutan kekuasaan. Tentu dengan adanya hal seperti ini, suhu politik di daerah ini pun kian memanas dan terjadi kemelut politik. Pembentukan Komite Aksi yang diprakarsai oleh Laskar Bima yang dipimpin oleh Mahmud Qasmir merupakan pelopor adanya aksi perebutan kekuasaan tersebut. Dukungan dari sang Sultan pun mengalir untuk para laskar demi cita-cita membebaskan Dou Mbojo (Masyarakat Bima) dari penindasan dan sikap sewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda. Pada hari Ahad tanggal 5 April 1942 pukul 07.00 Wita merupakan hari yang direncanakan oleh para laskar untuk melakukan aksi perampasan kekuasaan, di dalam melakukan aksi sudah barang tentu dipersiapkan strategi-strategi yang begitu matang. Buktinya dapat disimak melalui kalimat berikut : “Pada malam hari menjelang hari yang direncanakan itu, Aritonang bersama dengan teman-temannya serdadu NKIL yang berjiwa Nasionalis manawan komandannya seorang kapten berkebangsaan Belanda, melucuti senjata serdadu KNIL lainnya. Setelah itu mereka membagi diri ke sasaran-sasaran lainnya yang meliputi; Pusat alat komunikasi di Kota Bima, Tangsi polisi Raba, Rumah para pejabat Belanda, Kantor Sentral Telefon Raba, Radio Kamar Bola dan Stasiun Tolomundo. Kemudian berusaha menahan yang ingin melarikan diri supaya rencana tidak bocor.” (Abdullah Tajib, 1995 : 308) Mencermati pemaparan tersebut, dapat diketahui bahwa gerakan atau aksi yang dilakukan oleh para serdadu KNIL yang membelot tersebut tersusun dengan rapi, dan tentunya telah diperhitungkan dengan tepat, cermat, dan teliti. Setiap tempat yang menjadi sasaran dalam aksi perebutan tersebut dikomandoi oleh seorang pemimpin laskar untuk setiap regunya. Seperti di Tangsi Polisi Raba, dipimpin langsung oleh Aritonang, sementara di pusat alat komunikasi Centeral Telefon Raba dan Stasiun Tolomundo dipimpin oleh Muhammad Qasmir. Aksi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh para laskar pada hari Minggu tanggal 5 april 1942 tersebut mencapai hasil yang memuaskan, hal ini dilihat dari keberhasilan laskar menahan beberapa pejabat dan orang-orang penting Belanda seperti; Mr. Hachman (Controleur Bima), Karsedon (Agen KPM), Kemper (Inspektur Polisi), Vander Capellen (Hoofd Opzieghter Bima), Muller (Hoofd Cipier Bima), dan Damal Adu (Mantri Polisi). Ada juga yang lolos dan berhasil melarikan diri diantaranya; Pons (Administratur AVB=BRI), J.W. Ros (Boch Architecs Bima) atau yang lebih dikenal dengan Tuan Jati Komba, serta H. E. Haak (Asisten Residen Sumba-Sumbawa) yang kebetulan pada saat aksi berada di Sumbawa. Lolosnya tiga orang Belanda itu menurut Abdullah Tajib membawa dampak yang negatif bagi kesultanan Bima. Asisten Residen Hindia Belanda Sumba-Sumbawa H. E. Haak., yang lolos dalam aksi tersebut, mengadu pada Sultan Sumbawa (Kaharuddin) mengenai aksi yang dilancarkan oleh laskar Bima dengan berita bohong. Di mana H. E. Haak memberitakan bahwa aksi tersebut adalah aksi menentang Sultan Bima yang dilakukan oleh para laskar pemberontak, dan laskarpun berhasil menahan sultan sebagai sandera. Apa yang diberitakan oleh Asisten Resinden ini tentu menbuat telinga Sultan Sumbawa menjadi panas (emosi). Sebab Sultan Sumbawa merupakan Menantu dari Sultan Bima. Atas berita ini Sultan Sumbawa berinisiatif untuk megirimkan cipier-cipier (Polisi) Sumbawa untuk menghentikan aksi yang dilakukan oleh laskar Bima tersebut. Mengenai pemberitaan bohong itu lebih jelasnya dapat dicermati pada petikan kalimat di bawah ini : “Di Sumbawa besar sedang dikembangkan isu bahwa Sultan Bima sudah ditangkap beserta orang-orang belanda dan dipenjarakan. Asisten Residen H. E. Haak minta bantuan Capier (Polisi) serta Serdadu KNIL untuk melepaskan Sultan Bima dan Orang-orang Belanda dari tangan pemberontak. Sultan Sumbawa pun terpancing isu tersebut, karena dia merupakan menantu Sultan Bima. Polisi Sumbawa pun di kerahkan, serangan balik ke Bima akan dilancarkan pada tanggal 12 April 1942.” (Tajib, 1995 : 309). Apa yang direncanakan oleh Sultan Sumbawa ternyata dapat diketahui oleh Sultan Bima. Informasi tersebut didapatkan lewat kerja keras para utusan laskar yang berhasil menyusup masuk ke Sumbawa. Hal ini sesuai dengan wawancara berikut : “Kami pergi ke Sumbawa untuk mencari informasi tentang apa yang akan dilakukan oleh beberapa orang yang berhasil meloloskan diri ke Sumbawa. Kemudian berita itu kami mengabarkannya pada Jeneli Kempo untuk segera melaporkan ke Sangaji Mbojo (Sultan Bima).” (H. Abdullah Muhammad, Wawancara 31 Mei 2005). Laporan yang disampaikan oleh para kurir kepada Jeneli Kempo yang kemudian dilanjutkannya kepada Sultan Bima. Sehingga membuat Sultan Bima mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat bersama dengan para laskar untuk menyusun strategi dalam rangka menghadang utusan dari sultan Sumbawa. Lebih jelasnya tentang hal itu dapat disimak dari hasil wawancara dengan H. A. Wahab (Wawancara, 30 Mei 2005) sebagai berikut : “Sebelum pergi menghadang di Sori Utu, pada waktu malam kami berkumpul bersama Sangaji Mbojo untuk membicarakan apa yang harus di perbuat. Setelah itu, Sangaji pun melepas kami dengan sapaan Lembo ade paja sara mu, su`u pu sawa`u siapu sawale, parenta ra nggahi sara diru`u ba dou mamboto labo dana (Sabar dan pasrahlah, junjung tinggi sekuat tenaga, tahan sedapat-dapatnya perintah pemerintah untuk orang banyak dan tanah leluhur).” Penuturan H. A. Wahab tersebut sama dengan pendapat Tajib (1995) yang menjelaskan bahwa Lembo ade paja sara, su`u sawa`u sia sawale, parenta sara di ru`u dou labo dana. Dalam persiapan untuk menyongsong kedatangan pasukan dari Sumbawa tersebut, menghasilkan kesepakatan untuk membuat suatu laskar penangkal. Adapun laskar penangkal yang dimaksud dalam rapat Komite Aksi Bersama Sultan Bima tersebut adalah suatu laskar inti yang terdiri dari serdadu KNIL dan Polisi yang berjiwa nasionalis yang dipimpin oleh Aritonang dan dibantu pula oleh pemuda-pemuda pergerakan yang tergabung dalam laskar Bima. Laskar ini di persiapkan untuk menghadang kedatangan pasukan dari Sumbawa dimanapun mereka bertemu, tanpa harus menunggu sampai mereka tiba di Kota. Setelah dipersilahkan oleh Sultan, pasukan (Laskar) Bima bergerak melintasi jalan lintas Sumbawa-Bima. Hingga pada subuh hari tepatnya di Sori Utu (Sekarang berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Dompu) mereka melihat konvoi kendaraan dari arah yang berlawanan. Para Laskar-pun mengatur siasat guna melakukan perlawanan. “Dimulai waktu subuh itu terjadi baku tembak antara pasukan laskar Bima dengan pasukan Sumbawa, yang menyebabkan La Dri (Idris Hakim) meninggal.” (Yusuf Saleh, Wawancara 30 Mei 2005). Keterangan lain tentang peristiwa tersebut dapat disimak pada petikan kalimat berikut : “Pada malam buta, pasukan laskar Bima tiba di lembah hutan Sateppe di Sori Utu. Mereka berhenti di ujung jembatan, kemudian mengatur penyerangan di ujung timur jembatan untuk melekukan perlawanan. Ditengah gelapnya malam, terlihat sorotan lampu dari kejauhan memasuki ruas jalan menuju Banggo, hingga menjelang dini hari, pasukan Sumbawa mendekati jembatan dengan melaju sangat pelan dan Laskar Bima tidak membuang-buang waktu, dan langsung melancarkan tembakan. Baku tembakpun terjadi hingga menjelang siang hari.” (Ismail : 35). Ketika pertempuran sedang berlangsung sengit, laskar Bima tiba-tiba menghentikan pertempuran, sembari mengutus salah seorang dari mereka bertemu dengan pimpinan pasukan dari Sumbawa perihal perundingan antara kedua belah pihak dalam rangka penghentian tembak menembak. Utusan dari laskar Bima ternyata berhasil bertemu dengan pimpinan pasukan Sumbawa. Kemudian kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan perundingan. Perundingan itupun pada akhirnya menghasilkan kesepakatan untuk menghentikan pertempuran. Kedua belah pihak akhirnya Insyaf, setelah utusan pimpinan laskar Bima menjelaskan sebab musabab terjadinya pertempuran itu, yang ternyata hanyalah politik adu domba yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian, pertempuran itu telah membawa korban di kedua belah pihak, baik korban materil maupun korban jiwa. Di pihak laskar Bima, salah seorang meninggal dunia yakni Idris Hakim. Sebagaimana diungkapkan oleh serang Informan Hamilah, (Wawancara 30 Mei 2005) yang juga mengetahui secara langsung (saksi mata) ketika peristiwa tersebut terjadi dan bahkan dia memiliki hubungan kekeluargaan dengan korban (Sebagai Sepupu). Disamping korban yang meninggal dunia, ada juga yang terkena tembakan yang mengakibatkan luka-luka pada bagian tubuhnya, di antaranya M. Amin Dae Emo. Sementara itu, dipihak pasukan Sumbawa pun terdapat korban, yang diantaranya berkebangsaan Belanda (ketika pertempuran berlangsung ditinggalkan oleh pasukan Sumbawa) yang diangkut oleh pasukan (Laskar Bima) bersama korban lainnya, Idris Hakim dan M. Amin Dae Emo. Setelah terjadi beberapa insiden (perlawanan) terhadap pemerintah Kolonial Belanda antara lain pada tanggal 5 April 1942 yang ditengarai oleh Komite Aksi Rakyat Bima, Belanda akhirnya meninggalkan Kesultanan Bima. Dengan demikian pengaruh dan kekuasaannya berakhir atau dengan kata lain rakyat Bima telah bebas dari belenggu penjajah yang telah lama memporak-porandakan tatanan kehidupan dan berbagai dampak lainnya yang ditimbulkan selama penjajahan Belanda di Bima. Kendati demikian, apakah berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapi masyarakat Bima telah berakhir, atau justru akan memasuki fase baru dengan pelaku yang berbeda, namun tujuannya sama yakni mengadakan eksploitasi terhadap penduduk Bima?. C. KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI BIMA SEBELUM PENDUDUKAN JEPANG Masuknya Bima dalam Pax Nederlandica (Wilayah Jajahan Hindia Belanda) pada tahun 1908 tidak luput dari sejumlah perlawanan rakyat sebagai akibat penolakan mereka terhadap pemerintah Hindia Belanda yang melakukkan penarikan pajak (Balesting) dan Kerja Paksa di Bima. Tiga kali perlawanan rakyat Bima, yaitu: Pertama, pada Tahun 1908-1909 yang dikenal dengan perang Ngali. Kedua, Perang Dena yang terjadi dalam Tahun 1910. Ketiga, Perang Donggo (Lebih dikenal sebagai perang Kala) terjadi antara Tahun 1909-1910 (Tajib, 1995 : 276). Ketiga perang (perlawanan rakyat) di atas rata-rata dipimpin oleh pemimpin agama. Dengan sebuah keyakinan bahwa perlawanan tersebut sebagai bentuk perang suci terhadap orang kafir, akhirnya masyarakat berhasil dihimpun walau tanpa dikoordinir dengan matang sehingga gerakan ini mudah dikalahkan. Untuk mengetahui awal mula dan yang mempengaruhi pecahnya perlawanan rakyat ini dapat diamati dalam penjelasan berikut ini. 1. Perang Ngali (1908) Pada tahun 1905 Sultan Bima mengadakan perjanjian dengan pemerintah Belanda. Sultan Ibrahim memerintah Bima pada tahun 1886 hingga 1915. di tempat ini, peristiwa yang terjadi juga serupa dengan di tempat lain. Sultan telah mengadakan perjanjian dengan pemerintah kolonial Belanda sementara pemerintah Belanda berusaha memperkuat posisi sultan karena adanya konflik dalam kesultanan tersebut. Secara keseluruhan, pada tahun 1905 dibuat perjanjian baru antara pemerintah Belanda dengan empat kesultanan di Sumbawa untuk menggantikan perjanjian-perjanjian yang lama. Akan tetapi, seperti juga di Sumbawa, perjanjian tersebut ditandatangani Sultan Bima tanpa sepengetahuan penduduk. Perjanjian terakhir dengan Sultan Bima dibuat pada 29 Desember 1905. Sementara pemerintah Belanda berhasil mendapatkan tuntutannya, masyarakat kecil menderita akibat perjanjian baru tersebut. Kuperus (dalam Ardhana, 2005 : 114) Berdasarkan perjanjian tersebut, pihak swapraja di daerah ini harus menarik pajak berikut ini. a. Bea cukai impor dan ekspor untuk setiap kuda dan kerbau sebesar 1,50 gulden dan dari barang dagangan sebesar 3% dari nilai barang tersebut, dengan pengecualian uang perak yang bebas diimpor dan diekspor. b. Pajak Monopoli 1) Dari barang yang diselesaikan untuk Sultan oleh penduduk melalui kerja paksa per pikul (62,5 kg), sarang burung dibayar 15-25 gulden oleh Sultan. Harga penjualan sekitar 125-250 gulden, tergantung dari kualitas. 2) Untuk pemotongan kayu kuning (Kayu Tegerang), penduduk harus mendapat izin dari Sultan dan menjualnya sebesar 1,50 gulden per pikul (harga barang di Bima sekitar 3 atau 4 gulden per pikul). 3) Dari penjualan opium c. Kerja Paksa 1) Pekerjaan dari gilda (Dari) 2) Perawatan, tugas menjaga, bekerja di ladang Sultan, pekerjaan di tempat tinggal Sultan dan para bangsawan. Pekerjaan paksa ini dilaksanakan masing-masing orang yang telah tinggal selama beberapa bulan di Bima. Kadang-kadang, beberapa orang harus melaksanakannya tiga hingga empat kali setahun. Selain itu, Sultan menerima mutiara dari nelayan di Laboean Bajo sebesar 4 gulden perpikul mutiara dan kompensasi sebesar 3200 gulden pertahun (Jasper 1908 : 132-133). Berdasarkan perjanjian ini, belanda mempunyai hak untuk menarik pajak di tiap pelabuhan. (Sjamsuddin dalam Ardhana, 2005 : 114-115). Dengan adanya perjanjian ini, hubungan antara Belanda dan Kesultanan Bima memburuk hingga tahun 1907 karena di daerah ini pemerintah Belanda juga memaksakan dilakukannya sensus penduduk untuk menaikkan pendapatan pajak. Akan tetapi, penduduk pribumi tidak mengerti sistem pajak ini dan mengira bahwa tujuan sensus ini untuk mencatat orang sebagai pekerja kontrak (kuli) yang akan dikirimkan ke Jawa. (Sjamsuddin dalam Ardhana, 2005 : 115). Sesuai dengan perjanjian tahun 1905, pemerintah Belanda berhak menarik pajak, seperti pajak perjalanan serta bea cukai impor dan ekspor. Pada tahun 1906, dirancang pajak baru yang disebut Sima-katal-lassang (Makassar), atau Sima asaparang atuwang (Bugis). Pajak baru ini mulai diterapkan pada 1 Januari 1907. Pajak ini disebut sebagai pajak kepala, yang semula dijalankan di Makassar dan kemudia di seluruh Celebes dan daerah sekitarnya. Selanjutnya pajak ini diterapkan juga di Bima, Sumbawa, Dompu, dan Sanggar. Pajak ini menarik 1/20 dari hasil panen padi. Selain itu, setiap keluarga harus membayar 2,50 gulden dan satu pikul beras. Belanda memperhitungkan bahwa pada rahun 1907 mereka akan mendapatkan dana sebesar 30.000 gulden di Sumbawa Besar, 39.000 gulden di Bima (termasuk Manggarai), 5000 gulden di Dompu, dan 150 gulden di Sanggar. Pada bulan Mei 1907, terjadi kerusuhan akibat penerapan pajak tambahan ini di kalangan masyarakat, terutama di daerah Raba, Ngali (Belo), Dena (Bolo), dan Kala (Donggo). Pada Oktober 1907, penduduk Taliwang, yang didukung penduduk pegunungan dan penduduk Raba, menolak mengikuti sensus penduduk. Di Raba, paman dari Sultan Aradja Amin menolak sensus penduduk (Sjamsuddin, dalam Ardhana, 2005 : 116). Sejak tahun 1907 sebagian penduduk menolak mematuhi perintah Sultan. Pada bulan Oktober 1907, Gezaghebber sipil yang baru, A.A. Banse, melaporkan bahwa situasi politik di distrik Bima tidak menguntungkan sementara Sultan Bima, Ibrahim tidak dapat menguasai keadaan. Gubernur Celebes dan daerah sekitarnya, Letnan Kolenel H.N.A. Swart, menerima laporan ini pada bulan November 1907. Dia kemudian mengirimkan van der Zwaan ke Bima untuk melihat keadaan politik di sana (Ardhana, 2005 : 116). Di Bima, Zwaan menyaksikan bagaimana kepala desa dan penduduk Ngali menolak diadakannya sensus dan pembayaran pajak. Zwaan kembali ke Makassar dan melaporkannya kepada Gubernur Swart. Gezaghebber sipil, A.A. Banse, juga melapor kepada Swart bahwa Raja Amin dan Jeneli Monta, saudara lelaki Raja Amin, mendukung gerakan antipajak ini. (Sjamsuddin, dalam Ardhana, 2005 : 116). Berdasarkan informasi ini, Gubernur Swart memutuskan melancarkan serangan terhadap Ngali. Ekpedisi ke Bima ini dipimpin oleh Kapten Liefrinck. Pada bulan Januari 1908, Belanda mengirimkan Marechaussee ke Bima. Kesatuan polisi yang terdiri atas 5 brigade (regu) polisi militer, sebuah ambulans, empat mandor dan 72 pekerja paksa ini berangkat pada 16 Februari 1908 dari Makassar ke Bima dengan menumpang kapal Both. Pada 19 Februari 1908, mereka diperintahkan menuju Kampung Ngali. Kedatangan Belanda ini menjadi awal pecahnya perang Ngali. Tokoh masyarakat dan para alim ulama sebagai pemimpin agama mampu mempengaruhi rakyatnya untuk berjuang melawan orang Belanda sebagai orang kafir (Dou Kafi) dan perjuangan tersebut diyakini sebagai upaya mempertahankan ideologi sekaligus perjuangan fi sabilillah. Para pemimpin agama waktu itu antara lain adalah Haji Abdul Karim, Haji Se, Haji Yasin, La Iboe (Abbas Daeng Manassa), Salasa Ompu Kapa`a (Kepala Desa) dan Bagda (Bagdad). Para pemuka agama ini berhasil menghimpun rakyat demi perjuangan membebaskan diri dari pembayaran pajak (Gerakan Antipajak). Perlawanan ini tidak hanya terhadap Belanda saja, tetapi termasuk Sultan dan pegawai negeri modern yang bekerja sama dengan penguasa kolonial. Dengan mengenakan pakaian serba putih dan bendera putih mereka sebagai lambang perang suci mereka memusatkan diri di masjid sebagai markas gerakan. Dengan keadaan seperti ini, Belanda menyerang Ngali dari arah utara dan selatan. Dalam pertempuran tersebut, Haji Abdul Karim dan Haji Se tewas, sedangkan di pihak Belanda seorang perwira terbunuh. Pada 19 Februari 1908, perlawanan berakhir dan Belanda berhasil menguasai Ngali. 2. Perang Dena Perang Dena adalah perang yang terjadi di Dena. Perang ini bukan hanya disebabkan oleh penolakan penduduk terhadap pajak dan sensus penduduk namun juga menentang kekuasaan Belanda atas mereka. Gerakan ini dipimpin oleh para pemimpin agama dan para alim ulama, seperti Haji Abdurrahim Abu Sara, Haji Usman Ruma La Beda, dan Haji Abdul Azis Abu La Arah. Gerakan ini muncul di masjid Dena, yang juga digunakan sebagai markas pemberontak. Tayib H. Abdullah (dalam Ardhana, 2005 : 120). Sultan Bima yang telah bekerja sama dengan penguasa Hindia Belanda berusaha menghentikan gerakan ini. Seperti juga pemberontakan di Ngali, perang Dena ini juga menjadi Perang Sabil, di mana para pemberontak percaya bahwa jika mereka mati dalam perang ini, maka mereka adalah syahid. Selain Abu La Hawa dan Haji Abdullah Azis Abu La Shaleh, para pemimpin perang ini adalah Haji Abdurrahim, Haji Usman Rum La Beda, Lede Ama Ibu, dan para pengikutnya terbunuh dalam pertempuran dan Desa Dena terbakar. (Tayib H. Abdullah, dalam Ardhana, 2005 : 120). Abu La Hawa dan Haji Abdullah Azis Abu La Shaleh tertangkap di Sori Dena. Mereka didenda sebanyak 100 ringgit dan dituntut menaati sensus penduduk serta untuk tidak menentang Sultan dan Belanda (Lalu Wacana, 1983/1984 : 96-99). 3. Perang Donggo (Perang Kala) Tahun 1909 terjadi pemberontakan di Donggo. Sebagaimana yang telah terjadi di daerah lain, mereka menolak untuk membayar pajak, melaksanakan kerja paksa dan mengakui kedaulatan pemerintah kolonial Belanda. Di wilayah ini, penduduk menolak utusan Sultan Ibrahim karena merasa Sultan tersebut bekerjasama dengan penguasa kolonial. Dengan demikian, penduduk bukan hanya menolak pemerintah kolonial namun juga Sultan sendiri. Perang ini dipimpin oleh Ntehi Ama Ntihi dan Ncohu Samiu. Akan tetapi, gerakan tersebut ditumpas oleh sultan mereka sendiri, Ibrahim. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa pemimpin wilayah di daerah pinggiran dapat menjadi alat pemerintah kolonial. Sultan Ibrahim sendiri yang menembak mati pemimpin pemberontakkan tersebut. Seorang pengikut gerakan ini melarikan Ntehi ama Ntihi dan Ncau ke Mpirila. Akan tetapi, kemudian Ntehi ama Ntihi tertangkap dan dibuang ke Goa. Gerakan antipajak di Donggo berakhir (Riamin, et al, dalam Ardhana, 2005 : 121) Seluruh perlawanan rakyat dapat dengan mudah dikalahkan oleh Belanda. Kekalahan ini terjadi karena dari segi persenjataan sangat kurang, hanya bersifat lokal serta bersifat sporadis, dan yang paling berpengaruh adalah tidak adanya dukungan dari Sultan. Atau dengan kata lain terjadi kolaborasi antara penguasa lokal dengan Belanda. Dampak dari ke-tiga perang di atas sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan masyarakat Bima. Sebagaimana yang diungkapkan oleh H. Abdullah Husen (Wawancara, 01 Juni 2005), mengatakan bahwa : “Setelah perang Ngali, kehidupan masyarakat sangat memprihatinkan. Rumah-rumah penduduk dibakar habis, sawah-sawah kepunyaan masyarakat Ngali dibagikan oleh Belanda kepada masyarakat lainnya, sehingga rakyat Ngali banyak menderita kelaparan. Apapun dimakan, batang pisang sekalipun.” Keterangan tersebut minimal dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi masyarakat pada saat itu yang porak-poranda akibat perang, sehingga menimbulkan kelaparan akibat tidak adanya sawah untuk digarap demi memenuhi kebutuhan hidup. Lebih lanjut H. Abdullah Husen menuturkan (menggunakan bahasa daerah) bahwa : “Lewa Ngali ederu lewa makaringu dou kafi Balanda. Dou Ngali ncimi ade wombo wunga mai Balanda. Pala cumpu kai na re, ka`a deka ba dou Balanda rasa na re, na raka ra iu na dou Ngali. Mboto dou Ngali mampoi made.” Terjemahannya adalah sebagai berikut. “Perang Ngali adalah perang yang mempermainkan orang Kafir Belanda. Orang Ngali bersembunyi di kolom-kolom rumah dikala Belanda masuk menyerang. Namun pada akhirnya Belanda membakar kampung Ngali. Sehingga banyak orang Ngali yang meninggal.” Seperti halnya Perang Ngali, Perang Dena dan Perang Kala membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan perekonomian masyarakat Bima umumnya dan khususnya di daerah terjadinya perang tersebut. Karena itu, tidak jarang dijumpai informasi lisan dari masyarakat setempat mengenai hal-hal tersebut. Bahwa keadaan ekonomi pada saat perang dengan Belanda sama halnya dengan kondisi yang kelak terjadi pada masa pendudukan Jepang. Bahkan dibandingkan penderitaan pada masa penjajahan Belanda, maka masa pendudukan militer Jepang lebih menimbulkan kesengsaraan bagi kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan keadaan ekonomi masyarakat Bima sebelum pendudukkan Militer Jepang, Hamila (Wawancara 30 Mei 2005) menjelaskan bahwa : “Antara perilaku Belanda dengan Jepang pada dasarnya sama, mereka mengambil hak milik masyarakat seenak hatinya saja. Belanda menyuruh membayar pajak yang tidak mungkin mampu dibayar oleh orang Bima. Sementara Jepang mengambil tanah-tanah milik masyarakat, namun yang membedakan keduanya adalah suara Tentara Jepang lebih keras daripada Tentara Belanda. Oleh karena itu, mereka yang berhadapan dengan tentara Jepang takut sekali, selain karena suaranya yang keras, tindakannya juga terhadap penduduk sangat kasar.” Kondisi perekonomian Bima pasca perang, diibaratkan “Telur di ujung tanduk”. Tatanan kehidupan mengalami kehancuran dan tatanan kehidupan sosial mengalami perubahan. Misalnya, azas hukum yang berlaku di daerah Bima yang sebelumnya berdasarkan pada Hukum Adat dan Agama (Islam), terpaksa harus diganti dengan azas Hukum Hindia Belanda yang menggunakan Filosofi “Parang” (Tajam ke bawah---rakyat, namun tumpul ke atas---orang-orang Belanda/pejabat pemerintahan). “Mahkamah Tusyari`ah diubah menjadi (semacam) Badan sosial Keagamaan.” (Tajib, 1995 : 277). Disamping perubahan landasan hukum masyarakat, posisi dan kedudukan Sultan (Ibrahim) pun berada dalam kendali efektif pemerintahan Hindia Belanda. Segala hal yang berhubungan dengan urusan pemerintahan Kesultanan Bima diatur sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintahann Hindia Belanda. Sampai dengan mangkatnya Sultan Ibrahim pada Tahun 1915. Sistem pemerintahan Kesultanan Bima tetap berada dalam pengawasan dan kontrol pemerintahan Hindia Belanda. Karena telah meninggal, maka kedudukan sultan digantikan oleh putranya yang ketika itu berusia 11 tahun, yang bernama Muhammad Salahuddin. Pengangkatannya ditandai dengan acara pelantikan yang dilakukan oleh Majelis Hadat Bima pada tanggal 16 Desember 1915. Tampilnya Muhammad Salahuddin sebagai pemegang kekuasaan pemerintah Kesultanan Bima (yang masih di bawah pengaruh Pemerintahan Hindia Belanda) menjadi sebuah harapan tersendiri dalam upaya perbaikan kondisi perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat Bima. Kondisi ekonomi masyarakat Bima pada masa ini lebih lanjut dapat diamati pada petikan kalimat berikut ini : “Rakyat Bima yang hampir seluruhnya miskin dengan penghasilan sebenggol atau segoba (F. 02,5) sehari, mana mungkin dapat membayar pajak Balesting yang di tetapkan F. 250 per orang dewasa dalam setahun. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, dicukupkan dengan sebongol dan banyak pula yang berpuasa Senin-Kamis. Hampir di seluruh rakyat Bima tidak pernah memegang uang yang namanya satu Ketip (F.0,10), apalagi yang di sebut dengan rupiah atau ringgit (F.1 dan F. 2,5). Rakyat Bima mengetahui pecahan mata uang Rimis, Sen, Gobang, Kelip, Tali, Suku, Rupiah, Ringgit dan Uang Emas melaui mata uang pelajaran berhitung di sekolah desa, namun kenyataanya mereka hanya menggegegam pecahan dari 1-4 saja. Kesengsaran rakyat Bima semakin memberatkan lagi, karena zaman Malaise melanda wilayah Hindia Belanda, bahkan seluruh dunia (Ismail, 1996 : 30). Penjelasan tersebut merupakan gambaran keadaan masyarakat Bima pada masa Sultan Ibrahim pasca perang. Hal ini jelas merupakan tanggung jawab sultan selanjutnya, yakni sultan Muhammad Salahuddin sebagai penganti yang menerima segala warisan pendahulunya terutama dalam memulihkan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang sangat memprihatinkan itu. Apakah beralihnya masa kepemimpinan ini dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik dari pendahulunya?. Tampaknya hal itu jauh dari apa yang di harapkan, sebab pada awal pemerintahannya, kedudukan Belanda di daerah ini semakin kuat dan kokoh, bahkan menguasai hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat. Jadi masyarkat Bima-pun ibarat tamu (yang di atur oleh orang lain) di rumahnya sendiri. Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya perlawanan rakyat pun tidak dapat dielakkan lagi. Perlawanan terbuka ditengarai oleh rakyat Bima yang tergabung dalam satu komite aksi yang di kenal dengan nama Laskar Bima. Perlawanan Laskar Bima berhasil memporak-porandakan pertahanan Belanda pada tanggal 5 April 1942. Para laskar juga berhasil menahan sejumlah pejabat penting pemerintahan Hindia Belanda, diantaranya adalah Mr. Hachman (Controleur Bima) dan Kemper (Inspektur Capier Raba). Sejak saat itu, Bima terbebas dari belenggu penjajahan Belanda. Namun, keadaan itu tidak berlangsung lama, sebab pemerintahan pendudukan Jepang menginjakkan kakinya di Bima pada tanggal 17 Juli 1942. Hal ini pertanda bahwa masyarakat Bima kembali memasuki fase baru yang oleh sebagian masyarakat menganggapnya lebih sengsara di banding dengan masa pendudukan Kolonial Belanda.

Tidak ada komentar: