RIWAYAT PERKEMBANGAN
KAMPUNG JALA
(H. Sulaiman M. Ali)
Adalah Sebuah Kampung kecil nan tandus yang terletak
sebelah barat daya Teluk Bima, selain kelapa di kampong ini hanya ada pohon
Waru (Wau) yang mengikuti aliran Sungai Bontomaranu. Tidak jauh dari laut
itulah terdapat empat puluh rumah yang jarak antara satu sama lainnya
berkisaran 10-30 meter. Kampong ini masuk pada bahagian kampong Nggembe - Bolo.
Pada masa ini (1930-an), kampong ini sekalian urusan-urusannya berada dibawah
naungan atau digabungkan dengan kampong Nggembe. Kampong ini diketuai oleh dua
orang tua-tua yang bernama : ahmad Uba Usu dan Hamu ama Barahi
(ama Ibrahim).
Ialah kampong Jala namanya yang Masjidnya terbuat dari
perabot rumah dan boleh disebut sebagai Langgar atau Mushala buat mereka
mendirikan sembahyang berjamaah. Terkisahkan pada masa ini bahwa kampong ini
tidak mempunyai ijin untuk malakukan sembahyang Jum’at, maka masyarakat
terpaksa malakukannya hal tersebut (sholat Jum’at) di Nggembe dengan malalui
jalan yang amat sulit, mereka berjalan diatas pematang sawah yang sempit dan
licin serta kebun-kebun sebagiannya rimba, karena tidak memiliki jalanan yang
khusus. Mengingat hal ini, hanya dua atau tiga orang saja dari guru-guru ngaji
yang dapat pergi ke sana (Nggembe-red) bagi masyarakat lainnya selama itu belum
pernah malakukan perintah tuhan yang paling mulia ini, padahal penduduknya
lebih kurang 75 (Tujuh Puluh Lima) orang kepala rumah tangga dan jiwa
seluruhnya lebih dari 200 orang.
Pada tahun 1948, datang Gelarang (Kepala Desa) Nggembe Abubakar
AR yang membubar kedua orang buta huruf ini dan diganti dengan yang lain.
Pada waktu itu terpilihlah Penulis (Sulaiman M.Ali) sebagai ketua dan Hamzah Ua
Tima sebagai wakil ketua. Dan selanjutnya kami dipanggil oleh galarang pada
waktu itu.
Dengan berat hati, maka terimalah oleh saya putusan dari
atasan ini disambuti oleh seluruh masyarakat dengan gembira. Mulai pada saat
itu Galarang Nggembe menanamkan kepercayaan kepada kami untuk dan boleh
menjalankan dan mengatasi urusan-urusan yang berkaitan dengan pemerintahan
dengan sealakadarnya. Setahun lamanya kami menjalankan kewajiban-kewajiban
sebagaimana yang telah digariskan oleh bapak gelarang nggembe dengan merasa
bertanggungjawab (Penuh Tanggung Jawab-red).
Pada tahun 1949 terjadilah suatu hal yang agak sulit
yaitu peristiwa kematian seorang anak laki-laki dari Ajarun teta Muhdar yang
berumur baru tujuh Tahun. Sebagaimana biasanya masyarakat ramailah mengambil
tembilang, pacul dll untuk menggali kubur dan ada pula yang disuruh pergi
melaporkan kepada atasan (Gelarang) supaya segera dikuburkan. Tetapi malangnya
bagi kami, bahwa setelah kembalinya oknum (pelapor-red) tersebut dari sana,
bukan manisan yang kami terima malainkan pahit sebagai empedu.
Gelarang Nggembe sekali-sekalitidak mengijinkan mayat
tersebut di situ (?). maka semuanya masyarakat kembali kerumahnya karena mayat
tidak jadi dikuburkan. Kami semuanya merasa kecewa karena mengapa kali yang ini
kami disulitkannya. Kira-kira jam lima hampir kembalilah Ajrun teta Muhdar
kepada kami meminta kebijaksanaan agar mayat anaknya dapat dikuburkan hari ini.
Dengan merasa kasihan (iba) dan kami merasa diri sebagai
pelopor masyarakat maka kami membarinikan diri dengan terpaksa mengijinkannya
tanpa melalui gelarang dan segeralah masyarakat menguburkannya. Kami
sekali-kali tidak mengerti apakah tujuannya kali yang ini menerima kepahitan
dan lain daripada biasanya.
Tetapi dibalik mengijinkan timbullah rasa penyesalan
pada diri saya mengapa dengan mudah saya memberi ijin pada hal tak ada ijin
dari atasan. bukankah ini adalah suatu pelanggaran kami ? akan tetapi pepatah
mengatakan “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna” apa
boleh buat nasi telah menjadi bubur. Begitulah ucapan saya pada waktu itu
menyikapai keadaan yang ada.
Pada malam harinya saya dan guru-guru ngaji diundang
oleh saudara Ajarun teta Muhdar guna mengadakan do’a tahlil di rumahnya, oleh
karena pada waktu itu musim penghujan dan cuaca malam malam sangat gelapnya
sehingga tidak ada yang berani memanggil Cepelebe dikampung Nggembe yang mempunyai
tugas, sehingga pekerjaan ini dilaksanakan oleh kami sendiri.
Keesokan harinya, pagi-pagi jam 08.00 datang seorang
pesuruh Gelarang Nggembe yang menjemput kami guna guna segera hadir
dikampungnya hari ini juga. “Benar apa yang telah saya duga” sebenarnya sya
ajak Bapak M. Ali Pua Taher (Pua M. Tahir) bersama-sama ke sana (Kantor
Gelarang) akan tetapi oleh karena baliau berhalangan maka saya mengajak H.
Mansyur Abu Tu sehingga kami berdua berangkatlah kesana.
Setelah sampai di Kantor galarang, maka memberi salam
pertemuan kepada beliau-beliau yang ada disitu dan diijinkannya kami masuk
serta mengadakan Tanya Jawab:
Galarang : Saudara Katua RT Jala ?
Ketua : Saya Pak…!
Galarang : Apakah Mayat Kemarin sudah di kuburkan ???
Ketua : Saya Pak ! Sudah kami kuburkan karena
kami sangat kasihan kepada ahli mayat
agar mayat anaknya dapat dikuburkan hari itu.
Galarang : Baiklah ! Cuma saya hendak menguji kepadanya bahwa dia itu tempat
tinggalnya berpindah-pindah.
Ketua : Terimakasih Pak, kami merasa dan
mengucapkan satu kesukuran bahwa Bapak telah mengampunkan kesalahan kami
Cepelebe Nggembe : Siapakah yang melaksanakan do’a Tahlilnya ?
Ketua : Saya Pak ! Kami juga bersama-sama dengan
guru Ngaji yang ada di kampong, karena kami takut datang menjemput Bapak,
disebabkan oleh cuaca malam yang sangat gelapnya.
Cepelebe
Bontoranu “Abu la Hawa” : Ede ulu Lowa ni ! Loa lalo ! sabua ma bora
- riu ku Ro ?
Ketua :
Saya Pak ! Betul ! Tetapi Maafkan kepada kekeliruan kami kali ini.
Galarang
: Wausi ra Ncara mabu
Ncore
Ketua
: Terima kasih Pak, lainkali tidak kami ulangi
Setelah jam 12 siang kami-pun dijinkannya pulang,
dan pulanglah kami setelah mengucapkan salam berpisah.
Begitulah pahit-getirnya nasib
kami akan tetapi walau demikian saya sekali-sekali tidak merasa malu karena ini
adalah wajar, biarlah saya dihina asalkan masyarakat saya jangan terancam,
begitulah ucapan saya kepada H. Mansyur sambil berjalan pulang sehingga tibalah
kami dikampung.
Ini adalah suatu cambukan pada
diri diri saya supaya membangkitkan cita-cita yang selama ini masih terpendam
dalam dada sanubari saya, dan akan saya
memulai memecahkan apakah gerangan cita-cita itu.
Pada suatu hari di Tahun 1949
saya mengundang beberapa orang tua-tua dan guru-guru Ngaji yang ada dalam
kampong guna mengadakan musyawarah bersama apakah yang yang harus saya hadapi,
karena selama ini kami merasa di hina, tetapi ini adalah benar. Kami memikirkan
bagaimana atau cara bagaimanakah kampong kita boleh mempunyai dan kewajiban
sendiri. Maka hadirlah Oknum-oknum (Tokoh-tokoh
Kampung-red) yang telah diundang :
1.
M. Ali Pua Taher
2.
H. Mansyur Abu Tu
3.
Ajarun Teta Muhdar
4.
Latif Tati Kader
5.
Abu dg Imu
6.
Ahmad Uba Usu
Bertempat di rumah saya sendiri, dan mulailah kami
berbincang-bincang : adapun permasalahan yang diangkat dalam musyawarah ini
untuk diperjuangkan kemudian ialah “Permohonan mendirikan sembahyang Jum’at di
Kampung Jala” ini merupakan agenda pertama selain itu adapula tuntutan lain
seperti : Cepelebe Sendiri, Kepala Dusunnya sendiri, SD-nya sendiri serta
dibangunkan jalanan sekedar untuk kendaraan mulai dari kampong Jala menuju
kampong Nggembe yang panjangnya lebih kurang dua kilometer itu.
Demikianlah hasil mufakat dalam permusyawaratan yang
hendak diperjuangkan kepada atasan, semoga cita yang paling mulia ini diridhoi
oleh Allah SWT serta mendapat pengabulan hendaknya.
Semuanya menyambut dengan hati gembira kecuali seorang
tua yang bernama Ahmad uba Usu. Adapun petikan adu mulut antara Ahmad uba Usu
dengan ketua sebagai berikut:
Ahmad uba Usu : Itu adalah tuntutan yang salah akibatnya. Masakan dapat kita
bertanggung – jawab kepada pemerintahan Sifil, militer maupun Hukum.
Ketua
: ini adalah menjadi perjuangan kita, berhasil atau tidaknya harus coba dulu
Begitulah ucapan saya pada beliau-beliau yang hadir itu
sambil terbayang-bayang didalam hati kami betapakah indahnya perintah tuhan
yang paling mulia ini bila kami melaksanakan beramai-ramai dengan masyarakat
kami.
Setelah musyawarah dibubar maka kembalilah kami
(tamu-undangan) ketempat masing-masing. Beberapa bulan [berselang] kemudian
kami membuat surat permohonan mengenai apa yang telah direncanakan teristimewa
sekali mengenai sembahyang jum’at. Surat tersebut dibawa langsung oleh kami
(penulis) sendiri bersama M. Ali pua Taher kepada Gelarang Gabungan Nggembe
tetapi tidak mempunyai tembusan kepada siapa-siapa karena memang pengalaman
kami pada waktu itu masih amat dangkal.
Pada tahun 1950, oleh karena tak ada balasan dari atasan
maka berangkatlah kami menanyakan tentang surat permohonan itu yang telah
bertahun-tahun kami menunggunya, tetapi jawaban Gelarang belum ada balasan.
Kami menunggu dengan penuh kesabaran dan berbesar hati karena terbayang-bayang
didalam benak kami akan hadirnya keijinan supaya kami ramai-ramai dengan
masyarakat melakukan, betapa indahnya pekerjaan yang paling mulia ini yang
selama ini belum pernah kami merasakannya.
Pada tahun 1952 pergi lagi
kami menanyakan tetapi begitu lagi jawaban galarang. Oleh karena didorong oleh
cita dan hati yang keras maka pada tahun 1953 berangkatlah saya bersama M Ali
pua Taher langsung ke Kantor Mahkamah Bima di Bima. setelah kami bertemu dengan
Bapak-bapak dari kantor mahkamah dan memberi salam pertemuan maka diijinkan
kami masuk dan mengadakan Tanya jawab setelah kami memperkenalkan diri dengan
beliau-beliau.
Pegawai
Mahkamah : Saudara Ketua RT Jala ?
Ketua RT
Jala : Saya Pak !
Pegawai Mahkamah
: Kami disini belum pernah mendengar dan belum tahu adanya kampong Jala, hanya
kami tahu Jala itu untuk penangkap Ikan, dimanakah Letaknya itu ? dan darimana
sajakah penduduknya ?, berpa banyak penduduknya ?
Ketua RT
Jala : Saya Pak ! Kampung Jala itu letaknya terpencil di batasan [watasan]
Gelarang gabungan Nggembe. Penduduknya berasal dari tiap-tiap kampong yang tak
mempunyai pekerjaan dan penghasilan datang menetap disana karena mudah mendapat pekerjaan dan kami selalu menjaga
kebaikan nasib mereka sehingga menjadi sebuah kampong nelayan. Oleh karena
kampung kami kami itu belum mempunyai nama, maka kami sesuaikan saja dengan
dengan keadaan pencaharian mereka hanya menjala ikan maka kami namai dengan
Kampung “SORO JALA”
Pegawai
Mahkamah : Terima Kasih, inilah orang-orang yang harus dipuji.
Ketua RT
Jala : karena beliau telah melihat dan mendalami surat yang telah kami serah
lebih dahulu kepada beliau-beliau.
Pegawai Mahkamah : Karena mereka ini benar-benar menegakkan
Agama Allah
Jam dua belas diijinkannya kami. Pulanglah kami berdua setelah mengucapkan salam berpisahan.
Undangan Partai Indonesia Raya (PIR)
Pada Tahun 1956 saya menerima
surat dari Dewan Pimpinan Partai “PIR” Cabang Bima guna menghadiri Rapat
terbuka di Gedung Bioskop (Teatre Surabaya – Ed) Bima yang dihadiri oleh
480 Peserta dari Sape – Kore.
Setelah tiba hari yang
ditentukan, maka berangkatlah saya sendiri dan gelarang Nggembe serta stafnya
ke tempat yang diundangkan, karena pada waktu itu saya memegang pimpinan PIR
Anak Cabang (Pengurus Anak Cabang - Ed) Bolo Utara sebagai Sekretaris I.
Setelah tiba di sana dan
sekalian hadirin sudah ada di tempat persidangan maka seluruh peserta mendengar dan menikmati hasil dari
sidang-sidang itu.
Sidang itu berlangsung dua hari
sehingga hari pertama supaya mendaftarkan namanya untuk memajukan permohonannya
besok.
Oleh karena saya merasa diri satu
pimpinan maka saya turut mendaftarkan nama buat memajukan permohonan besok
berupa usulan-usulan.
Pada hari yang kedua ini semua
pimpinan yang telah mendaftarkan namanya kemarin diijinkanlah naik pidion
(Podium-red) berganti-ganti dan memajukan usulan masing-masing. Maka tibalah
ketua Jala : setelah berada diatas pidion maka saya mengemukakan usulan-usulan
:
1. Dikampung Jala perlu diadakan sembahyang Jum’at
sendiri karena belum mempunyai ijin untuk melakukan sembahyang Jum’at apalagi
kampung kami itu jauh dari kampung Nggembe ±2 Km.
2. Perlu diadakan cepelebenya sendiri karena
mengingat diwaktu kami melakukan Do’a tahlil pada kematian seorang anak kecil
yang baru berumur 7 tahun maka kami keesokan harinya kami dipanggil dimarahi
habis-habisan
3. Perlu diadakan Kepala Dusun supaya dapat mengatasi
masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan pemerintahan.
4. Perlu diadakan SD karena mengingat susahnya murid
yang masih kecil, takut berjalan ke Nggembe yang melalui sawah-sawah yang luas
dan kebun-kebun yang kayunya besar-besar, semak-semak bagaikan belukar yang
sangat menakut anak-anak yang pergi bersekolah, sehingga anak-anak sering
meninggalkan sekolahnya.
5. Dibangunkan jalanan sekedar untuk kendaraan dari
Nggembe ke Jala sampai ke kampung Daru.
Demikianlah usulan yang saya kemukakan
dan yang teristimewa sekali ialah permohonan mendirikan sembahyang Jum’at sendiri
karena mereka disana jarang melakukan sembahyang Jum’at.
Setelah turun dari pidion saya
serahkan surat permohonan itu pada Bapak-bapak Protokol yang telah saya
sediakan. Dan saya dengar ucapan beliau-beliau itu dengan rekan-rekannya bahwa
hal ini sangat setuju dan berjanji supaya sama-sama memperjuangkan pada atasan.
Di jam 12, rapat dibubar dan pulanglah
semua peserta ketempatnya masing-masing.
Pada tahun 1954 disuatu hari datanglah
di Jala Bapak Lebe Na’e Sila H. A. Gani beserta stafnya dirumah M. Ali Pua Tahe
dan mengadakan tanya – jawab dengan kami. Beliau telah menerima surat dari
Kantor Mahkamah dan bunyi surat itu antaralain supaya saudara segera pergi
mengadakan peninjauan dikampung Jala dan hasil dari peninjauan saudara dapat
kami terima dalam jangka pendek.
H. A. Gani :
Setelah kami tiba dikampung Daru dan hendak menuju kesini saya terkejut melihat
betapa besarnya ini kampung dan berapakah penduduknya? Karena selama ini kami
menerima surat dari saudara Gelarang Nggembe bahwa saudara-saudara disini
hendak mendirikan sembahyang jum’at sendiri sedangkan penduduknya hanya dua
puluh orang saja. Itu tidak mungkin karena tidak memenuhi surat ini. Inlah
bohong mereka.
Ketua RT : Inilah
buku catatan Jiwa yang ada dikampung ini, terdapat 75 Kepala Keluarga dan Jiwa
seluruhnya lebih dari 200 orang. Kami mengerti benar bahwa beliau-beliau tidak
setuju dan tidak mendukung permohonan kami yang paling itu.
Sebentar kemudian datanglah Gelarang
Nggembe A. Bakar A.R dan sekretarisnya Arsyad H.M. Nur. Setelah berhadapan
dengan kami maka lebena’e menunjukan buku catatan jiwa kepada beliau-beliau dan
setelah beliau melihat dan mendalaminya lalu beliau berkata :
Gelarang Nggembe
: Ya..!. Betul menurut catatannya itu sendiri.
Maka
beliau-beliau itu pergi meninggalkan kami
Lebe Na’e :
Itulah Bohongnya Gelarang ini.
Ketua : Ya.. Pak,
memang beliau-beliau itu meng-anak tirikan kami disini. Bukan ini saja. Selama
ini dulu-dulu pernah menjalankan hal yang tak sesuai tapi oleh karena kami
selalu berada di pihak yang benar, maka kami selalu menang.
Jam 12 siang Lebe Na’e dan stafnya
pulang.
Pada tahun 1955 kami mengadakan sendiri menjadi
Calon cepelebe Jala. Yang menjadi calon :
1.
M. Ali Pua M.
Tahir
2.
H. Mansyur
Abu Tu
3.
Ajarun Teta
Muhdar
4.
Abu dg Imo
5.
Late Tati
Kader
Tapi yang menang : M. Ali Pua M. Tahir maka
langsung kami kirimkan namanya kepada Lebena’e Sila dan tembusannya disampaikan
pada :
1.
Kantor
Mahkamah Bima di Bima
2.
Kantor Kepala
Daerah Tingkat II Bima di Raba
3.
Kantor Desa
Nggembe di Nggembe Bolo supaya sama-sama mendapat maklum dan
4.
Arsif.
Surat tersebut supaya M. Ali P. M. Tahir diangkat
menjadi Cepelebe Kampung Jala
Pada tahun itu juga mulailah masyarakat Jala
melaksanakan Sembahyang Jum’at dikampungnya dengan mengucapkan syukur dan rasa
gembira.
Dua tiga bulan kemudian sedang kami menikmati
perintah tuhan yang baru kami rasakan maka datang surat panggilan dari kantor
Lebena’e Sila. Pada keesokan harinya pergilah saya dengan M. Ali Pua Tahir
menghadiri panggilan itu, dan setelah kami berhadapan dengan beliau-beliau di
kantornya serta bertanya jawab :
Lebe Na’e Sila : Saudara Ketua RT Jala?
Ketua :
Saya Pak!
Lebe Na’e Sila : Kabarnya bahwa
saudara-saudara disana telah melakukan sembahyang Jum’at, betulkah itu?
Ketua :
Betul Pak ! Kami telah melakukannya sampai delapan kali berturut-turut.
Lebe Na’e Sila : Sebaiknya jangan dulu ! berhentikan dulu
melaksnakannya.
Ketua :
Maaf Pak! Kami mohon agar pekerjaan itu tetap kami lakukan untuk
selama-lamanya, karena betapakah besarnya dosa kami disana yang selama ini
belum pernah mengerjakannya.
M. Ali P Tahir : Maaf Pak! Kami rela dipenjarakan Lima Belas Tahun, asalkan
orang Jala itu tetap melakukan untuk selama-lamanya.
Lebe Na’e Sila : Bukan begitu saudara ! Cuma hendaknya bahwa kita harus
sama-sama menunggunya.
Ketua :
Betul Pak ! Kami tetap melakukannya sambil menunggu balasan dari atasan.
Mendengar ucapan kami yang tegas itu
maka diamlah Lebena’e sehingga diijinkannya kami pulang. Jam satu kami pulang
bersama-sama sampai ke rumah.
Sekitar tahun 1956 kami menerima Surat
keputusan dari Pemerintah Daerah tingkat II Bima yaitu surat pengangkatan
mendirikan sembahyang Jum’at di Kampung Jala sekaligus dengan Bslit
pengangkatan Bapak M. Ali untuk menjadi Cepelebe kampung Jala. Surat tersebut
ditanda tangani oleh Bapak Idris Jafar.
Maka tamatlah riwayat permohonan
mendirikan sembahyang Jum’at dikampung Jala. Besarlah hati kami menerima segala
kenyataan ini terasa sebagaimana hutang budi kami terhadap masyarakat jala,
kini telah terbayar, tetapi namun
(kendati-pen) demikian masih 3 atau
tiga hal yang masih diperjunagkan dengan memerlukan jangka waktu yang lama
tetapi insyaallah asal kita jangan putus asa.
Bertahun-tahun kami ramai-ramai dengan
masyarakat menjunjung tinggi Agama Allah yang paling mulia ini dan segala
urusan yang bersangkutan dengan hukum-hukum agama dapatlah kami mengatasinya
dengan sendiri.
Tetapi sayang sekitar tahun 57an
datanglah saudara Gelarang nggembe Arsyad H. M. Nur langsung kerumah saya
sendiri dan berkata :
Gelarang Nggembe : Saudara Dul !
Ketua : Saya Pak !
Gelarang
Nggembe : Sekarang Saudara Cepelebe M.
Ali Pua M. Tahir telah mengundurkan diri dari jabatannya karena beliau
beralasan hendak pergi tinggal di Sape, jadi jabatan pegawai hukum ini baiklah
kita kembalikan saja dan segala urusan digabungkan saja di Nggembe.
Ketua
Rt Jala : Maaf Pak ! Ini adalah
suatu tindakan yang tidak sesuai, karena kami mendapat jabatan hukum ini bukan
dari hadiah siapa-siapa tapi adalah hasil dari jerih payah kami sendiri yang
baru saja kami menikmati untuk selama-lamanya Cuma saja orangnya akan kami
pilih sendiri bersama-sama masyarakat dalam kampung kami untuk selama-lamanya.
Gelarang
Nggembe : Tetapi kalau begitu siapakah yang
patut kita Angkat ?
Ketua : Terimakasih Pak ! Kami
ambil saja ipar saya bernama H. Kaba Sya”ban
Gelarang
Nggembe : Apakah dia dapat menjalankan
segala urusan hukum dan pelaksanakaan keagamaan ?
Ketua : Saya Pak ! Beliau itu
adalah seorang yang fasih, dan di bidang agama tegas, lincah dan pembacaannya
enak didengar dan sangat baik hatinya terhadap masyarakat.
Galarang
Nggembe : Baiklah kalau begitu
Maka tercatatlah nama Saudara H. Kaba
untuk menjabat cepelebe Jala sambil menanti surat keangkatannya. Lama kelamaan
diwaktu M. Ali Pua Taher hendak berangkat ke sape yang telah direncanakannya,
maka semua anak-anaknya menangis dan ada menangis sejadi-jadinya dan merebahkan
tubuhnya ditanah.
Melihat keadaan yang agaknya tidak
mengijinkan itu maka beliau mengurungkan niatnya sehingga tak jadi maksudnya
pergi tinggal di Sape itu. Saya sangat menyesalkannya karena baru saja mengecap
manisnya, beliau telah mengundurkan diri.
Sekarang beliau telah tiada, akan
tetapi jasa-jasa beliau yang selalu mendampingi saya, tetap dinikmati oleh
masyarakat kampung Jala terutama mengenai shalat Jum’at untuk selama-lamanya.
Amin
Sekitar tahun 1958, saya ditimpa suatu
musibah yaitu saya ditimpa penyakit yang keras sehingga tak dapat menjalankan
segala roda kewajiban yang saya beban yang masih harus diperjuangkan dalam
jangka yang panjang.
Dengan demikian saya serahkan
segala-galanya urusan-urusan kepada kakak saya, Usman Husain untuk
melanjutkannya dihadapan gelarang Nggembe Arsyad H.M. Nur. Akan tetapi kakak saya
itu tidak lama lagi sehingga beliau mengundurkan diri kepada atasan belum
sampai satu tahun.
Maka tahun 1964 terpilih saudara
Sulaiman M. Ali dan M Sidik Muhammad meneruskan perjuangan kami yang belum
selesai semuanya. Untuk menjadi ketua RT. Bertahun-tahun lamanya beliau-beliau
menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sehingga dua macam tuntutan
yaitu Kepala Dusun dan rumah SD telah selesai. Tetapi tuntutan kita itu belum
selesai diperjuangkan.
Pada tahun 1982/83 datanglah AMD (ABRI
Masuk desa) pada tahun itu juga mulailah seluruh masyarakat bahu-membahu dengan
anggota ABRI bekerja membangun jalanan yang khusus dari Nggembe ke Jala sampai
ke kampung Daru dalam tempoh lima belas hari, selesailah pekerjaan itu sehingga
jalanan yang dibangun ini dinamainya dengan jalan “UDAYANA”.
Kita sama-sama mengucapkan Syukur
Kepada Allah Subhanahuataala yang telah mencurahkan rahmatnya dan atas kudrat
dan IradahNya sehingga segala cita-cita kita yang mulia telah terlaksana
semuanya, Cuma sangat diharapkan kepada Generasi penerus yang menyambutnya
dengan hangat, supaya segala hak milik yang telah kita capai itu dirawat dan
dipupuk dengan baik serta dijaga dengan penuh tanggung jawab untuk
selama-lamanya. Amin ya Rabbal Alamin
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ T A M M A T ~~~~~~~~~~~~~~~
Demikianlah riwayat perjuangan kita
untuk mencapai cita-cita kita itu dalam jangka yang lama lebih kurang 30 (Tiga
Puluh) Tahun. Walaupun disana-sini masih banyak kesalahan-kesalahan,
kejanggalan-kejanggalan lebih dan kurangnya tetapi semuanya adalah benar
adanya.
Tambahan yang telah Saya Lupakan
Setelah saudara m. Sidik Muhamad
kembali kerahmatullaah maka telah diresmikan kepada saudara Sulaiman M. Ali
ditetapkan menjadi Kepala dusun Jala. Beliau ini adalah putra dari M. Ali pua
m. Tahir, dan beliau ini adalah seorang yang ramah-tamah dan baik budi
pekertinya, serta tajam menjalankan segala tugas dan kewajiban yang dibebankan
kepadanya, dapat bertindak sebagai Chatib diwaktu sembahyang jum’at karena
beliau ini banyak pengetahuan yang dialaminya.
Lebih dari sepuluh tahun lamanya kami
telah merasa manis dan indahnya hasil perjuangan kami itu sehingga hasil dari
kelanjutan perjuangan saudara Sulaiman M Ali ini dengan reka-rekannya telah
tampak dimasyarakat Jala bahwa rumah SDN 6 tahun telah nyata dengan selamat dan
senanglah anak-anak kita yang bersekolah seakan-akan dipekerangan rumah saja.
Tapi sungguhpun kita telah merasa gembira dan senang kita masih berjalan
dengan meniti diatas pematang sawah-sawah yang licin dan kebun-kebun yang
rindang-rindang dan jalan berliku-likudan amat sulitnya, bila ada sesuatu
kecelakaan mendadak pada masyarakat, karena permohonan mengenai membangun
jalanan belum selesai dan masih memakan waktu yang panjang. Tetapi oleh karena
berkat perjuanagn beliau-beliau yang tak pernah merasa lelah, maka pada tahun
1982/83 datanglah AMD (ABRI Masuk Desa) di Nggembe.