Pengantar Ilmu Sejarah
Oleh : Yusuf, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 2 Langgudu Kab. Bima)
Kata sejarah sudah tidak
asing lagi di telinga kita. Apabila kita menjumpai atau mendengar kata sejarah,
maka yang terbayang di sebagian besar kita adalah masa lalu, kekunoan, barang-barang
dari jaman dahulu serta semua hal yang berhubungan dengan masa lalu, kuno, dan
lapuk. Meskipun sebagian besar dari masyarakat kita menganggap sejarah tidak
penting, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah selalu menjadi hal yang paling
disalahkan apabila terjadi tragedy pada perjalanan umat manusia.
Secara literasi sejarah
berasal dari kata syajarah (bahasa Arab) yang berarti pohon, syajarah an-nasab
yaitu pohon istilah. Sejarah dalam bahasa Inggris adalah history yang merupakan
turunan dari kata historia (bahasa Latin) yang berarti orang pandai. Kata
historia juga diartikan sebagai pengetahuan tentang gejala-gejala alam. Dalam
perkembangannya sejarah lebih merujuk kepada aktivitas manusia di masa lampau.
Pada awalnya sejarah
dimaknai sebagai cerita tentang peristiwa masa lalu. Sejarah dalam bentuk
demikian bersifat naratif, artinya gambaran masa lalu disajikan secara lengkap
meliputi urtan fakta beserta penjelasannya. Sejarah dalam bentuk tersebut pada
umunya bersifat rinci dan kronologis tentang suatu peristiwa. Sejarah demikian
lebih bersifat cerita bukan merupakan sejarah ilmiah, karena tidak menuntut
penggunakan metodologi da teori.
1.
Sejarah sebagai Ilmu
Sejarah sebagai cerita masa lalu sering mencampuradukkan antara kenyataan
sejarah dengan hal-hal yang tidak nayata atau dongeng. Pencampuradukan ini
membuat sejarah sering pula disamakan dengan mitos atau legenda. Dengan
demikian peristiwa sejarah menjadi kabur, sementara yang berkembang menjadi
popular dan kemudian dipercaya sebagai suatu kebenaran sejarah oleh masyarakat
sebenarnya hal yang bukan fakta sejarah.
Agar suatu peristiwa sejarah yang sebenar kisah yang “ditambahkan” maka
aansejarahpada harus terletak pada kemampuan sejarah membuktikan kebenaran
peristiwa sejarah yang dapat diuji secara ilmiah. Jadi sejarah harus
membuktikan bahwa masa lalu itu benar-benar terjadi.
Sejarah sebagai ilmu harus membuktikan keobyektifan dan berlandaskan pada
keberadaan serangkaian artefak, manuskrip, dokumen untuk membuktikan dan
merekonstruksi peristiwa masa lalu. Dokumen, artefak, manuskrip adalah jejak
yang ditinggalkan dari aktivitas manusia di masa lalu. Semua benda itu yang
disebut sumber primer diteliti untuk dicari keterhubungan satu dengan yang
lainnya sehingga menjadi fakta. Fakta-fakta kemudian diinterpretasi yang
berakhir pada historiografi.
Sejarah sebagai ilmu adalah empirs, dalam kinerja sejarawan berdasarkan
pada pengamatan, pengalaman dan penafsiran. Dalam hal ini peneliti sejarah harus
mencari dan mengamati sumber, membandingkan keterangan dari satu sumber dengan
sumber yang lain, melakukan klasifikasi informasi yang ada pada sumber, menarik
fakta dan terakhir menyimpulkan. Semua kegiatan itu harus terekam dan dapat
diuji berulang kali.
Salah syarat ilmu adalah memiliki obyek. Obyek ilmu sejarah adalah manusia,
tetapi dalam hal ini yang dimaksud lebih pada aktivitas manusia di masa lampau.
Dalam melakukan pengamatan atas obyek, sejarah tidak dapat melakukan pengamatan
langsung selayaknya ilmu alam karena obyek kajiannya tidak dapat diamati secara
langsung. Ilmu sejarah melakukan pengamatan atas obyek pene mereka berupa
manuskrip, dokumen, atau artefak yang merepresentaskan kegiatan manusia di masa
lalu. Jadi dalam hal ini obyek kajian sejarah adalah manusia yang dibatasi oleh
ruang dan waktu.
Seperti halnya ilmu pengtahuan yang lain, ilmu
sejarah juga mempunyai teori yang sering disebut filsafat sejarah kritis. Teori
adalah hal-hal yang berkenaan dengan kaidah pokok keilmuan. Filsafat
menyebutnya epistemology yang berarti pengetahuan tentang sesuatu atau obyek
penelitian. Dalam hal ilmu sejarah obyek penelitiannya adalah manusia dalam
waktu. Inilah yang membedakan sejarah dengan mitos. Dalam mitos tidak jelas
waktu dari kejadian, sedangkan pada sejarah waktu menjadi suatu hal yang
penting sehingga jelas kapan suatu kejadian itu berlangsung.
Sebagai kajian ilmiah, sejarah juga melakukan
generalisasi atau melakukan penarikan kesimpulan umum. Berbeda dengan ilmu
social yang menarik kesimpulan pada satu penelitian dan diberlakukan juga untuk
obyek yang sama tetapi tempat berbeda sehingga kesimpulan di satu tempat
penelitian dapat berlaku sama untuk tempat lain asal dalam kondisi yang sama,
generalisasi sejarah sering berupa koreksi atas kesimpulan ilmu lain. Contoh
Marx menggeneralisasi bahwa semua revolusi adalah perjuangan kelas (kelas buruh
terhadap kelas majikan), tetapi dalam hal revolusi Indonesia bukanlah
perjuangan kelas tetapi digerakkan oleh nasionalisme.
Seperti halnya ilmu lain, sejarah juga
memiliki metode. Metode adalah langkah-langkah yang harus ditempuh seorang
peneliti agar dalam melakukan rekonstruksi terhindar dari bias subyektifitas.
Metode akan menuntun dan membatasi gerak peneliti sehingga kebenaran penelitian
dapat dipertanggungjawabkan. Keberadaan metode pada ilmu sejarah membuat
sejarah terbuka untuk diuji sehingga kebenaran sejarah lebih dapat diterima.
2.
Sejarah sebagai Seni
Ketika kita membaca sebuah karya sejarah,
adakalanya kita merasa bosan karena redaksional karya yang kit abaca tidak
menarik. Tetapi di pihak lain kita mendapati karya sejarah yang sangat enak
dibaca sehingga kita tidak merasa sedang membaca karya sejarah ilmiah, tetapi
kita merasa seperti membaca novel. Menarik tidaknya suatu karya sejarah sangat
tergantung pada penulis atau peneliti sejarah.
Karya sejarah ilmiah harus berupa rekonstruksi
data sejarah yang terpercaya dan andal. Seorang peneliti sejarah memiliki keharusan
menguasai tehnik menelusuri dan mengumpulkan data atau dalam bahasa sejarah
lebih dikenal dengan istilah sumber sejarah. Kemampuan, kejelian dan ketelitan
peneliti sangat menentukan ketersediaan sumber sejarah yang menjadi bahan dasar
untuk rekonstruksi sejarah.
Seorang peneliti sejarah ketika akan
menentukan topic kajian penelitian tidak dapat hanya mengandalkan ilmu sejarah.
Peneliti sejarah memerlukan ilmu lain untuk melihat sisi lain dari dinamika
manusia yang belum dikaji dari masa lalu. Ilmu social (sosiologi) dan ilmu
budaya (antropologi) sangat membantu dalam hal mencari kemungkinan topic
penelitian sejarah. Melalui ilmu bantu pula memungkinkan keberagaman kajian
sejarah sehingga memperkaya karya sejarah.
Namun tidak jarang peneliti sejarah juga
memerlukan ilham atau intuisi untuk mengatasi hal itu. Dalam ilmu sejarah hal
tersebut dibenarkan, bahkan intuisi diperlukan terutama ketika peneliti sejarah
harus berurusan dengan minimnya sumber. Dalam kondisi demikian diperlukan ketajaman
intuisi untuk menentukan sumber yang hendak dicari atau untuk memperkirakan
keberadaan sumber.
Sehingga dalam hal ini ilham atau intuisi yang
harus dimiliki oleh sejarawan bukan ilham atau intuisi yang dimiliki seorang
pengarang. Dalam hal ini intuisi peneliti sejarah dibutuhkan dalam upayanya
menelusuri sumber lain yang diperlukan penelitiannya. Karena itu intuisi yang
dimiliki peneliti sejarah berjalan berdasarkan data yang telah dimiliki
terdahulu. Jadi intuisi tidak muncul tiba-tiba, tetapi terkondisi berdasar atas
data yang telah dimiliki peneliti. Dalam hal ini intuisi peneliti akan muncul
ketika peneliti mendapati data yang dimilikinya kurang memadai atau dia merasa
masih kurang. Maka peneliti akan berusaha keras memikirkan beragam kemungkinan
di mana dia dapat memperoleh data. Jadi dalam hal ini intuisi lebih pada
pemahaman sejarawan atas apa yang ditelitinya dan instinktif yang dilakukan
selama penelitian berlangsung.
Selain intuisi seorang peneliti sejarah juga
harus dapat berimajinasi. Imajinasi sejarah penting dikuasai karena penelitian
sejarah berhubungan dengan masa lalu yang hanya sedikit meninggalkan jejak.
Meskipun dokumen dari masa lalu yang menjadi kajian penelitian cukup banyak
tidak akan mungkin rekonstruksi yang dilakukan akan sama persis dengan
peristiwa yang sudah berlalu tersebut. Semakin jauh jarak obyek penelitian
dengan ruang hidup peneliti, semakin
diperlukan imajinasi.
Imajinasi yang dimaksud dalam sejarah adalah
kemampuan membayangkan apa yang sebelumnya, sedang, dan telah terjadi pada masa
itu. Dalam berimajinasi sejarawan harus tetap berpedoman pada data yang
dimilikinya. Karena itu data menjadi penting. Dalam hal itu sejarawan dituntut
untuk dapat membayangkan tidak hanya peristiwa yang menjadi obyek kajiannya
saja, tetapi termasuk juga bentang geografis, latar budaya, latar sosial,
ekonomi, politik dari obyek, masyarakat, dan lingkungan yang ditelitinya.
Pemahaman akan ruang lingkup sosial budaya peristiwa yang menjadi obyek
penelitiannya akan “menghidupkan” rekonstruksi sejarahnya. Me seorang sejarawan akan dapat
merangkai hubungan antar pelaku sejarah dengan lingkungan sosial, budaya,
bahkan lingkungan alam. Melalui imajinasi pula sejarawan dapat menempatkan para
pelaku sejarah pada panggung depan, tengah, atau belakang dalam sebuah
peristiwa sejarah.
Selain imajinasi, sejarah juga memerlukan
sejarah sehingga karya sejarah tidak lagi membosankan. Namun demikian banyak
yang berpendapat bahwa apabila sejarah ditulis dengan gaya novel maka akan
kehilangan obyektivitasnya. Karya sejarah dengan pelibatan emosi banyak
dihasilkan sejarawan Eropa terutama kajian jaman Romantik (abad 18-19).
Penaklukan benua baru Amerika terutama pertempuran orang kulit putih dengan
orang Indian banyak disajikan dengan model penulisan yang
“melibatkan”-olahpembacahadirpadakejadiansehingg tersebut. Kajian sejarah
budaya tepat apabila disajikan dengan gaya demikian, karena kita dapat
“merasakan” dan dapat “menjadi bagia dengan emosi tersebut terutama penting
untuk keperluan pewarisan nilai. Tentu saja kaidah ilmiah sejarah yang menuntut
rekonstruksi berdasar atas sumber tidak boleh ditinggalkan.
3.
Guna Sejarah
Apakah sejarah berguna? Pertanyaan ini sering dilontarkan
terutama oleh para siswa di kelas yang berpendapat sejarah tidak berguna karena
tidak berhubungan dengan kehidupan mereka sekarang. Pendapat itu tidak salah.
Namun demikian ada suatu realita yaitu banyaknya buku sejarah di toko buku,
film sejarah yang dibuat baik untuk alasan komersiil maupun documenter.
Akhir-akhir ini dunia pariwisata dimarakkan dengan wisata sejarah yaitu wisata
dengan mengunjungi tempat yang menjadi ikon atas suatu peristiwa atau
peradaban. Contoh wisata perkebunan kopi yang banyak ditawarkan oleh PT
Perkebunan. Wisata itu tidak hanya mengunjungi perkebunan kopi tetapi juga akan
menelusuri industry kopi Indonesia yang sudah dimulai sejak era colonial
Belanda. Pengunjung akan diajak melihat mesin pengolah kopi dari masa perkebunan
masih dikuasai pengusaha Belanda, bahkan ada pula mesin dari masa colonial yang
masih dipakai hingga sekarang. Dengan demikian kita mengetahui bahwa tehnologi
pengolahan kopi yang kita kenal sekarang diperkenalkan oleh Belanda pada era
1900-an. Itulah guna sejarah, salah satunya adalah untuk mengetahui dari mana
suatu hal itu berasal atau dimulai.
Dalam hal guna, sejarah memiliki dua guna
yaitu guna intrinsic dan ekstrinsik. Guna intrinsic adalah sejarah sebagai
ilmu, sejarah untuk mengetahui masa lalu, sejarah sebagai pernyataan dan
sejarah sebagai profesi; sedangkan guna ekstrinsik adalah sejarah sebagai pendidikan.
Guna ekstrinsik sejarah sangat jelas tertuang dalam kurikulum mata pelajaran
sejarah sejak tingkat SD sampai SLTA. Bahkan pada masa Orde Baru masih
ditambahkan dengan penataran P4 yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru
di universitas baik negri maupun swasta, dan pegawai negri. Dalam hal demikian
sejarah dipakai sebagai media penanaman pendidikan moral dan politik.
Salah satu guna sejarah yang jarang
dieksplorasi adalah sejarah sebagai pendidikan masa depan. Di Negara-negara
maju seperti Amerika, Jepang, Cina, Inggris dan Eropa History of Future
diajarkan di perguruan tinggi dan menjadi kajian penting. Keberadaan kajian
sejarah masa mendatang dirasa penting demi kelangsungan peradaban dan bangsa.
Kesadaran akan pentingnya sejarah telah membawa Negara-negara besar bertahan
bahkan cenderung menjadi penentu dalam percaturan global. Pengalaman masa lalu
dijadikan acuan untuk merancang masa depan yang lebih baik bagi umat manusia.
Sejarah masa depan juga dipakai sebagai sarana untuk me selain berhubungan dengan
eksplorasi semesta juga dipakai sebagai wahana supremasi Amerika dalam bidang
tehnologi kedirgantaraan. Keberadaan mobil listrik di Eropa selain factor
kebersihan dan kesehatan lingkungan juga sebagai wahana supremasi Eropa sebagai
bangsa yang mendorong perubahan seperti yang telah dilakukan pada masa lalu
(renaissance, merkantilisme, imperialism, kolonialisme dll).
4.
Pendekatan Sejarah
Pada tahun 1958 berlangsung Kongres Sejarah di
Yogyakarta. Kongres ini bertujuan menulis sejarah Indonesia melalui sudut
pandang Indonesia dengan pendekatan baru. Pandangan baru yang dimaksud adalah
karya sejarah yang lebih menonjolkan peran orang kebanyakan dibanding berfokus
pada orang-orang besar. Juga untuk mengganti sudut pandang sejarah Indonesia
dari Nederlando centris kepada Indonesia centris. Sejarah Indonesia yang
ada adalah “pembalikan”
dari sejarah Netherland-Indie).
Apabila dalam sejarah Hindia Belanda Diponegoro adalah penjahat maka dalam
versi sejarah Indonesia era !950-an Diponegoro adalah pahlawan dan VOC-Belanda
penjahatnya. Pembalikan tanpa control dan analisa mebuat sudut pandang tulisan
menjadi satu arah. Perubahan sosial dan budaya masyarakat kebanyakan tidak
terekam dan “tersisih” dari sejarah.
Karena itu dalam Kongres tersebut Sartono
Kartodirjo sejarawan dari UGM mengusulkan penggunaan pendekatan ilmu-ilmu
sosial untuk penulisan sejarah Indonesia agar lebih bisa menunjukkan kejadian yang mendekati kenyataan pada
jamannya. Pendekatan ilmu sosial akan menawarkan dimensi baru yang dilewatkan
oleh sejarah konvensional. Dengan penggunaan pendekatan ilmu sosial
kelompok-kelompok marginal seperti buruh, petani, masyarakat desa, pedagang,
mahasiswa/pelajar sampai bencana alam dan lingkungan akan menjadi perhatian dan
dapat muncul pada panggung sejarah Indonesia.
Pemakaian pendekatan sosioligis dalam sejarah akan mengungkap segi-segi
sosial dari peristiwa yang dikaji. Dalam kajian itu akan dieksplorasi hubungan
sosial antar kelas dalam masyarakat, peran dan status, konflik-konflik sosial
dan lain-lain. Secara metodologis pemakaian sosiologi untuk mengkaji sejarah
bertujuan memahami subyektifitas perilaku sosial, memahami motivasi dan
tindakan individu dalam peristiwa kolektif. Dalam hal ini teori sosial akan
membimbing sejarawan mengidentifikasi factor-faktor yang menyebabkan suatu
peristiwa terjadi. Contoh historiografi dengan pendekatan sosiologi adalah
Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo.
Pendekatan antropologi juga dapat dipakai sebagai alternative lain untuk
mengungkap sisi lain sejarah Indonesia. Dalam beberapa hal hamper tidak
perbedaan pendekatan antropologi dengan pendekatan sosiologi, karena keduanya
sama-sama mempelajari masyarakat terutama bentuk sosial dan strukturnya. Namun
demkian yang membedakan dengan sosiologi adalah obyek kajian. Pendekatan
antropologi dipakai untuk mengkaji masalah-masalah budaya. Dalam menjelaskan
perubahan masyarakat dalam waktu otomatis kita juga akan menggambarkan
kehidupan budaya dan perubahan yang terjadi dalam kurun waktu sejarah tersebut.
Dengan penelusuran budaya suatu kelompok masyarakat kita akan mengetahui gerak
perubahan yang terjadi.
Ada empat metode antropologi yang dapat
dipakai dalam rekonstruksi sejarah. Pertama metode asimilasi yaitu menjelaskan
bagaimana proses saling menghisap unsure-unsur budaya dalam kontak budaya.
Kedua metode fungsional menjelaskan bagaimana suatu kebudayaan pada suatu
entitas masyarakat di wilayah tertentu secara lengkap dan sistematis. Ketiga
metode fungsional dalam analisa tentang mitologi mempelajari ide, pemikiran,
pandangan hidup yang menjadi sumber motivasi bagi kegiatan fisik dan spiritual
masyarakat pemilik mitologi tersebut. Metode silsilah digunakan untuk
mengumpulkan terminology kekerabatan pada bahasa tertentu untuk menganalisa
system kekerabatan. Metode ini juga dapat dipakai untuk mengumpulkan data
tentang segala hal yang berada di sekitar individu,
bahkan dapat dipakai untuk menyusun kembali ejarah suatu kelompok masyarakat.
Pendekatan paling tua dalam penulisan sejarah adalah pendekatan politik.
Historiografi dengan pendekatan politik sering disebut dengan sejarah
konvensional sehingga sejarah identik dengan politik. Namun demikian apabila
kita merujuk pada konsep politik modern maka penulisan sejarah dengan
pendekatan politik tidak akan terjebak seperti karya sejarah politik
konvensional. Apabila konsep politik diartikan sebagai distribusi kekuasaan
maka maka kita akan bertemu dengan hakekat dan tujuan system politik, hubungan
structural dalam system itu, pola perilaku individu dan kelompok dalam system,
hokum dan kebijakan sosial, partai politik, kelompok kepentingan, komunikasi
dan pendapat umum serta birokrasi dan administrasi. Dengan demikian sejarah
dengan pendekatan politik tidak lagi berisi sejarah tokoh-tokoh besar.
Pendekatan ilmu lain yang dapat dipakai untuk merekonstruksi sejarah tidak
terbatas pada ketiga pendekatan itu, tetapi masih banyak seperti ekonomi,
geografi, ekologi, gender, feminism bahkan semiotic. Penggunaan beragam
pendekatan untuk merekonstruksi sejarah akan memunculkan nua dan tentu saja
akan menjadikan karya sejarah menarik, karena akan mengungkap sisi yang selama
ini tidak dianggap sebagai kajian sejarah. Contoh Kebudayaan Indies karya
Sapardi Djoko D menceritakan tentang akulturasi budaya Eropa-Indonesia dalam
beragam hal mulai dari pakaian sampai arsitektur. Denys Lombart dengan karyanya
Persekutuan Aneh memaparkan tentang kehidupan perempuan Tionghoa yang
menjadi “istri” orang Batavia pada abad 16-17, bagaimana mereka
menciptakan identitas baru karena secara sosial telah “dibuang” oleh
masyarakatnya. menjadi ikon Jakarta yang selalu dikenakan none-none Betawi
yaitu baju kebaya encim.
KEPUSTAKAAN
Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu
Burke, Peter. 2001. Sejarah dan Teori Ilmu Sosial. Jakarta: YOI
Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang