IIPTEKS

"Komunikasi Simbolik" 1. Latar Belakang Penelitian Beberapa tahun terakhir ini ada semacam kegairahan baru dalam kehidupan keagamaan di masyarakat. Semangat religiusitas ini bisa dilihat dari banyaknya tema-tema agama di media massa. Perhatian pemerintah daerah akan penerapan ajaran agama juga tidak kalah menariknya. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya peraturan daerah yang mewajibkan pegawainya mengenakan busana muslim saat bekerja, seperti yang terjadi di Kabupaten Tasikmalaya, Cianjur, Pamekasan, dan Gowa. (Kompas, 2003). Di kota Bandung sendiri, pengajian dan ceramah agama secara rutin bisa ditemui di mesjid atau pesantren. Kegiatan keagamaan di beberapa mesjid seperti mesjid Daarut Tauhiid, mesjid Pusdai, mesjid Al-Ukhuwah, mesjid Al-Murashalah, dan mesjid Al-Kautsar, sangat kental dengan nuansa simbol-simbol keagamaannya. Apalagi simbol-simbol keagamaan yang tampak pada perilaku mereka begitu khas dan unik. Kegiatan agama yang tadinya bersifat konvensional dalam arti ceramah dan pengajian saja, saat ini sudah berkembang dengan bentuk-bentuk yang lebih bervariasi, seperti dzikir dan do’a yang dilakukan bersama-sama, cara bersalam-salaman yang khas, pengucapan salam dan penggunaan kata-kata dan istilah-istilah khusus bagi komunitas kelompok pengajiannya, kursus-kursus singkat keagamaan, bertadarus dan mengkaji kandungan Al-Qur’an, menghapal surah-surah tertentu dalam Al-Qur’an, dan sebagainya. Sementara dalam bentuk ibadah, perilaku keagamaan ini bisa dilihat dalam pelaksanaan shalat malam bersama secara periodik sambil mabit (bermalam) di mesjid. Pada penelitian tahun 2001 lalu, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyimpulkan bahwa adanya kecenderungan semakin dominannya kelas santri di kalangan umat Islam di Indonesia. Kecenderungan ini terlihat dari makin merebaknya kesalehan masyarakat. Penelitian bertajuk Islam dan Demokrasi yang dilakukan pada 16 propinsi dengan mewawancarai secara langsung 2000 responden ini menunjukkan bahwa lebih dari 80% melaksanakan shalat lima waktu, hampir 95% menjalankan puasa, pembayaran zakat dan keikutsertaan responden bertandang ke kiai. Sementara kegiatan pengajian hampir diikuti oleh 62,5 % responden. Ini menunjukkan bahwa mereka semakin santri dan kaum abangan semakin kecil, bila kita lihat dari acuan Clifford Geertz tentang polarisasi santri dan abangan. Meski demikian, penelitian ini melihat adanya more pious,less tolerant. Artinya, dalam penelitian ini ditemukan kenyataan bahwa “semakin saleh, kian enggan menoleh pada golongan-golongan lain yang berbeda agama.” Bahkan Direktur PPIM, Jamhari Makruf menambahkan more pious, more corrupt (semakin saleh, semakin korup). Hal ini dikarenakan korupsi yang terjadi justru ditengah masyarakat yang semakin santri (taat) kepada agama secara ritual atau formal. Kenyataan ini menyebabkan munculnya dikotomi keberagamaan masyarakat di Indonesia saat ini. Satu sisi, masyarakat kita semakin santri, namun di sisi lain semakin kuatnya tindak korupsi dan ketidakadilan. Secara individual, muncul perasaan suci dan dekat dengan Tuhan, namun perbuatannya justru merugikan masyarakat dan negara. Sebagai contoh segelintir orang dituduh melakukan korupsi justru pada orang yang bergelar haji. Padahal haji adalah suatu simbol penggenapan mereka sebagai muslim (Tempo, 2001). Sebagai bangsa yang terkenal religius, perubahan trend “santrinisasi“ dan kenyataan more pious, less tolerant atau more pious, more corrupt ini menarik untuk diamati, terutama dalam pendekatan komunikasi. Sebagai animal symbolicum, manusia dikatakan Ernst Cassirer (dalam Dillistone, 2002:10), mampu mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi. Pencapaian ini bisa dilakukan melalui interaksi antar manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Jika dulu orang cenderung malu-malu untuk menggunakan simbol-simbol “santri” ini, maka kini kecenderungan itu hampir tidak tampak lagi. Anak muda dan kalangan eksekutif kerapkali memakai atribut keagamaan hanya sekadar mengikuti mode dan dalih nyaman dipakai, tanpa memikirkan makna dibalik simbol tersebut. Bahkan, pemakaian simbol-simbol keagamaan seperti jilbab, pakaian (gamis dan koko), peci, sorban dan stiker-stiker tertentu yang khas dapat dijadikan salah satu identitas suatu kelompok. Di satu sisi trend ini patut disambut baik, artinya gejala ini patut dikembangkan agar tidak sekadar tampilan fisik yang “gersang” muatan nilai-nilai kemanusiaannya. Namun di sisi lain, kita patut mempertanyakan apakah perilaku simbolis keagamaan yang menjadi identitas manusia beragama sudah sampai pada tahap penafsiran dan pemahaman yang disepakati bersama dan tercermin dalam perilaku sehari-harinya. Pertanyaan ini patut digarisbawahi, karena ada sebagian orang yang menanggapi semangat keberagamaan di masyarakat dengan pandangan sinis, bahkan cenderung apatis. Mereka beranggapan perilaku beragama ini hanya sebatas simbol saja. Buktinya, banyak orang yang rajin shalat, puasa, zakat bahkan pergi haji, namun keperdulian terhadap masalah sosial kemasyarakatan kurang. Agama, menurut mereka hanya dijadikan simbol yang dipahami sebagai pengatur perilaku individu terhadap Tuhan-Nya atau untuk memuja dan memuji keagungan Tuhan. Begitu pula, orang-orang yang sibuk melengkapi penampilannya dengan berbagai atribut keagamaan, tanpa memikirkan konsekuensi dari pemakaian simbol tersebut. Akibatnya tercipta disfungsi simbol. Sebagian orang hanya terperangkap pada ritual semata dengan mengandalkan atribut-atribut keagamaan yang mereka pikir sudah cukup mewakili kesholehannya. Padahal, nilai-nilai yang ada dibalik ritual itulah yang harusnya dimaknai lebih dalam. Pemahaman yang sempit dan hanya terpengaruh oleh trend semata menyebabkan tampilan praktik-praktik agama hanya sebatas ritualis, formalitas dan simbolis, yakni hanya menekankan pada aspek ibadah mahdah tanpa diimbangi secara proporsional pada dimensi kemanusiaannya. Padahal, seorang muslim sejati bukanlah diukur dari pakaian yang dikenakannya. Islam tak berurusan dengan pakaian, jenggot, sorban, atau aksesori-aksesori kesalehan yang dimaksudkan agar para pemakainya dihormati dan disegani. Tantangan kehidupan beragama kita sebenarnya lebih disebabkan model keberagamaan umat yang diekspresikan secara simbolik. Keberagamaan simbolik ditandai sikap dan praktik beragama yang bertolak pada simbol atau identitas, bukan disemangati nilai-nilai substansial ajaran agama. Perilaku keagamaan yang sifatnya simbolik ini mengundang kekhawatiran dan rasa keprihatinan yang mendalam di kalangan masyarakat. Apalagi kenyataan ini hampir merata dialami masyarakat yang saat ini haus dengan sejumlah alternatif pencerahan agama. Bahtiar Effendy (Republika, 2003) mengingatkan, agama sesungguhnya mempunyai peran strategis di era global ini. Dalam Islam, kepatuhan seseorang dalam melakukan ibadah ritual tidak akan pernah berdampak nyata serta positif terhadap peningkatan keimanan dan keberagamaan seseorang, tanpa disertai pelaksanaan nilai-nilai moral yang terkandung dalam pesan ibadah tersebut. Pernyataan keimanan seseorang harus dibuktikan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Agama tidak semata-mata dimaknai sebagai hubungan pribadi dengan Tuhannya, tetapi juga dengan publiknya. Bahtiar memberi contoh, agama Islam itu sendiri progresif, dinamis dan mempunyai citra moral dalam upaya membangun peradaban umat manusia. Namun sekali lagi, pemahaman terhadap agama itu sangat personal sekali. Pemahaman yang berbeda-beda ini yang menyebabkan perilaku simbolis keagamaan ditampilkan bervariasi oleh masyarakat. Selain itu, motivasi dan faktor psikologis terutama usia, sangat berpengaruh di dalam proses pencapaian identitas beragama yang termanifestasi dalam perilaku beragamanya. Kebutuhan masyarakat untuk keluar dari berbagai persoalan hidup yang menghimpit turut mendukung semakin perlunya berbagai alternatif penyegaran rohani yang dekat dengan permasalahan mereka. Salah satunya adalah melalui pengajian dan ceramah agama seperti yang marak dilakukan oleh Aa Gym, Arifin Ilham, Ihsan Tanjung, dan lain-lain. Melihat fenomena ini budayawan Abu Su'ud memandang antusias masyarakat dalam mengikuti ceramah yang menyentuh hati itu merupakan fenomena masyarakat muslim Indonesia, yang memang haus akan sentuhan-sentuhan kelembutan pesan-pesan religius. Menurut Su’ud, masyarakat sudah jenuh dengan manipulasi dan tindakan asosial. Masyarakat memerlukan satu pemikiran alternatif, salah satunya melalui pengajian tasawuf kontemporer atau kontekstual (Toto, 2003:1). Pertanyaan sederhana yang patut direnungkan adalah “bagaimana seharusnya kita beragama?” Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keberagamaan kita selama ini. Betapa banyak orang yang mengaku beragama, namun keberagaman itu sekadar warisan dari orang tua atau hasil bentukan lingkungan. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental. Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agamapun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja. Berkaitan dengan hal itu, Clifford Geertz (1992: 5) mendefinisikan agama sebagai: (1) sebuah sistem simbol yang bertujuan untuk (2) menciptakan perasaan dan motivasi kuat, mudah menyebar, dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang (3) dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah tatanan umum eksistensi dan (4) melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual, (5) dan pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik. Geertz kemudian menjelaskan hal tersebut, pertama, bahwa sebuah sistem simbol adalah segala sesuatu yang memberi seseorang ide-ide, misalnya, barisan jamaah yang duduk bersimpuh untuk berdo’a, atau perbuatan tanpa kata-kata seperti perasaan sedih, bersalah, rasa kasih sayang kepada sesama dan kekhusyukan berdoa. Hal terpenting menurut Geertz (dalam Sobur, 2003:179) adalah bahwa ide dan simbol-simbol ini bukan murni bersifat privasi. Ide dan simbol-simbol tersebut adalah milik publik, artinya sesuatu yang ada di luar kita, meskipun simbol tersebut tertanam dalam pemikiran individu secara privasi, namun ia juga bisa “diangkat” dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut. Kedua, saat dikatakan bahwa simbol-simbol tersebut “menciptakan perasaan dan motivasi kuat, mudah menyebar dan tidak hilang dalam diri seseorang”. Geertz kemudian menyimpulkannya, bahwa agama menyebabkan seseorang merasakan atau melakukan sesuatu. Dalam hal ini, seseorang memperlihatkan simbol-simbol keagamaan dalam perilakunya akibat dari motivasi tertentu yang muncul dalam dirinya. Motivasi ini tentunya mempunyai tujuan-tujuan tertentu dan orang yang termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai tentang apa yang penting, apa yang baik dan buruk, apa yang benar dan salah bagi dirinya. Jika ditelusuri munculnya perilaku dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan ini, tidak lepas dari konteks dan tujuan yang ingin dicapai masing-masing individu atau pelaku simbol. Geertz (dalam Sobur, 2003:177) menelusuri bahwa simbol-simbol keagamaan yang melekat pada seseorang itu memainkan suatu bagian yang penting dalam praktik ritual keagamaan, yang selanjutnya memperkuat keyakinan yang diakui bersama. Dalam pengamatan awal di pesantren Daarut Tauhiid Bandung, peneliti melihat adanya simbol-simbol dan perilaku-perilaku khas yang menarik dan unik yang terjadi dalam kegiatan keseharian para santrinya. Salah satu yang menarik perhatian peneliti adalah manakala para santri (dan jamaah) selesai mendengar ceramah atau shalat jamaah (terutama shalat Tahajud), mereka kemudian duduk bermunajat, bermuhasabah, bertafakur mengingat Allah, mengakui segala perbuatan dosa dan khusyuk berdo’a sambil melinangkan air mata memohon ampun dan ber-azzam (berikrar) untuk senantiasa mengikuti kehendak Allah dan menjauhi larangan-Nya. Pembersihan diri ini dilakukan bersama diikuti dengan dzikirullah, shalawat Nabi disertai dengan rintihan, tangisan, bahkan teriakan histeris mengingat akan perbuatan dosa, melanggar aturan dan perintah Tuhan. Perilaku simbolis keagamaan yang sangat kentara dapat terlihat pula ketika memasuki bulan Ramadhan. Semangat untuk beribadah semakin kuat dilakukan para santri di Daarut Tauhiid, misalnya acara mabit (bermalam bersama) sambil shalat tahajud dan itikaf, ceramah agama, berbuka puasa bersama dan sebagainya. Di sini terlihat pelaksanaan ibadah yang dilakukan bukan hanya ibadah mahdah tapi juga ghairu mahdah. Ada nuansa kebersamaan santri dengan santri lainnya. Mereka saling berbagi, nasehat menasehati, menghormati dan saling mengasihi sebagai sesama muslim. Ketika berpapasan mereka juga saling berbagi senyum, menebarkan salam kepada segenap orang yang ditemuinya. Manakala ditemukan sampah atau dedaunan yang berserakkan, mereka juga tidak segan memungut dan memasukkannya ke tong sampah. Perilaku yang sarat dengan simbol agama ini, menjadi salah satu ciri khas perilaku santri di pesantren Daarut Tauhiid. Dalam pengamatan awal, peneliti juga menemukan kerapian yang terlihat dari tertatanya alas kaki jamaah baik dimesjid maupun di perkantoran pesantren. Perilaku yang ditampilkan santri di pesantren Daarut Tauhiid ini, bertujuan untuk menciptakan satu bentuk miniatur masyarakat Islam yang ramah, bersih dan bersatu dalam tali ukhuwah Islamiyah. Perilaku-perilaku tersebut dapat menjadi bagian dari kepribadian santri dengan bantuan slogan-slogan sebagai kiat untuk mengingatkan santri. Slogan-slogan tersebut bukan sekadar kata-kata mutiara, yang dihapal. Karena jika direnungkan maknanya akan menjadi sebuah petunjuk dalam mengubah diri pada sikap, perkataan dan perbuatan yang baik. Berdasarkan pengamatan peneliti, puluhan slogan yang tersebar di pesantren, mereka implementasikan dalam perilaku mereka. Slogan tersebut menjadi media dan petunjuk bagi santri dalam berperilaku yang sesuai standar pesantren. Secara bersama-sama, mereka mempraktikkannya,baik kepada santri lainnya atau pengunjung pesantren dan masyarakat sekitar. Penciptaan dan pertukaran simbol agama termasuk slogan-slogan tadi, tidak lepas dari konsep manajemen qalbu yang diusung oleh pesantren Daarut Tauhid. Manajemen qalbu merupakan sebuah tawaran untuk mengajak orang memahami hati dan diri agar mau dan mampu mengendalikan diri. Manajemen qalbu adalah upaya untuk mengatur dan memelihara kebeningan hati dengan cara mengenal Allah. Salah satu caranya dengan berzikir. Selanjutnya, hati yang damai itu diisi dengan nilai-nilai rohani Islam seperti sabar, rida, tawakal, ikhlas, jujur, dan disertai dengan ikhtiar (Hernowo, 2003:226). Selain bergerak dalam pendidikan, pesantren Daarut Tauhiid ini juga memiliki usaha bisnis. Bisnis ini dimaksudkan sebagai wadah aktualisasi jiwa entrepreneurship para santri. Upaya memadukan pendidikan agama dan wiraswasta inilah yang menjadi nilai lebih dari pesantren Daarut Tauhiid, yang menurut peneliti layak untuk dikaji secara ilmiah. Artinya, bagaimana formula pesantren Daarut Tauhiid dalam mensinergikan perbuatan ritual individual dengan perbuatan sosial. Dalam slogan khas Daarut Tauhiid dikenal dengan trilogi Islam, yakni iman-ilmu-amal” ; artinya iman berujung pada amal atau tindakan. Pusat keimanan Islam memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dalam penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana para santri menggunakan dan memaknai simbol-simbol dalam perilaku mereka sehari-hari selama menjadi santri di pesentren Daarut Tauhiid. Berdasarkan pengamatan peneliti menganggap penelitian mengenai simbol-simbol keagamaan, perilaku keagamaan, dan pemaknaan simbol-simbol keagamaan ini sangat cocok dengan karakteristik yang ada di pesantren Daarut Tauhiid. Sementara pemilihan santri perempuan (akhwat) lebih didasarkan pada pertimbangan untuk pengamatan berperan serta secara lebih mendalam. 1. 2. Identifikasi Masalah Secara rinci latar belakang permasalahan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Apa saja bentuk simbol-simbol keagamaan yang digunakan para santri dalam interaksi mereka di pesantren Daarut Tauhiid Bandung? 2. Bagaimana perilaku keagamaan para santri dalam interaksi mereka di pesantren Daarut Tauhiid Bandung? 3. Bagaimana pemaknaan para santri terhadap simbol dan perilaku keagamaan mereka di pesantren Daarut Tauhiid Bandung? Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian ini bermaksud mengetahui bentuk-bentuk simbol keagamaan, dan perilaku-perilaku khas dalam interaksi santri di pesantren Daarut Tauhiid Bandung. Di samping itu, bermaksud mengetahui bagaimana penafsiran para santri terhadap makna simbol dan perilaku keagamaan mereka selama di pesantren Daarut Tauhiid Bandung. Maksud penelitian yang bersifat umum ini, dicapai melalui tujuan-tujuan yang dirumuskan secara spesifik, yaitu untuk mengetahui: 1. Bentuk simbol-simbol keagamaan yang digunakan para santri dalam interaksi mereka di pesantren Daarut Tauhiid Bandung. 2. Perilaku keagamaan para santri dalam interaksi mereka di pesantren Daarut Tauhiid Bandung. 3. Pemaknaan para santri terhadap simbol dan perilaku keagamaan mereka di pesantren Daarut Tauhiid Bandung. 1. 4. Kegunaan Penelitian. Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini meliputi : (1) kegunaan teoritis, dan (2) kegunaan praktis. Kegunaan teoritis, yakni memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan teori interaksi simbolik utamanya tentang simbol-simbol verbal maupun non verbal dalam konteks keagamaan, perilaku keagamaan pada bidang ilmu komunikasi. Di samping itu diharapkan pula memberi kontribusi terhadap studi mengenai penginterpretasian makna simbol keagamaan. Kegunaan praktis, dari hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dan masukan bagi masyarakat khususnya tokoh agama untuk memperhatikan, mempertimbangkan dan menggunakan simbol keagamaan yang diambil dari ajaran Islam, baik teks maupun konteks simbol keagamaan tersebut, dalam setiap perilaku beragama. 1. 5. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang digunakan peneliti untuk menjelaskan perilaku simbolis dalam praktik keagamaan di pesantren Daarut Tauhiid ini adalah interaksionisme simbolik. Sebagai suatu teori, interaksi simbolik mencoba melihat realitas sosial yang diciptakan manusia. Manusia memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara simbolik (Fisher, 1986:235). Teori interaksi simbolik yang dipelopori oleh Goerge Herbert Mead (1863-1931) ini memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok, dimana individu-individu tersebut berinteraksi secara tatap muka (face to face) dengan menggunakan sign, yang di dalamnya berisi icons, index, dan symbols (Sobur, 2003:158). Pemikiran simbolik ini pada dasarnya akan membebaskan kita dari pembatasan pengalaman manusia hanya atas apa yang betul-betul kita lihat, dengar atau rasakan. Teori membuat kita terus menerus memikirkan objek secara simbolik (Soeprapto, 2001:68-70). Komunikasi dalam perspektif interaksi simbolik digambarkan sebagai pembentukan makna, yakni penafsiran atas pesan atau perilaku orang lain oleh para peserta komunikasi. Interaksi simbolik dilakukan dengan menggunakan bahasa, sebagai salah satu simbol yang terpenting dan isyarat. Akan tetapi simbol bukan merupakan faktor yang terjadi, simbol merupakan suatu proses yang berlanjut yaitu suatu proses penyampaian makna. Dan proses penyampaian makna dan simbol inilah yang menjadi subject matter dalam interaksi simbolik. Interaksi simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif dalam proses pertukaran simbolnya. Dalam bahasa Herbert Blumer (Soeprapto, 2001: 121), aktor tidak semata-mata beraksi terhadap tindakan yang lain, tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor secara langsung maupun tidak, selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut. Oleh karena itu, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. George Ritzer (2003:289) mengemukakan tujuh prinsip teori interaksionis simbolik, yakni: 1. Tidak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir. 2. Kemampuan berpikir itu dibentuk oleh interaksi sosial. 3. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir yang khusus itu. 4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia. 5. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. 6. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubaha, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya. 7. Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin-menjalin ini membentuk kelompok atau masyarakat. Ada tiga premis penting dalam teori interaksi simbolik, yakni: pertama, individu merespons situasi simbolik. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Pemaknaan itu sendiri bersifat arbitrer (sembarang), di mana segala sesuatu bisa menjadi simbol, sehingga tidak ada hubungan logis antara nama atau simbol dengan objek yang dirujuknya. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi ini terjadi karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan (Mulyana, 2001:71-72). Dalam menjalin komunikasi berdasarkan pada keseragaman makna, manusia dalam interaksi sosial selalu berupaya mencocokkan apa yang ada dalam pikirannya dengan apa yang sedang terjadi pada lingkungan. Artinya manusia dalam proses komunikasi bukan sekadar penerima lambang atau simbol-simbol yang dilihat, didengar atau yang dirabanya secara pasif, melainkan individu secara aktif mencoba mengadakan interpretasi terhadap lambang, simbol atau tanda tersebut. Upaya interpretasi itu adalah bagian interaksi yang dapat dilakukannya dalam rangka menjalin komunikasi yang efektif dan intensif antara pengirim pesan dengan penerima pesan, dan interaksi interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap pesan yang disampaikan tetapi interaksi interpretasi juga dilakukan terhadap dirinya sendiri, karena orang tidak hanya menyadari orang lain tetapi juga mampu menyadari dirinya sendiri (Margaret M. Poloma, 1994:260). Dalam proses ini, individu mengantisipasi reaksi orang lain, mencari alternatif-alternatif ucapan atau tindakan yang akan ia lakukan. Individu membayangkan bagaimana orang lain akan merespons tindakan mereka. Proses pengambilan peran (taking the role of the other) tersembunyi ini penting, meskipun tidak bisa diamati. Oleh karena itu kaum interaksionis simbolik mengakui tindakan dalam dan tindakan luar, menganggap tindakan luar sebagai lanjutan tindakan dalam. Namun, tindakan luar tidak otomatis menunjukkan tindakan dalam, karena tindakan luar mungkin hanya merupakan pengelolaan kesan (impression management) untuk menyenangkan khalayak tertentu, atau untuk memenuhi tuntutan tertentu yang bersifat sosial, politik, ekonomi dan sebagainya. Pada konteks penelitian ini, santri dalam interaksinya melakukan tukar menukar simbol agama. Lewat pertukaran inilah santri merasakan pengalaman beragama yang lebih mendalam lagi. Proses pertukaran simbol ini mereka maknai dalam suatu proses komunikasi interpersona. Joseph. A. Devito mendefinisikan komunikasi antar persona sebagai, “Proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika” (Effendy, 1993:60). Sedang Verderber (1986) mengungkapkan komunikasi antarpersona merupakan suatu proses interaksi dan pembagian makna yang terkandung dalam gagasan-gagasan maupun perasaan. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa ketika orang berkomunikasi, maka yang terjadi adalah suatu proses transaksional. Proses ini dapat mensyaratkan: (1) keterlibatan dan tanggapan semua orang demi suksesnya komunikasi itu; (2) komunikasi melibatkan interaksi dari banyak unsur, seperti nilai-nilai, kebudayaan, lingkungan, pengalaman, pekerjaan, jenis kelamin, minat, pengetahuan dan sikap. Keseluruhan wilayah yang mengitari, baik pengirim maupun penerima, adalah situasi dan kondisi yang sering disebut konteks; (3) pada saat yang sama dapat terjadi gangguan eksternal, internal, ataupun semantik. Esensi yang melekat pada komunikasi antarpersona terangkum dalam karakteristiknya, seperti yang dikemukakan Liliweri (1994:3) sebagai berikut: (1) terjadi dimana dan kapan saja. Gambaran ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat terhindar dari komunikasi, (2) proses yang bekesinambungan antara masa lalu, kini, dan sekarang, (3) punya tujuan tertentu secara implisit maupun eksplisit, (4) menghasilkan hubungan timbal balik, menciptakan serta mempertukarkan makna yang kemudian berkembang menjadi relasi dan transaksional, (5) terkandung prinsip bahwa pribadi yang satu mempelajari hakikat pribadi yang lain, (6) meramalkan sesuatu, artinya ada harapan hasil yang memuaskan keduanya, dan (7) komunikasi antar persona sering dan dapat dimulai dengan melakukan kesalahan. Salah satu kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan simbol. Dalam komunikasi antarpersona inilah manusia memainkan perannya sebagai animal symbolicum. Pemikiran simbolis dan tingkah laku simbolis merupakan ciri khas kemanusiaannya. Bahkan bagi Cooley dan Mead, diri muncul karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Dari situlah keunikan manusia muncul, karena ia memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Keterkaitan pemikiran dan aktivitas kehidupan manusia dengan simbol-simbol ini, dikarenakan kehidupan manusia salah satunya berada dalam lingkungan simbolik. Begitu pula dengan para santri, mereka hidup dalam lingkungan yang penuh simbol-simbol khususnya simbol keagamaan. Melalui kesadarannya santri mampu menangkap simbol-simbol keagamaan, melakukan internalisasi dan kemudian menghadirkan simbol keagamaan tersebut dalam bentuk perilakunya. Adapun simbol yang dimaksud adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan respons manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya ketimbang dalam pengertian stimulasi fisik dan alat-alat inderanya (Mulyana, 2001:77). Dalam konteks penelitian ini, simbol yang dipertukarkan santri tentunya simbol agama, yang berbeda dengan simbol budaya lainnya. Seperti kata Clifford Geertz (dalam Sukardi, dkk, 2003 : 40), simbol keagamaan memiliki sifat makro (macrosymbolic). Macrosymbolic ini berlaku, karena simbol agama memberikan tafsiran-tafsiran mengenai arti dan makna kehidupan serta pandangan soal kehidupan dunia ini. Simbol-simbol agama juga memiliki sakralitas terkait dengan kehidupan transenden di luar jangkauan nalar manusia. Simbol-simbol keagamaan jauh melampaui aktivitas kehidupan manusia sehari-hari. Itulah sebabnya ia disebut sebagai macrosymbolic. Ketika seseorang mengalami tragedi kematian, agama berbicara mengenai kehidupan abadi selain kehidupan di dunia. Agama memberikan informasi-informasi simbolik mengenai surga dan neraka sebagai dua macam konsekuensi dari perbuatan-perbuatan manusia selama hidup di dunia ini. Lewat definisi di atas, Geertz memposisikan agama sebagai sistem simbol, yakni segala sesuatu yang membawa dan menyampaikan suatu ide kepada orang. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, bahwa agama membawa ide-ide mulai dari ide mengenai bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain sampai ide-ide mengenai kehidupan dan balasan perbuatan manusia di alam lain nanti setelah manusia mati. Ide-ide tersebut berdasarkan pada acuan tata nilai yang dipegang tiap pemeluk agama. Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan sebagai lambang, yakni sesuatu yang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Hal ini juga berlaku pada simbol-simbol keagamaan, dimana ia memperoleh makna kesuciannya dari keyakinan yang diakui bersama oleh pengikutnya. Lambang atau simbol yang ditimbulkan oleh manusia dapat dibedakan atas simbol yang bersifat verbal dan non verbal (Pateda, 2001:48). Simbol verbal adalah simbol-simbol yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedang simbol nonverbal dapat berupa (1) simbol yang menggunakan anggota badan, (2) suara, (3) simbol atau tanda yang diciptakan oleh manusia untuk menandai waktu, misalnya azan sebagai petanda waktu shalat; (4) benda-benda yang bermakna kultural dan ritual, misalnya mesjid, sebagai tempat umat Islam melakukan ibadah shalat (Sobur, 2003:122). Jika ditelusuri munculnya perilaku dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan ini juga tidak lepas dari konteks dan tujuan yang ingin dicapai masing-masing individu atau pelaku simbol. Clifford Geertz (dalam Sobur, 2003:177) menelusuri bahwa, simbol-simbol keagamaan yang melekat pada seseorang itu memainkan suatu bagian yang penting dalam praktik ritual keagamaan, yang selanjutnya memperkuat keyakinan yang diakui bersama. Bahkan Geertz mengatakan agama memiliki sebuah kekuatan dalam menyangga nilai-nilai sosial, dimana kekuatan itu terletak pada kemampuan simbol-simbolnya untuk merumuskan sebuah dunia tempat nilai-nilai itu berada. Agama melukiskan kekuatan imajinasi manusia untuk membangun sebuah gambaran kenyataan melalui simbol-simbolnya. Dalam ilmu komunikasi, perilaku (behavior) merupakan konsep yang cukup penting. Sebagaimana kita pahami bahwa setiap aktivitas komunikasi akan mempunyai efek terhadap perilaku. Perilaku manusia adalah suatu fungsi dari adanya interaksi antara individu dengan lingkungannya (Thoha, 1998 : 29). Hal itu berarti seorang individu dengan lingkungannya sangat menentukan perilaku keduanya secara langsung (Anoraga, 1995 : 11). Sementara itu, Chaplin (1993:53) mendefinisikan perilaku sebagai sebuah konsep yang luas, yakni: “segala sesuatu yang dilakukan atau dialami seseorang, sedang dalam pengertian yang lebih sempit, perilaku dapat dirumuskan hanya mencakup reaksi yang dapat diamati secara umum atau obyektif.” Dalam penelitian ini, konsep perilaku yang digunakan adalah gabungan dari beberapa konsep yang ada. Hubungan berbagai konsep perilaku tersebut (Muller, 1996:14,76) lebih menekankan suatu bentuk tindakan nyata individu yang diukur dengan panca indera secara langsung. Perilaku dalam penelitian ini juga lebih ditekankan pada perilaku atau aktifitas-aktifitas dalam arti luas yang juga mencakup perilaku yang tampak (overt behavior) dan perilaku yang tidak tampak (innert/covert behavior). Kedua aspek inilah yang ingin peneliti kaji untuk melihat bagaimana perilaku yang santri tampilkan berikut penafsiran atau interpretasinya ketika menerima dan mempertukarkan simbol-simbol yang ada di Daarut Tauhiid. Dalam memahami perilaku manusia, berarti berusaha dan berupaya untuk mendalami asal-usul, serta latar belakang pendidikan dan pengalaman seseorang untuk memperlancar suatu usaha yang dapat mengarahkan perilaku seseorang. Untuk menganalisa dan memahami perilaku manusia yang mudah diamati adalah pada motivasi dari perilaku seseorang. Hal ini dikarenakan : (1) Perilaku tidak hanya terdiri dari tindakan-tindakan yang terbuka saja, tetapi termasuk juga faktor-faktor internal seperti berpikir, emosi, persepsi dan tindakan. (2) Perilaku itu dihasilkan oleh ketidakselarasan (inconsistency) yang timbul dalam struktur kognitif. Perilaku beragama dalam terminologi Islam disebut pula dengan akhlaq. Akhlaq dalam Islam merupakan salah satu dari tiga pokok ajaran Islam, yakni aqidah, syari’ah dan akhlaq. Pertama, aspek keyakinan yang disebut Aqidah, yaitu aspek credial atau keimanan terhadap Allah dan semua yang difirmankan-Nya untuk di yakini. Kedua, aspek norma atau hukum yang disebut syari’ah, yaitu aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan alam semesta. Hubungan tersebut diatur dalam rangka manusia beribadah dan bermu’amalah. Ketiga, aspek perilaku yang disebut akhlaq, yaitu sikap-sikap atau perilaku yang nampak dari pelaksanaan aqidah dan syariah. Akhlaq memunculkan seorang yang ihsan, berakhlaq shalih, di mana dalam pendekatan mikro adalah melaksanakan ibadah kepada Allah dan bermu’amalah dengan sesama makhluk dengan penuh keikhlasan seakan-akan disaksikan oleh Allah, meskipun dia tidak melihat Allah. Perilaku beragama dalam Islam tentunya menyadarkan diri pada tata nilai Islam, yakni Al-Qur’an dan hadist. Dalam al-Qur’an standar perilaku yang baik adalah segala perbuatan yang tidak melanggar aturan Allah. Ketiga aspek tersebut tidaklah berdiri sendiri-sendiri, tetapi menyatu membentuk kepribadian yang utuh pada diri seorang muslim.

Tidak ada komentar: