Selasa, 20 Desember 2011

Perubahan Sistem Pemerintahan Jepang Selama Masa Restorasi Meiji

Sistem Pemerintahan Pada Masa Tokugawa Bakufu
Sistem pemerintahan pada masa ini mengadopsi sistem dari Cina yaitu sistem pemerintahan terpusat. Wilayah Jepang dibagi menjadi propinsi-propinsi yang dipimpin oleh daimyo sebagai pemimpin militer daerah. Daimyo di masa Tokugawa ini dibagi menjadi 3 golongan yaitu: 1. Shinpan, merupakan daimyo yang mempunyai hubungan keluarga dengan Tokugawa 2. Fudai, daimyo yang mendukung Tokugawa sejak sebelum pertempuran Sekigahara 3. Tozama atau daimyo luar, mereka yang ditundukkan setelah Sekigahara. Meskipun tozama adalah daimyo yang ditundukkan setelah Sekigahara, namun mereka memiliki tanah yang lebih luas dibandingkan dengan daimyo lainnya. Hal ini karena mereka menguasai wilayah yang jauh dari ibukota edo dan tidak strategis, misalnya di daerah barat dan sepanjang pesisir laut Jepang. Pendapatan negara berasal dari pajak panen dan tanah. Dalam sistem terpusat ini, semua tanah adalah milik pemerintah pusat dan dibagi-bagi dalam bagian yang sama untuk dipakai secara temporer oleh keluarga petani. karena mendapatkan jatah tanah yang sama luasnya, maka pajak yang dibayar pun harus sama. Tidak memandang apakah tanah tersebut subur atau tandus. Hal ini jelas mengakibatkan pendapatan pajak yang tidak stabil. Selama masa pemerintahan Tokugawa, Jepang melakukan politik sakoku (isolasi), menutup diri dari bangsa lain. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran terhadap maraknya ajaran kristen yang dibawa oleh pedagang. Meskipun dilaksanakan politik sakoku, Tokugawa tetap memperoleh informasi dan keuntungan perdagang dari luar negeri karena tidak seluruh Jepang ditutup. Nagasaki menjadi satu-satunya penghubung pemerintah Tokugawa dengan dunia luar, itupun hanya dengan belanda karena mereka hanya yang benar-benar berniat untuk berdagang dan memiliki persekutuan dagang VOC. Pemerintah Tokugawa juga mempertegas stratifikasi dalam masyarakat dengan memberlakukan peraturan empat kelas yaitu samurai, tukang, pedagang, dan kaum petani. sehingga tidak diperbolehkan pernikahan dengan orang yang berbeda kelas. Sistem ini merupakan adopsi dari Cina.
Sistem Pemerintahan Selama Periode Meiji
Sebelum restorasi Meiji berlangsung, pemerintahan berada dibawah kekuasaan Tokugawa bakufu. Tokugawa ini terdiri atas para samurai yang menjalankan administrasi pemerintahan sekaligus sebagai kekuatan militer. Selama masa ini pula Jepang mengisolasi diri dari pengaruh luar. Hingga kemudian sekitar tahun 1853 seorang pelaut Amerika Serikat yang bernama perry menghendaki mendarat di pelabuhan Jepang untuk berdagang. hal ini tidak begitu saja dipenuhi oleh pemerintah Tokugawa dan memaksa kapal-kapal AS untuk unjuk kekuatan dengan tembakan dari laut. Karena mengisolasi diri, Jepang ketinggalan teknologi sehingga mengharuskan pemerintah Jepang menandatangani persetujuan dengan komodor perry. Perjanjian ini berisi tentang kesewenang-wenangan pasukan Amerika Serikat seperti mereka dapat menegakkan hukum mereka di tanah Jepang. Melihat ketidak-mampuan pemerintah Tokugawa dalam berperan sebagai kekuatan militer, beberapa daimyo merasa tidak puas. Mereka adalah daimyo dari Satsuma dan Choshu yang kemudian bergabung untuk menjatuhkan pemerintahan Tokugawa dan beralasan mengembalikan kekuasaan kepada kaisar/tenno. Pada tahun 1867 beberapa pemuda perwakilan dari Satsuma dan Choshu seperti Saigo Takamori, Okubo Toshimichi, Komatsu Tatewaki, Oyama Kakunosuke, Ito Hirobumi, Shinagawa Yaziro, Hirazawa Maomi, dan Kido Koin mengadakan pertemuan untuk bersama-sama meruntuhkan kekuasaan Tokugawa dan menempatkan kaisar sebagai kekuasaan pemerintah (tidak hanya sebagai pemimpin tertinggi agama). Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan utama dari perlawanan terhadap pemerintah Tokugawa. Mereka mengetahui jika pemerintahan kembali kepada kaisar, sedangkan kaisar masih terlalu muda untuk menjalankan pemerintahan, maka orang-orang yang telah membantu mengembalikan kekuasan kepada kaisarlah yang akan menjalankan sistem pemerintahan selanjutnya. Merupakan cara yang licik memang, namun hal ini akan membawa Jepang menjadi negara yang diakui oleh bangsa Eropa dan disegani oleh bangsa lain. Setelah pemerintahan Tokugawa jatuh, ibukota kaisar dipindah dari Kyoto ke Edo (1869). Dan akhirnya pemerintahan dikembalikan kepada kaisar. Namun karena kaisar pada saat itu (Mutsuhito) masih berumur 15 tahun, maka pemerintahan dijalankan oleh orang-orang dari Satsuma dan Choshu. Kemudian dari golongan-golongan yang mendukung kaisar mengumandangkan semboyan “sonno joui” yang artinya hormati kaisar dan usir orang asing. Beberapa pemuda kemudian dikirim ke Eropa dan Amerika Serikat untuk mencari ilmu pengetahuan dan menambah wawasan. Diantaranya yaitu pada tahun1882, Ito Hirobumi ditunjuk sebagai ketua komite penyelidik konstitusi dan dikirim ke Eropa untuk mempelajari sistem konstitusi pemerintahan di sana. Selama di Eropa beliau menyimpulkan bahwa konsep konstitusi yang paling baik untuk Jepang adalah seperti sistem pemerintahan kekaisaran jerman. Dan kemudian pada tanggal 11 Februari 1889, ditetapkanlah konstitusi Jepang raya. Akan tetapi, konstitusi ini mulai diberlakukan pada tanggal 29 Nopember 1890 dengan dimulainya sidang pertama parlemen kekaisaran (diet). Konstitusi ini membagi kekuasaan anatara kaisar dengan diet. Kekuasaan kaisar dan perdan menteri dibatasi agar tidak terjadi absolutisme. Namun demikian, adanya kata-kata yang ambigu dan bagian-bagian yang kontradiktif menyebabkan sistem pemerintahan berubah-ubah dari demokratis ke otoriter sesuai dengan interpretasi partai politik yang berkuasa. Perubahan ini berlangsung hingga perang dunia ke-2. Kekalahan Jepang pada akhir perang dunia ke-2 memaksa kaisar menyerahkan kekuasaannya. Pemerintah pendudukan yang didirikan Amerika Serikat Serikat diperintahkan untuk membuat konstitusi baru untuk menyokong hal ini. Kemudian tersusunlah konstitusi Jepang (nihon koku kenpou) yang mulai diberlakukan tahun 1947, bersamaan dengan hengkangnya Amerika Serikat Serikat dan pemerintahan demokrasi-liberal Jepang yang baru mulai berkuasa. Dengan demikian berakhirlah masa berlakunya konstitusi Meiji. Namun apakah selama restorasi Meiji tidak ada pertentangan di antara para samurai mengenai berjalannya sistem pemerintahan? Hal ini tentu saja ada, misalnya ketika para pemimpin disekeliling kaisar Meiji saat itu di bawah pimpinan Okubo Toshimici menghapus sistem stratifikasi dalam masyarakat terutama kaum samurai. Okubo dan kawan-kawan menghapuskan daerah-daerah kekuasaan para daimyo untuk dijadikan milik pemerintah seutuhnya. Para samurai pun tunduk pada keputusan ini. Mereka menyadari bahwa untuk membawa Jepang menjadi negara yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap menjunjung tinggi kaisar serta mengusir kekuasaan asing dari bumi Jepang, struktur masyarakat lama tidak bisa dipertahankan. Membaurnya kaum samurai dengan golongan masyarakat yang lain akan menularkan semangat, loyalitas terhadap pemimpin/kaisar dan disiplin hidup kaum samurai yang mengilhami segala aktifitas mereka. Dengan cara inilah Jepang mengalami banyak kemajuan di berbagai bidang. Kalau kita lihat lagi, hal ini sangat berbeda dengan sistem konstitusi di Indonesia yang menganut konstitusi demokrasi. Bangsa Indonesia tidak perlu susah mencari-cari konstitusi yang tepat untuk bangsanya seperti yang dilakukan Jepang. Dengan rasa percaya diri karena merasa memiliki banyak suku, ideologi (kondisi geografis Indonesia yang ber beda dengan Jepang sangat mempengaruhi hal ini) dan merasa senasib-sepenanggungan, bangsa Indonesia menggunakan konstitusi demokrasi. Hingga kemudian muncul keinginan para pemimpin partai politik untuk memasukkan ideologinya kedalam konstitusi, dan menimbulkan banyak pertentangan. Pertentangan ini berbeda dengan pertentangan yang dialami pemerintah Meiji kurang lebih 70-an tahun sebelumnya. Pemerintah Meiji menghadapi para samurai yang tidak setuju dengan modernisasi dan membuka hubungan dengan barat. Meskipun pada awalnya pemerintah Meiji didukung oleh semangat semboyan sonno joui, tetapi mereka sadar bahwa tidak boleh sembarangan mengusir bangsa asing karena Jepang juga ingin belajar dan meniru dari mereka. Meskipun para samurai ada yang menentang, ini berarti menandakan timbulnya semangat nasionalisme terhadap bangsanya. Tidak seperti para pemimpin partai politik di Indonesia yang mementingkan ideologi kelompoknya.
Daftar Pustaka
Beasley, W.G. Pengalaman Jepang Sejarah Singkat Jepang. Yayasan obor indonesia. Jakarta. 2003
Kodansha Encyclopedia of Japan
Suryohadiprojo, Sayidiman. Pengalaman dari Jepang. Manusia dan Masyarakat Jepang dalam Perjoangan Hidup. Universitas Indonesia. 1987

Tidak ada komentar: