Sabtu, 28 April 2012

DESENTRALISASI PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA


Oleh : Soegijanto Padmo (padmougm@yahoo.co.id)

Pengantar
Desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan telah menjadi fenomena sejarah sejak masa kolonial di Indonesia. Desentralisasi yang lazim dikaitkan dengan pemberian otonomi kepada sauatu wilayah untuk mengatur pelaksanaan pemerintahan di suatu daerah dalam batas –batas tertentu lazim disebut dengan istilah dekonsentrasi. Wilayah Indonesia atau Hindia Belanda waktu itu yang begitu luas tidak memungkinkan pemerintah pusat di Batavia untuk menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Oleh karena itu, sejak awal abad ke-19 penguasa kolonial telah berusaha untuk melaksanakan berbagai langkah guna mencapai efisiensi dalam menjalankan pemerintahan yang dikenal dengan reorganisasi dalam berbagai aspek pemerintahan.
Dalam tulisan ini dibahas secara kronologis yaitu pemerintahan Hindia Belanda I, Pemerintahan Inggris, pemerintahan Hindia Belanda II, dan pemerintahan Balatentara Jepang yang menyangkut proses reformasi pemerintahan yg terdiri dari reformasi di lingkungan departemen, reformasi di dalam perwilayahan, reformasi politik pemerintahan yg meliputi pemerin-tahan lokal dan pemerintahan pusat.
Pemerintahan Hindia Belanda I
Dengan dibubarkannya VOC, Indonesia diwariskan kepada pemerintah di Negeri Belanda yg saat itu disebut Bataafsche Republik. Penguasa yang dipercaya untuk mengurus Tanah Jajahan di Asia termasuk Indonesia adalah Raad van Asiatische Besittingen en Establisement yang bertanggung jawab kepada Dewan Eksekutif Rebublik. Pada tahun 1807 Jendral H.W. Daendels diangkat menjadi Gubernur Jendral di Indonesia. Ia berusaha keras melaksanakan pemusatan kekuasaan berdasarkan pada Korps Pangreh Praja Belanda dan Bumi Putera yg berdisiplin. Menurut Daendels kekuasaan pejabat yg diwariskan VOC terlalu besar sehingga mudah untuk memperkaya diri dengan cara melakukan korupsi. Pejabat yg dinilai terlalu besar kekuasaannya antara lain adalah Gubernur Pantai Jawa Timur Laut dan Residen yang berkedudukan di Kraton Yogyakarta dan Surakarta.
Untuk melaksanakan maksudnya Daendels menghapus Gubernemen Pantai Jawa Timur Laut. Demikian puula Residen yang berkedudukan di Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambilalih langsung di bawah pemerintah pusat di Batavia. Daerah Jawa di luar kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan Perfectur , yang kelak pada masa pemerintahan Raffles diubah dengan nama Karesidenan yang kemudian terkenal dengan nama Gewest . Tiap Perfectur dikuasasi oleh se orang Perfect yang berada di bawah perintah langsung pemerintah pusat di Batavia.
Apabila pada masa VOC kekuasaan pemerintah daerah diserahkan kepada para Bupati maka Daendels tidak mengikuti pola semacam ini. Daendels mengurangi banyak kekuasaan para Bupati sehingga peran Bupati itu tidak lebih dari se orang leverancier hasil bumi bagi kepentingan pemerintah Kolonial. Dengan demikian posisi Bupati diturunkan menjadi pegawai pemerintah kolonial meskipun tidak memperoleh gaji. Sebagai pegawai pemerintah Bupati ditempatkan di bawah Perfect, sedangkan gaji bawahannya masih menjadi tanggungjawab para Bupati.
Meskipun demikian Bupati masih diperlukan oleh Daendels. Dengan dipertahankannya sistem leveransi dan kontingenten peran Bupati masih sangat penting yaitu sebagai penghubung antara pemerintah dengan rakyat. Dengan dipertahankannya penguasa pribumi sebenarnya sangat penting artinya namun Daendels tidak ingin peran penting penguasa Bumi Putera itu terlihat secara nyata. Untuk itu Daendels melakukan tindakan berupa pengapusan perbedaan yang ada antara Bupati yang berkedudukan di Priangan dengan Bupati yang berkedudukan di Pantai Jawa Timur Laut seperti pada masa VOC. Stelsel Priangan yang diciptakan VOC dipertahankan oleh Daendels maupun oleh penguasa Inggris kemudian. Stelsel Priangan yang menjiwai Sistem Tanam Paksa (STP) buatan Van den Bosch itu dipertahankan sampai tahun 1871.
Pembenahan yang dilakukan Daendels dalam penyediaan mesin birokrasi adalah memperbanyak kantor pengadilan. Tiap Perfect diangkat menjadi Ketua Land Gerecht dan Bupati menjadi Ketua Vrijde Gerecht. Land Gerecht bertugas mengadili perkara yang menyangkut orang Eropa dan golongan tertentu dari orang bumi Putera sedangkan Vrijde Gerecht mengadili perkara orang pribumi. Para Bupati juga mendapat kedudukan militer di bawah kekuasaan Perfect. Hak jabatan yang secara tradisional para Bupati yaitu turun temurun tetap dipertanahkan.
Pembenahan untuk pejabat di lingkungan lebih bawah dari Bupati ada yang diantaranya berada di bawah pemerintah Pusat. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah Pusat bukan oleh Bupati. Bupati mempunyai kewajiban menggaji pegawai yaitu para kepala Wilayah yang ada di bawah kekuasaannya. Secara tradisional Bupati memperoleh sepersepuluh dari hasil panen dan memperoleh tenaga tanpa dibayar dari penduduk yang ada diwilayah kekuasaannya. Daendels mengurangi hak Bupati untuk memperoleh sepersepuluh hasil bumi atau hak pancen dan hak memperoleh tenaga tanpa upah. Bagi petani pengurangan penyerahan pancen dan kerja wajib itu boleh jadi tidak penting namun bagi Bupati hal itu sangat penting karena menyangkut status simbol sebagai seorang penguasa tradisional.
Pembenahan yang dilakukan itu menyangkut hubungan antara Bupati dengan Pemerintah Belanda. Karena pembenahan itu tidak ada sangkut pautnya dengan perikehidupan rakyat maka rakyat pada umumnya tidak mengetahui perubahan tersebut. Daendels ternyata mengikuti kebijakan yang telah dirintis oleh VOC. Hal itu tampak jelas jika dicermati perubahan yang dia lakukan setelah pemerintahan VOC serta membandingkan dengan teori politikyang dianutnya dengan praktek yang ia lakukan.
Reformasi atau pembenahan yang dilakukan Daendels yang lain adalah misalnya ia berusaha keras memberantas kecurangan di kalangan pejabat negara. Justru langkah inilah yang membuat ia mempunyai banyak musuh dari kalangan bangsa Belanda sendiri. Disamping politik keuangannya tidak menguntungkan pemerintah beberapa tindakannya dinilai sebagai menguntungkan diri sendiri. Lawan politik Daendels yang terkenal antara lain adalah M.R.G. van Polanen dan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Jawa Timur Laut yang dilepas oleh Daendels. Untuk membersihkan dirinya dari tuduhan musuh politiknya Daendels menerbitkan buku berjudul Staat der Nederlandsch Oost-Indische bezittingen onder het bestuur van den Gouverneur Generaal H.W. Daendels pada 1814. Buku tersebut dikritik dengan tajam oleh van Polanen dan Engelhard.
Di samping itu Daendels juga tidak disukai di kalangan pejabat Bumi Putera. Para bangsawan banyak yang kecewa karena kebijakannnya yang merugikan mereka. Pada 1810 Kaisar Napoleon mengeluarkan Dekrit yang menyatakan Negeri Belanda masuk ke dalam Imperium Prancis. Setahun kemudian berita itu sampai ke Indonesia dan disambut dengan senang hati olh Daendels. Karena ia yakin bahwa hal itu akan membawa perbaikan bagi Indonesia. Semua pegawai bersumpah setia kepada Kaisar Napoleon. Pada 1811 Daendels diberhentikan oleh Kaisar Napoleon. Perberhentian itu rupanya bukan karena Kaisar Napoleon yakin akan kesalahan Daendels tetapi karena desakan lawan-lawan Daendels yang sangat keras.
Pemerintahan Inggris
Pada pemerintahan Inggris seluruh bekas tanah jajahan Belanda dibagi menjadi empat daerah administratif yaitu Gubernemen Melaka, Sumatra Barat, Jawa beserta bawah-annya yaitu Palembang, Sunda kecil, Banjarmasin, dan Makasar, dan Maluku (Uraian pada bagian ini berdasarkan pada Frederick, 1988; Sutherland, 1979; dan Bastin dan Benda, 1977 kecuali apabila disebut secara khusus). Keempat wilayah itu dikendalikan oleh Gubernur Jendral Lord Minto yang berkedudukan di Calcutta. Penguasa Inggris di Jawa dipegang oleh Thomas Stamford Raffles sebagai bawahan Lord Minto dengan pangkat Letnan Gubernur Jendral. Meskipun Raffles berada di bawah kekuasaan Lord Minto namun ia melaksanakan kebijakan seakan ia tidak berada di bawah pengawasan atasannya.
Secara konseptual kebijakan yang diterapkan Raffles lebih mementingkan nasib rakyat kecil dibandingkan dengan kebijakan Daendels. Peraturan yang dikeluarkan banyak yang bertujuan untuk meringankan beban rakyat pedesaan meskipun dalam kenyataannya tidak semua kebijakan itu dapat dilaksakakan. Pembagian wilayah menjadi Perfectur tetap dipertahankan oleh Raffles, sementara pembenahan yang dilakukannya antara lain menambah jumlah Perfectur dengan cara menggabungkan beberapa daerah pemerintahan yg sifatnya masih semi feodal menjadi 16 Perfectur dan namanya diganti menjadi Karesidenan. Restrukturisasi wilayah daerah administratif Karesidenan ini meliputi seluruh Jawa dan Madura termasuk daerah Kerajaan, kecuali Batavia yang sampai 1819 menjadi enclave sendiri.
Residen yang mengepalai wilayah Karesidenan mempunyai kekuasaan yang meliputi bidang pemerintahan, peradilan, dan penerimaan penghasilan negara atau pajak. Menurut Raffles Residen harus mempunyai kekuasaan yang otokratis. Oleh karena itu Residen harus mengadakan perjalanan dinas secara teratur agar dapat menjalin hubungan dengan rakyat secara teratur. Sejak masa VOC jabatan Residen sudah ada dan jabatan baru yang dimasukkan pada masa Raffles adalah jabatan Asisten Residen. Asisten Residen belum mempunyai wilayah dan baru kemudian Asisten Residen ini diberi wilayah jabatan. Jabatan Asisten Residen berlangsung terus sampai dihapuskan oleh pemerintah Balatentara Jepang.
Tujuan Raffles memasukkan jabatan Residen dengan kekuasaan yang otokratis dan jabatan Asisten Residen yang bertugas membantu Residen adalah untuk menghapus lembaga kekuasaan tradisional yaitu Bupati yang semi feodal dan tidak liberal. Secara konseptual Raffles menghendaki bahwa seluruh pejabat pemerintah lokal merupakan susunan kepegawaian yang wajar tanpa hak-hak tradisional atau kekuasaan politik. Lebih jauh Rafles menambahkan bahwa justru desalah yang merupakan suatu kesatuan yang hidup. Bupati dan bawahannya adalah sekedar merupakan perantara, yang oleh Raffles ingin dihapuskan, dengan maksud agar semua persoalan dapat disampaikan oleh pemerintah langsung ke pemimpin rakyat yaitu Kepala Desa. Dalam melaksanakan konsep tersebut Raffles bermaksud membagi wilayah Karesidenan menjadi daerah administratif yang disebut Afdeeling. Meskipun Raffles menghendaki Bupati dihapuskan namun dalam konsep yang difikirkan Raffles justru menetapkan Bupati sebagai kepala Afdeeling.
Kebijakan Raffles yang ingin mengurangi kekuasaan Bupati tetapi maksud sebenarnya dari kebijakan tersebut tidak sampai dipahami oleh rakyat. Perubahan yang dilakukan Raffles misalnya berupa penghapusan sistem kontingenten dan leveransi kecuali di Priangan, di mana kekuasaan dan campur tangan Bupati sangat besar, yang diganti dengan sistem pajak tanah atau landrente. Dengan demikian Bupati dibebaskan dari tugas pemungut pajak, sehingga ia kehilangan fungsinya yang sangat penting yang memungkinkan ia memperoleh keuntungan yang sangat besar.
Perubahan wilayah administrasi pada tingkat yang lebih rendah berupa pembagian setiap Afdeeling menjadi daerah administrasi yang disebut Distrik atau Kawedanan, yang dikepalai oleh Kepala Distrik atau Wedana. Wilayah yang setara Distrik ini sebenarnya sudah ada pada masa VOC namun kenyataannya pembentukan wilayah tersebut sangat ditentukan oleh pertimbangan perorangan yaitu pendapat Bupati. Secara teoretis, menurut Pasal 70 RR pemerintah lokal Distrik mempunyai kekuasaan yang besar. Perubahan tentang Distrik ini terus dilakukan reorganisasi secara baik dan tingkat yang dianggap sempurna pada tahun 1874. Reorganisasi wilayah administrasi yang terjadi pada derajat yang lebih rendah terjadi berupa pembagian wilayah Distrik menjadi beberapa wilayah administrasi yang lebih kecil yang disebut Divisie, yang kelak disebut Onder-Distrik. Daerah administrasi Divisie meliputi desa-desa. Desa-desa itu yang merupakan kesatuan yang hidup yang oleh Raffles dianggap sesuai dengan adat istiadat kuno diberi hak untuk memilih kepalanya sendiri.
Dengan demikian pada pemerintahan Raffles di atas Desa terdapat daerah administrasi yang disebut Divisie, Distrik, Afdeeling, dan Karesidenan. Upaya Daendels yang dilanjutkan Raffles adalah mengurangi kekuasaan Bupati yang pada pemerintahan VOC sedemikian besar dengan cara menempatkan Bupati di bawah Residen yang kekuasaannya sedemikian otokratis, yang mencoba menjalin hubungan langsung dengan rakyat yang upaya lain yang mengakibatkan para Bupati kehilangan kekuasaannya dalam bidang yang merupakan sumber penghasilan mereka yang besar. Raffles juga berupaya keras untuk menghapus sistem feodal dan mengkuti jejak Daendels dalam menciptakan mekanisme birokrasi pemerintahan yang demokratis di Indonesia serta memilih Jawa sebagai model atau percontohan. Raffles berupaya keras agar Jawa tetap dimiliki Inggris akan tetapi Konvensi London tahun 1814 menetapkan bahwa Belanda akan mendapatkan kembali tanah jajahannya kecuali Ceylon dan kedudukan di Afrika Selatan. Indonesia diserahkan oleh Inggris kepada Belanda pada tanggal 19 Agustus 1816.
Pemerintahan Belanda II
Pada 1816 Komisaris Jendral Belanda telah datang ke Tanah Jajahan sebagai wakil Belanda untuk mengambil alih pemerintahan dari Inggris. Komisaris Jendral yang terdiri dari tiga orang itu berkuasa penuh atas daerah tersebut berdasarkan Regering Reglement 1815 (Uraian bagian ini berdasar-kan pada Coban, 1970; Harsono, 1992; Budi harsono, 1968; Arsip Nasional, 1998; Van Niel, 1992 kecuali apabila disebut secara khusus). Dalam menjalankan tugasnya Komisaris Jendral berusaha menyesuaikan organisasi pemerintahan Pusat dan daerah dengan Regering Reglement tahun 1815. Namun dalam melaksanakan maksud tersebut Komisaris Jendral mengalami kesulitan karena perubahan yang dilaksanakan selama pemerintahan Raffles tidak sesuai lagi dengan ketentuan dalam RR itu. Untuk mengatasi hal tersebut maka perubahan terhadap RR dilakukan dan ditetapkan RR baru tahun 1816. Untuk melaksanakan RR baru tersebut salah seorang Komisaris Jendral yaitu Van der Capellen diangkat menjadi Gubernur Jendral.
Dalam melaksanakan tugasnya Komisaris Jendral tampaknya masih harus berhati-hati. Lembaga kekuasaan tertinggi di Tanah Jajahan ini masih belum memandang perlu untuk melakukan perubahan dalam tata pemerintahan daerah. Pembenahan yang dilakukan oleh Raffles masih dilanjutkan. Kepala pemerintahan Bumi Putera yaitu Bupati yang dipertahankan untuk menjalankan beberapa fungsi bagi kepentingan penjajah tetap dipertahankan. Komisaris Jendral berusaha keras untuk memehami kepentingan penguasa Bumi Putera ini antara lain berusaha menjalin hubungan yang baik antara Residen dengan para Bupati karena peran Bupati masih cukup penting yaitu debagai Pimpinan Pemerin-tahan Bumi Putera dan Kepolisian Afdeeling.
Kedudukan Bupati mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Stbl. Tahun 1820 Nomor 20 yaitu Reglement op de Verplichtingen, titels, en rangen der Regenten op het Eiland Java. Reglemen ini juga mengalami perubahan dan kelak tahun 1922 timbul perubahan pemerintahan namun hal yang penting dalam peraturan tersebut tetap berlaku. Dalam pasal (1) ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Bupati adalah orang yang berkuasa atas penduduk yang ada di wilayahnya dan menjadi tangan kanan Residen. Selanjutnya telah terjadi pergeseran peran Bupati yang semula semata melaksanakan kepentingan penjajah namun sejak saat itu para Bupati diberi tugas yang menyangkut perbaikan kesejahteraan rakyat kecil seperti mengurusi pertanian, peternakan, keamanan, kesehatan rakyat, pengairan, pemeliharaan jalan, pendidikan, pembagian adil beban pajak, dan mengawasi pelaksanaan perundang-undangan.
Sedemikian banyak tugas tersebut nyatalah bahwa tugas penguasa Bumi Putera tidak ringan. Ketentuan baru yang harus dilaksanakan Bupati adalah apabila ada kejadian penting ia wajib melaporkan kepada Residen. Disamping itu Bupati juga dibebani tugas untuk mengawasi agama Islam. Semua itu atas inisiatif Daendels. Rincian tentang gelar, kedudukan, upacara bagi para Bupati dan keluarganya ditetapkan dengan undang-undang. Demikian pula tentang penghargaan terhadap Bupati pada waktu itu diatur secara lebih sistematis melebihi waktu sebelumnya. Pembentukan wilayah Kabupaten semula adalah semata-mata wewenang penguasa lokal tradisional. Pada kenyataannya terdapat Bupati yang mempunyai wilayah dan penduduk yang relatif kecil dan miskin sehingga Bupati kecil itu tidak banyak urusannya dan di mata pemerintah kolonial dianggap tidak berarti. Agara diperoleh imbangan dalam banyaknya urusan yang ditangani, pada awal abad ke-19 beberapa kabupaten kecil dihapus. Setelah diadakan penghapusan akhirnya di Jawa dan Madura terdapat 70 kabupaten saja.
Reorganisasi wilayah administratif yang dilakukan pada masa Komisaris Jendral kecuali penghapusan kabupaten kecil adalah pemecahan kabupaten yang berjumlah 70 yang ada di Jawa dan Madura. Pemecahan wilayah administratif kabupaten menjadi daerah administrasi yang lebih kecil yang disebut Distrik dengan penguasa seorang Kepala Distrik atau Wedana. Selanjutnya wilayah Distrik dibagi menjadi beberapa Onder-Distrik yang dikepalai oleh Kepala Onder-Distrik atau Asisten Wedana merupakan perkembangan pemerintahan yang sempurna.
Berdasarkan Stbl. 1819 nomor 16 wilayah Jawa dan Madura oleh Komisaris Jendral dibagi menjadi 20 Gewest dengan satuan unit birokrasinya. Residen diberi instruksi oleh Komisaris Jendral untuk bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja lembaga peradilan dan kepolisian dalam wilayahnya.Tugas pengawasan terhadap peradilan dan kepolisian lebih banyak dilimpahkan kepada Asisten Residen. Sementara itu, pengadilan polisi bagi Bumi Putera masih berada di bawah pengawasan Residen. Kekuasaan Residen juga masih wewenang untuk memberi perintah kepada Jaksa Kepala. Adapun para Bupati diberi kekuasaan untuk memerintah Jaksa. Dalam menjalankan tugas kepolisian Residen berada di bawah pimpinan Pokrol Jendral. Karena besar-kecilnya luas wilayah tidak sama maka ada beberapa Gewest yang dikepalai oleh Asisten Residen dan sebagian besar dikepalai oleh Residen. Baru pada 1866 semua Gewest mempunyai kedudukan sebagai Karesidenan.
Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa jabatan Asisten Residen timbul pada masa Raffles memerintah. Saat itu Asisten Residen belum memiliki wilayah kekuasaan karena demi kebijakan pemerintahan Bupati ditetapkan sebagai kepala daerah Administratif Afdeeling. Baru pada masa kekuasaan Komisaris Jendral Asisten Residen mulai mempunyai wilayah kekuasaan, yaitu memerintah wilayah administratif Afdeeling dan di bawah perintah Residen sebagaimana ditetapkan dalam Stbl. 1818 nomor 49. Karena wilayah kekuasaan Asisten Residen atau Afdeeling sama dengan wilayah kekuasaan Bupati atau kabupaten maka nyatalah ada organisasi pemerintahan yang rangkap. Tugas Asisten Residen dalam wilayah Afdeeling adalah sama dengan tugas Residen dalam Gewestnya, terutama dalam bidang pemerintahan dan kepolisian. Sementara itu Bupati meskipun pangkatnya lebih tinggi daripada Asisten Residen namun ia harus tunduk kepada Asisten Residen sebab Asisten Residen merupakan Kepalanya yang nomor dua sebagai wakil Residen. Tumpang tindihnya wilayah kekuasaan itu menunjukkan bahwa Bupati tidak mempunyai kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan kepolisian untuk diselesaikan sendiri dan tidak mempunyai pendirian yang dapat dikembangkan dengan wajar.
Gubernur Du Bus van Gesignies yang menggantikan Gubernur Jendral Van der Capellen mengubah Regeringsreglement tahun 1816 dengan Regeringsreglement 1827. Regeringsreglement ini kemudian juga diganti dengan Reglement op beleid der Regering in Nederlandsch-Indie dengan Koloniaale Besluit tertanggal 16 Mei 1829. Reglement ini juga akhirnya diganti lagi dengan reglement yang ditetapkan dengan Koloniaale Besluit tanggal 20- Februari 1836. Menurut ketentuan RR 1836 pemerintah pusat Hindia Belanda adalah Gubernur Jendral yang merupakan wakil Raja Belanda di Hindia Belanda serta aparat Hindia Belanda, yang diangkat dan diberhentikan oleh Raja dan yang mengendalikan kekuasaan, mengatur, dan mengurus hal-hal yang bersifat internal Hindia belanda di bawah Raja. Gubernur Jendral didampingi Raad van Indie yang merupakan Dewan Penasihat bagi Gubernur Jendral. Di samping itu juga dibentuk Hoogerechthoof dan Algemeene Rekenkamer.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang tanggal 2 September 1854 ditetapkan suatu RR baru. Apabila dicermati isinya, RR ini lebih bersifat konstitusi bagi Hindia Belanda daripada RR yang terdahulu. RR 1854 ini mengalami perubahan beberapa kali. Dari aspek ketatanegaraan perubahan yang penting adalah diundangkannya Undang-undang Desentralisasi tahun 1903 dan Undang-undang tahun 1916 yang termuat dalam Inds. Stbl. 1917 nomor 114 membuka kemungkinan untuk membentuk Volksraad; serta Undang-undang tentang pembentukan kembali pemerintahan tahun 1922 tentang Bestuurhervorming membuka kemungkinan untuk mengadakan desentralisasi dan dekonsentrasi secara besar-besaran.
Sampai dengan tahun 1854 wilayah Tanah Jajahan terdiri dari wilayah yang dikuasai langsung, yang dikuasai tidak langsung, dan wilayah yang dipengaruhi oleh pemerintah kolonial. Perkembangan ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Tanah Jajahan telah mendorong timbulnya perubahan yang semula terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Madura ke wilayah di Luar Pulau Jawa. Perkembangan di Jawa dan Madura antara lain berkembangnya kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya serta perkembangan administratif di luar kerajaan Yogyakarta dan Surakarta yaitu berkembangnya pemerintahan lokal Administratif yang agak lengkap, yang menjalankan peraturan pemerintah pusat yang dilakukan oleh Pangreh Praja Belanda dan Bumi Putera. Seperti pada masa sebelumnya, pemerintah dilaksanakan oleh para Bupati tetapi tidak menyentuh lapisan rakyat bawah. Desa dibiarkan hidup terus sebagai persekutuan hukum adat dengan susunan pemerintahan yang berdasarkan hukum adat dengan otonomi yang meliputi kekuasaan mengatur, mengurus, dan mengadili persengketaan hukum adat.
Dengan semakin banyaknya jenjang atau jalur perintah maka Residen tidak lagi melaksanakan tugas peradilan dan kepolisian di daerahnya karena telah ditangani oleh Asisten Residen yang jumlah semakin banyak. Kecuali penambahan jumlah personil pembenahan dalam fungsi juga dilaksanakan. Dalam upaya meningkatkan pendapatan negara reorganisasi pejabat yang menangani pajak juga dilakukan. Pada 1827 jabatan Opziener diganti dengan Controleur. Sesuai dengan fungsinya mereka bertugas mengumpulkan pajak bumi di wilayah Karesidenan yang menjadi wilayah kerjanya. Petugas ini kemudian menjadi Directie voor de Cultures. Jenjang karier Controleur ini dibagi menjadi tiga tingkatan yang dapat naik pangkat sampai pada jabatan dalam dinas pemerintahan yaitu Asisten Residen atau Residen.
Pembenahan di lingkungan pemerintahan lokal juga dilakukan secara bertahap. Controleur yang semula bertugas sebagai pegawai pajak, sesuai dengan Stbl. 1872 nomor 225 secara definitif digabungkan dengan Dinas Pangreh Praja yang sebenarnya hal ini sudah terjadi setengah abad sebelumnya. Kepada Asisten Residen diperbantukan dua atau tiga Controleur, sebagai pembantu Asisten Residen yang tidak mempunyai kekuasaan sendiri. Mereka bertugas mengawasi apakah perintah kepalanya (Asisten Residen) dikerjakan, mengamati tentang apa saja yang berkaitan dengan kesejahteraan dan perkembangan rakyat. Sebagai pejabat di tingkat bawah, Controleur mengetahui tentang adat istiadat masyarakat, kesehatan, pertanian, peternakan, dan lain-lain dalam wilayah Afdeeling tersebut. Controleur juga diwajibkan membantu Pangreh Praja Bumi Putera dalam melaksanakan tugasnya, mengingatkan apabila ada kekurangan, dan sebagainya. Kepada Asisten Residen dan Residen Controleur memberikan segala keterangan yang penting seperti apabila ada pejabat Bumi Putera yang bersikap kritis dan reaktif terhadap penguasa Kolonial bila perlu disertai dengan usul karena ia adalah mata-telinga Asisten Residen dan Residen.
Dalam pemerintahan lokal Controleur dan Wedana merupakan poros bagi roda pemerintahan. Controleur bertugas mengawasi Pangreh Praja bumi putera tidak ada kecualinya termasuk Bupati. Dalam masa selanjutnya Controleur di Jawa dan Madura tidak mengepalai daerah administratif sendiri yaitu hanya sebagai pembantu Asisten Residen, namun di luar Jawa dan Madura daerah Administratif Onder-Afdeeling sebagian besar ada yang dikuasai oleh Controleur dan ada yang dikuasai Civiel Gezagheber. Oleh Bupati Controleur diperbantukan kepada patih yang bertugas menyampaikan perintah Bupati ke seluruh wilayah kabupaten sehingga merupakan penghubung yang penting antara Bupati dengan pegawai bawahannya. Pada tiap-tiap Gewest diadakan jabatan Sekretaris Gewest yang pada masa kemerdekaan menjadi Sekretaris Wilayah. Dengan demikian pada akhir abad ke-19 di Jawa dan Madura telah ada organisasi pemerintahan lokal yang lengkap. Formasi pangreh praja ditambah dengan dibentuknya Asisten Controleur yang diperbantukan kepada Controleur.
Dibentuknya mesin birokrasi sering diasosiasikan dengan kepentingan pemerintah kolonial. Demikian pula berkembangan peleksanaan Sistem Tanam Paksa atau STP memerlukan sejumlah besar tenaga yang direkrut dari golongan Bumi Putera dalam pemerintahan lokal Bumi Putera. Dalam masa selanjutnya, meskipun STP sudah dihapuskan lapangan pekerjaan pangreh praja tidak berkurang. Hal itu tampak dengan bertambahnya formasi dalam organisasi pemerintahan. Oleh karena itu jelaslah bahwa perhatian pemerintah ditujukan di bidang lain yang memerlukan tenaga kerja lebih banyak dibandingkan pada masa STP. Dalam RR 1854 misalnya diakui turun temurunnya jabatan Bupati meskipun ditambahkan harus dipenuhi dengan beberapa syarat. Hal ini dipertahankan sampai runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda. Beberapa perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial sesudah masa STP adalah dihapuskannya secara definitif penguasaan tanah sebagai gaji atau sistem apanage. Kerjapaksa tanpa upah atau rodi juga dikurangi. Perubahan lain yang cukup fundamental bagi masyarakat tradisional Jawa adalah bahwa sejak tahun 1874 sebagian besar pegawai tidak lagi diijinkan memperoleh kerja dari orang lain tanpa bayaran. Pada 1882 hak pancen bagi pegawai Bumi Putera dihapuskan sama sekali. Peraturan ini semua mengurangi cahaya Bupati yang sifatnya masih feodal.
Sejalan dengan perubahan yang dilakukan dalam struktur birokrasi maka jalur perintah dari atasan kepada bawahan juga mengalami perubahan, Dalam Stbl. Tahun 1867 nomor 114 misalnya berisi instruksi bagi Pegawai Pangreh Praja bumi putra seperti Bupati serta Kepala Gewest yang berkaitan dengan perubahan tersebut. Untuk tingkat lebih rendah seperti Wedana juga diberi instruksi yang isinya hampir sama sebagaimana termuat dalam Stbl. Tahun 1886 nomor 244. Sementara itu pada tahun 1874 setelah pembagian wilayah dilanjutkan dalam Onder-Distrik untuk seluruh Jawa dan Madura, sebagaimana termuat dalam Stbl. tahun 1874 nomor 72, Asisten Wedana diberikan instruksi seperti para Wedana, meskipun sebenarnya instruksi itu diwajibkan sebagai pedoman bagi para Bupati sebagaimana diatur dalam Stbl. 1874 nomor 93.
Sampai dengan tahun 1903, tata pemerintahan di Tanah Jajahan tidak mengalami perubahan. Menurut RR 1854 pemerintah di Hindia Belanda dipusatkan di Batavia. Gubernur Jendral merupakan penguasa tertinggi di Tanah Jajahan, yang bertanggungjawab kepada pemerintah di Negeri Belanda. Gubernur Jendral mempunyai kekuasaan tak terbatas walaupun di sampingnya ada Raad van Indie. Dengan demikian dalam RR 1854 tidak mengenal azas desentralisasi. Oleh karena itu, kepala daerah semata-mata mempunyai satu fungsi yaitu sebagai alat pemerintah pusat.
Pada awal abad ke-20 kritik terhadap azas sentralisasi banyak terdengar. Hal itu menunjukkan bahwa sentralisasi tidak lagi memberikan kepuasan kepada masyarakat karena terlalu banyak urusan di satu tangan maka pekerjaan yang terbengkelai. Fungsi Pangreh Praja yang khas dirongrong dengan hebat dengan munculnya suara yang menuntut diadakannya modernisasi dan demokratisasi. Suara yang meminta desentralisasi semakin santer terdengar. Suara tersebut menganggap bahwa sistem sentralisasi tidak dapat dipertahankan lagi. Dorongan itu diperkuat dengan adanya Politik Etis yang di kalangan orang Belanda sendiri dipelopori oleh van Deventer pada pokoknya menghendaki agar pemerintah berusaha meringankan beban pajak rakyat, mengembangkan dan meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan rakyat, serta pemerintah disusun dengan cara yang lebih modern dan demokratis tidak semata-mata mengeruk kekayaan dari daerah jajahan saja. Kepentingan dan kebutuhan daerah yang luas dan beraneka warna tidak dapat dijalankan pemerintah pusat dengan baik. Kebutuhan pegawai bagi daerah yg sedemikian luas juga tidak mungkin semuanya ditangani pemerintah pusat. Maka mulai bergeraklah sistem pemerintahan ke arah sistem dekonsentrasi, medebewind dan otonomi. Kesadaran itu di Indonesia mulai timbul pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Puncak dari keberhasilan tuntutan untuk menerapkan desentralisasi adalah diundang-kannya Decentralisatiewet tanggal 23 Juli 1903. Atas usul Idenburg diadakan perubahan atas beberapa pasal dalam RR yaitu pasal 68a, 68b, dan 68c. Dengan perubahan itu Undang-undang yang baru ini yang disebut Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie memuat pasal-pasal yang memberikan peluang bagi daerah Gewest atau bagian dari Gewest untuk mengadakan desentralisasi dalam pemerintahan serta untuk mewujudkan daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri. Di samping itu terdapat pula aturan lain yaitu Desentralisasi Besluit 1905 dan Locale Radenordonantie yang memberikan kewenangan lain seperti memberi tugas perbantuan Bagi setiap daerah yang didesentralisasikan ditetapkan dengan ordonansi sendiri yang disebut Ordonansi Pembentukan. Guna mendukung dalam melaksanakan tugasnya pemerintahan daerah juga diberi wewenang membentuk Locale Raden atau Dewan Lokal. Sudah barang tentu pada masa awal pelaksanaan undang-undang ini banyak kesulitan yang dihadapi. Meskipun demikian sejumlah daerah telah berhasil membentuk dewan yang disebut Gewestelijk Raad dan untuk bagian dari gewest disebut Plaatselijk Raad. Undang-undang desentralisasi juga memberikan keleluasaan bagi daerah untuk membentuk masyarakat hukum baru, membentuk keuangan, serta mempunyai perlengkapan sendiri.
Pada 1916 pemerintah Hindia Belanda mulai mengangkat Burgemeester untuk mengepalai tiap-yiap Gemente yang telah dibentuk yang kemudian disusul dengan pembentukan Dewan pemerintah Daerah pada tahun 1922 karena pemerintah harus merupakan pemerintahan kolegial. Bagi Locale Resorten yaitu Gewest dan Plaats tidak dibentuk Dewan Pemerintah Daerah disamping Kepala Resort, melainkan hanya Kepala Resort/Daerah dan Raad saja dimana Kepala Resort/daerah juga merangkap/menjabat Ketua Raad. Keadaan ini dianggap oleh beberapa ahli tata pemerintahan seperti Mr. Woesthof dan Prof. Snouck Hurgronje. Mereka menghendaki agar diberikan peranan yang lebih besar lagi kepada penduduk asli untuk berperan serta di dalam pemerintahan. Maksud saran tersebut adalah agarbangsa Indonesia memperoleh pengalaman politik atau politiek scholing.- yang merupakan keharusan di saat Hindia Belanda diberikan hak menjalankan pemerintahan yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Berkenaan dengan tuntutat itu pemerintah Hindia belanda mengeluarkan Ontvoogding Ordonantie atau Ordonansi Pembebasan Perwalian – tahun 1918 Nomor 674. Ordonansi ini mengatur pemberian kekuasaan oleh Gubernur Jendral untuk menunjuk daerah mana yang dapat diberi hak perwalian. Sebagai percobaan untuk pertama kalinya ditunjuk daerah Cianjur sebagai daerah yang bebas dari perwalian sebagaimana diatur dalam Stb 1918 nomor 675. Sehubungan dengan hal tersebut Bupati Cianjur diberikan kewenangan untuk (1) menyelesaikan persengketaan tanah; (2) mengangkat dan memberhentikan agen polisi pamong praja; © menyelesaikan urusan pemerintahan lainnya.
Pada tahun 1922 Menteri De Graaf mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan Tata Pemerintahan Negara Hindia Belanda atau Bestuurhervormings. Rancangan udang-undang itumemperoleh sambutan baik di Parlemen Belanda. Sebagai hasilnya, pada tahun 1922 diundangkan Bestuurhervormings Ordonantie tertuang dalam stb tahun 1922 nomor 216. Esensi dari ordonansi ini adalah perubahan dari susunan aparat dekonsentrasi serta pembaharuan dan reorganisasi badan hukum publik yang berdiri sendiri atau otonom atau zelfstandige publiek rechtelijke lichamen. Adapun alasan perubahan tersebut adalah (a) makin meningkatnya jumlah penduduk yang mengakibatkan terjadinya perubahan dan perkembangan dalam segala aspek kehidupan; (b) letak geografis, kebudayaan dan hukum, ekonomi dan sosial yang berbeda-beda sehingga memerlukan pengaturan sendiri-sendiri demi kepentingan daerah masing-masing; (c) untuk meringankan beban tugas pemerintah pusat dan untuk menetapkan pembagian tugas yang telah nyata kepada para pejabat dekonsentrasi dalam menjalankan tugas memimpin dan memberikan bimbingan dalam pemerintahan sehari-hari dan dalam melaksanakan pemerintahan umum; (d) pembentukan locale sorten terlalu sempit sehingga kurang efektif. Pembentukan Gemente atas suatu kota erat sekali kaitannya dengan konsentrasi usaha atau kepentingan bangsa Eropa. Perkembangan ekonomi di Tanah Jajahan mendorong perkembangan pemerintahan kota. Sejalan dengan hal tersebut jumlah orang Eropa juga makin besar. Waktu itu di kota terdapat pemimpin yang dualistis. Maka muncullah kritik yang menentang fungsi walikota yang dualistis. Maka sejak 1916 di kota besar dualisme dalam pimpinan pemerintahan lokal dihapus dan walikota tidak lagi diambil dari pejabat Pangreh Praja.
Sampai dengan tahun 1918 kekuasaan pemerintahan di Tanah Jajahan sebagian besar berada di tangan bangsa Eropa yang lazim disebut Europeesche Bestursambtenaren. Baru sejak tahun itu pula pelimpahan kekuasaan mulai terjadi yang dikenal dengan sebutan Ontvoogding atau pencabutan perwalian, yang mencabut sebagian kekuasaan dari tangan bangsa Eropa untuk dilimpahkan kepada penguasa Bumi putera, sebagaimana diatur dengan Stbl. tahun 1918 nomor 674. Dalam ordonansi tersebut disebutkan bahwa Gubernur Jendral dapat menunjuk Afdeeling atau kabupaten di Jawa dan Madura, yang semula kewajiban dan kewenangan dilakukan oleh pejabat bangsa Eropa atau pejabat Bumi Putra yang tinggi diserahkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Gewest. Ontvogding ini kelak direalisasikan dengan dibentuknya Kabupaten yang mengatur dan megurus rumah tangganya sendiri. Di Luar Jawa dan Madura Ontvoogding belum berjalan secepat di Jawa. Kebijakan ini meniru kebijakan Inggris di British India yang menuju pemerintahan sendiri. Namun sebenarnya pemerintah Hindia Belanda menjalankan kebijakan ini, dinilai oleh banyak pihak, sekedar untuk mengelabuhi mata dunia internasional. Karena kekuasaan yang diserahkan hanya meliputi bagian-bagian yang tidak penting.
Sementara itu urusan yang penting seperti keamanan masih berada dalam tangan bangsa Eropa. Bahwa dalam merealisaikan Undang-undang Desentralisasi 1903 selama ini belum menyangkut hal yang mendasar dari tata cara mengatur rumah tangga suatu pemerintahan daerah dan baru menyentuh masalah yang remeh maka muncul reaksi yang menuntut diadakannya perubahan secara besar-besaran. Pemerintah kolonial menjawab reaksi tersebut dengan mengeluarkan Wet op Bestuur Hervorming yang termuat dalam Stbl. 1922 nomor 216 yang berisi ketentuan yang membuka kemungkinan untuk mengadakan desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan secara besar-besaran seperti disebutkan di depan. Undang-undang ini mempunyai dasar yang lebih kuat dari pada Desentralisatiewet 1903. Dalam pembentukan sebuah propinsi misalnya, sebelumnya dibentuk suatu Gewest bentuk baru atau Gewest besar yang bersifat administratif dengan ditentukan daerahnya yang meliputi beberapa Gewest yang telah ada. Gewest baru ini diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Di samping itu juga ditentukan urusan-urusan apa yang oleh pemerintah pusat diserahkan kepada daerah yang boleh diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangganya sendiri.
Sebenarnya wacana tentang kemungkinan untuk melakukan perubahan dalam tata pemerintahan lokal itu telah berkembang sejak tahun 1914 atau awal Perang Dunia I. Beberapa Menteri telah mengajukan rancangan undang-undang tersebut yang akhirnya muncullah konsep jadi dan lahirlah undang-undang tersebut. Undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari RR 1854 yang ditambah dengan 4 pasal baru, yaitu pasal 67a, 67b, 67c, dan 68 yang menjadi pasal 119, 120, 121, dan 122 pada Indische Sttaatsregeling. Adapun pasal 68 RR dipecah menjadi pasal 123, 124, dan 125 Indische Staatsregeling. Pasal 119 IS menjadi dasar pembentukan Propinsi melalui Ordonansi Propinsi (Stb tahun 1924 nomor 78). Pasal ini menetapkan bahwa Indonesia akan dibagi ke dalam dua macam wilayah yaitu propinasi dan wilayah bukan propinsi. Daerah propinsi harus dapat mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
Politik Etis dianggap sebagai gerakan pemurnian yang bertujuan meningkatkan kecerdasan dan kehidupan sosial ekonomi rakyat Indonesia. Pemerintah Belanda berharap bahwa dengan melaksanakan proses akulturasi tersebut akan mendekatkan rakyat Indonesia dengan rakyat Belanda yang akan menuju hubungan antara negeri Belanda dan Indonesia sebagai bagian Kerajaan Belanda dalam bentuk lama. Namun perkembangan yang terjadi di Tanah Jajahan di luar harapan semula. Dalam pertumbuhannya gerakan ini justru menjilmakan kebangunan politik kaum cendekiawan bangsa Indonesia yang mulaibergerak dalam organisasi yang bertujuan menuntut lebih banyak hak dalam lapangan ketatanegaraan bagi bangsaIndonesia. Ini adalah benih dari gerakan kemerdekaan yang pada masa berikutnya hidup dengan subur dengan puncaknya berupa proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Politik Etis yang memberi dampak pada perkembangan gerakan kebangsaan itu menyebabkan penguasa Belanda di Tanah Jajahan melakukan perubahan dalam lapangan ketatanegaraan untuk mengadakan pemerintahan yang intensif guna mengimbangi tuntutan berbagai organisasi kebangsaan dalam lembaga perwakilan dan pemerintahan berupa pemberian otonomi, desentralisasi dan medebewind itu.
Berdasarkan pada Stadsgemeente Ordonantie (Stb tahun 1926 nomor 365 dibentuklah perangkat pemerintahan Stadsgemeente yang terdiri dari Burgemeester atau Walikota, College van Burgemeester en Wethouders dan Stadsgemeente Raad. Tidak semua Gemeente mempunyai College karena beberapa di antaranya tidak memerlukannya. Tugas Stadsgemeente adalah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dan sama sekali tidak diberi wewenang untuk ikut melaksanakan urusan pemerintahan umum sebab Stadsgemeente letaknya di dalam Regentschap sehingga tugas di bidang pemerintahan umum tersebut berada dalam tangan Regent serta aparaturnya. Demikian halnya dengan pembinaan terhadap desa tetap dilakukan oleh Regent walaupun dalam kota tersebut terdapat desa yang otonom.
Tugas utama Stadsgemeente adalah mengurus kepentingan orang Belanda dan orang Eropa lainnya terutama mengurus jalan, riool, taman yang ada di kota serta sekitar pemukiman bangsa Eropa. Di wilayah Luar Jawa dan Madura terdapat suasana yang berbeda. Menurut Groepsgemeenteschap Ordonantie (Stb tahun 1937 nomor 464) dan Stadsgemeente Ordonantie Buitengewesten dibentuklah beberapa Groep gemeenteschap dan Stadsgemeente sedangkan Locaal Ressort yang dibentuk berdasarkan Decentralisatiewet 1903 masih tetap dipertahankan.
Reorganisasi wilayah dan pemerintahan yang diuraikan tersebut hanya terjadi di wilayah yang langsung dikuasai Pemerintahan Hindia Belanda. Di luar wilayah tersebut terdapat unit pemerintahan lokal tradisional yang disebut Inlandsche Gemeente seperti Desa, huta, Marga dan sebagainya. Untuk wilayah Jawa dan madura, Inlandsche Gemeente diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie yang disingkat IGO (Stb tahun1906 nomor 83) adapun untuk wilayah Luar Jawa dan Madura diatur dengan Inlandsche Gemeente Ordonantie Butengewesten (IGOB) dalam Stb tahun 1938 nomor 490, Bijblad 9308, Stb 1931 nomor 507, dan Desa Ordonantie Stb tahun 1941 nomor 356. Desa Ordonantie ini tidak sempat diterapkan karena pecahnya Perang Dunia II. Di wilayah yang tidak dikuasai langsung oleh Belanda terdapat Daerah Otonom yang disebut Zelfbestuurende Landschapen. Daerah ini terdiri dari kerajaan asli Indonesia yang mempunyai ikatan dengan pemerintah Hindia Belanda melalui kontrak politik, baik kontrak politik panjang maupun kontrak politik pendek.
Sebagai Kepala Pemerintahan di tingkat Propinsi Gubernur melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang yang tidak diserahkan kepada Provinciale Raad, baik yang berupa hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri atau hak medebewind. Tentang hal yang bukan urusan pemerintah propinsi, Gubernur berada di luar pengawasan Dewan Propinsi. Dalam hal itu Gubernur bertindak selaku aparat pemerintah pusat, merupakan Kepala Gewest Besar administratif yang bertanggung jawab kepeda pemerintah pusat.
Dalam Gewest yang belum berkembang sehingga propinsi belum dapat dibentuk, seluruh pemerintahannya dijalankan oleh pejabat tinggi pemerintah atas nama Gubernur Jendral. Daerah semacam ini dinamakan Gubernemen. Dalam menjalankan tugasnya Kepala Gubernemen dapat membentuk Dewan Penasihat yang bertugas membantu Kepala Gubernemen seperti di Daerah Yogyakarta dan Surakarta. Di luar Jawa, wilayah Tanah Jajahan dibagi menjadi Gubernemen Sumatra, Borneo, dan Gubernemen Timur Besar.
Bersamaan dengan berkembangnya pergerakan nasional yang minta perhatian bagi tugas politik polisional, pemerintah kolonial menaruh perhatian terhadap kedudukan Pangreh Praja yang spesifik. Dengan Stbl. tahun 1922 tentang Bestuurhervorming kecuali dilaksanakan desentralisasi seluas-luasnya namun kedudukan Pangreh Praja dikembalikan pada posisi semula, yaitu tetap memegang kedudukan penting dalam Pemerintahan Lokal yang mengurus rumah tangganya sendiri. Perubahan semacam ini dianggap masih juga belum memberikan kepuasan. Oleh karena itu pada tahun 1931 penyempurnaan atas Stbl. tahun 1922 tentang Bestuurhervorming itu sebagaimana yang termuat dalam Stbl. 1931 nomor 168 mengatur tentang fungsi Asisten Residen yang dibagi menjadi antara Residen gaya baru, Asisten Residen, dan Bupati. Dalam tahun 1938-1939 diterbitkan beberapa Ordonantie yang mengatur hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Lokal. Dengan dikeluarkannya ketetapan tersebut rencana untuk mengadakan desentralisasi menjadi semakin jelas.
Restrukturisasi birokrasi pemerintahan kolonial telah terjadi sejak awal abad ke-19. Daendels telah menghapus jabatan Gubernur tetapi pada masa kemudian dengan dibentuknya Gewest Besar maka jabatan Gubernur dihidupkan kembali. Satu hal yang penting untuk dicermati adalah apakah alasan pembentukan kembali jabatan Gubernur tersebut. Salah satu dari alasan tersebut adalah bahwa jabatan gubernur itu diperlukan untuk menghindarkan terkonsentrasinya wewenang pada beberapa posisi baik posisi yang lebih tinggi maupun posisi yang lebih rendah. Jabatan gubernur berfungsi untuk mengalihkan kewenangan tertentu dalam bidang pemerintahan dari Gubernur Jendral dan Direktur di Departemen kepada Gubernur maupun sebagian dari kekuasaan Residen yang ada di bawahnya. Dengan demikian pengurangan kekuasaan dari pusat ke daerah yaitu ke tangan gubernur adalah sejalan dengan prinsip desentralisasi. Gubernur adalah kepala Gewest baru. Sementara itu urusan penting tertentu seperti urusan keamanan dan militer yang semula berada di tangan Residen dipindahtangankan kepada Gubernur karena posisi Residen memang terlalu rendah dalam melakukan komunikasi dengan penguasa lokal tradisional. Residen gaya baru menjadi Kepala Afdeling dan mengambil alih fungsi Asisten Residen gaya lama. Dengan demikian kekuasaan Gubernur sebagian besar terdiri dari yang dikonsentrasikan. Di bawah organisasi lama seperti yang ada di Luar jawa praktis masih tetap seperti sebelumnya. Di daerah tersebut para Residen masih berkuasa seperti sebelumnya. Di Jawa dan Madura Residen turun fungsinya menjadi kepala Afdeling.
Di Luar Jawa Residen membawahi Kepala Onderafdeling yang sebagian besar dilakukan oleh Controleur atau Civiel Gezaghebber. Di antara Residen dan Onderafdeling yang terutama untuk mengawasi dan untuk memberikan bimbingan, ditempatkan Kepala Afdeling yang sebagian besar dilakukan oleh Asisten Residen. Pangreh praja bumi putera berada di bawah kekuasaan Onderafdeling. Di kebanyakan Gewest pangreh prja bumi putera diorganisasikan sesuai dengan hukum adat seperti yang terjadi di Aceh dan Sulawesi Selatan. Di daerah yang tidak mengenak hukum adat yang besar dibentuklah wilayah yang dikepalai oleh Kepala Distrik atau kadang-kadang oleh kepala Onder-distrik seperti yang dijumpai di Sumatera dan Kalimantan.
Di Indonesia Timur pemerintah bumi putera tidak diberiwilayah. Penguasa lokal atau pemuka adat di wilayah ini difungsikan sebagaipembantu Kepala Onderafdeling dengan sebutan Bestuurassistenten. Beberapa Bestuurassistenten ada yang mempunyai wilayah sendiri. Namun ada pula Kepala Distrik yang wilayahnya menjadi satu dengan daerah Onderafdeling yang ia bertindak sebagai pembantunya. Di daerah ini kadang-kadang ada pejabat pemerintahnya berasal dari bumi putera.
Pemerintahan Pangreh Praja pada awal abad ke-20 dapat dibedakan menjai Europeesche Bestuur yaitu pemerintahan Pangreh Praja yang dikendalikan oleh orang Belanda; Inlandsche Bestuur yaitu pemerintahan pangreh praja yang dikendalikan oleh orang bumi putera; dan pemerintahan Timur Asing yang dikendalikan oleh orang Timur Asing atas orang-orang TimurAsing. Inlandsche Bestuur dapat dibedakan antara yang berada di bawah langsung dan yang tidak berada di bawah langsungPemerintah Hindia Belanda. Di daerah yang di bawah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda dapat dibedakan antara Inheemsche Gouvernemen Bestuur atau Pemerintahan Bumi Putera dan Inlandsche Gemeentelijk Bestuur atau Pemerintahan masyarakat Hukum Bumi Putera. Dalam Inheemsche Gouvernement Bestuur Bupati merupakan pejabat yang tertinggi. Di atas Inlandsche Gemeentelijk Bestuur yang sudah ada sebelum kedatangan orang Belanda diangkat Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik yang pada pokoknya bertugas sebagai penghubung antara Pemerintahan Masyarakat Hukum Bumi Putera dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Di daerah yang tidak langsung dikuasai pemerintah Hindia belanda disebut Zelfbestuurende Landschappen atau daerah Swapraja, Daerah Istimewa.
Pemerintahan daerah ini diatur berdasarkan kontrak-kontrak politik - uraian tentang hal tersebut dapat dilihat pada bagian awal jilid ini. Ada dua macam kontrak politik yaitu kontrak politik panjang dimana hubungan antara pemerintah lokal Swapraja dengan pemerintah Hindia Belanda diatur secara terinci. Adapun kontrak politik pendek berisi aturan tentang hubungan antara pemerintahan lokal swapraja dengan pemerintaha Hindia Belanda diatur secara rinci dalam format yang lebih pendek.
Tentang Inheemsche Gouvernement Bestuur yang ada di daerah Luar jawa dan Madura mempunyai susunan yang berbeda. Di dalam Gubernemen Timur Besar terdapat Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik, Bestuur Asisten dan Hulp Bestuur Asisten. Dalam Gubernemen Borneo didapati Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik yang disebut Kyai dan Asisten Kyai. Dalam Gubernemen Sumatera dijumpai Kepala Distrik dan kepala Onder-distrik, yang di Daerah tertentu seperti Aceh disebut Demang dan Panglima Sogi atau Oelebalang.
Bagi kepentingan kelompok minoritas seperti orang Cina dan Arab, yang disebut dengan orang Timur Asing, diberi ketentuan khusus untuk menjaga hubungan baik antara pemerintah Kolonial dengan kelompok tersebut. Bagi golongan itu apabila jumlahnya mencukupi diberi kesempatan untuk mempunyai pemimpin mereka sendiri. Orang Cina biasanya dipimpin oleh seseorang Kepala dengan pangkat Kapitan. Bagi kelompok ini diberlakukan hukum yang khusus berlaku bagi mereka. Kepala pemerintahan golongan itu merupakan pegawai dari pemerintahan Hindia Belanda tetapi berbeda dengan Kepala Distrik atau Onder-Distrik karena tugasnya sangat bersifat setempat. Kepala pemerintahan itu tidak mempunyai fungsi yang disertai kekuasaan yang sebenarnya. Tugas mereka lebih bersifat polisi yaitu menjaga ketertiban dan melakukan pemungutan pajak di kalangan golongan mereka sendiri. Mereka juga tidak memiliki kekuasaan untuk mengaturan dan peradilan. Bagi orang Arab pemimpin mereka disebut Hoofd atau Kepala. Mereka diangkat oleh Gubernur Jendral dan di bawah perintah Europeesche Bestuur dan dengan Inlandsche Bestuur tidak ada hubungan hirarkhis sebagaimana diatur dalam Stbl. tahun 1928 Nomor 35 jo. Stbl. tahun 1938 nomor 374 Deskripsi di atas adalah menggambarkan pemerintahan lokal, khususnya Pemerintahan Umum Pusat di daerah atau Pangreh Praja dan pemerintahan Lokal yang Mengurus Rumah Tangganya Sendiri atau Pemerintahan Daerah Otonoom. Pada pergantian penguasa dari pemerinah Inggris ke pemerintahan Belanda pada 1816 di tingkat pemerintahan pusat dilaksanakan reorganisasi.
Di pemerintahan pusat mempunyai sekretaris sendiri yaitu Sekretaris Umum atau Algemeen Secretarie. Satuan militer yaitu Angkatan Darat dan Angkatan Laut mempunyai pimpinannya sendiri. Selain itu terdapat Sekretaris Khusus yaitu Direksi jendral Keuangan, Pendapatan dan Milik Negara, Produksi dan Gudang-gudang Sipil, Perkebunan. Direksi Jendral ini membentuk Jawatan vertikal di Gewest yang dipimpin oleh Inspektur. Pada watu itu Jawatan Duane atau Bea Cukai adalah merupakan jawatan yang rapi dan pegawainya ahli dari jawatan vertikal eselon bawah sampai eselon atas. Pajabat dari jawatan vertikal bertanggung jawab kepada Direksi Jendral dan di bawah pengawasan Pangreh praja. Karena alasan penghematan, Gubernur Jendral Du Bus van Gesiegnis cenderung menghapuskan jawatan vertikal. Kebijakan itu berubah saat pemerintahan Gubernur Jendral Dumaer van Twist yang memerintah pada 1851-1856. Untuk menyesuaikan organisasi dengan yang ada di Negeri Belanda tugas pemerintahan dibagi habis di antara departemen yang ada. Pada tahun 1855 Direksi Jendral dibubarkan dan dibentuklah Direksi sendiri-sendiri. Pada 1854 dibentuk Departemen Pekerjaan Umum namun pelaksanaannya sebenarnya dari RR dan baru dijalankan setelah Comptabiliteitwet yang dicanangkan oleh Menteri Fransen van der Putte pada 1864 yang membagi pengurusan keuangan antara Departemen-departemen yang ada. Pada tahun itu pula dibentuk Departemen Keuangan, Departemen Dalam negeri, Pekerjaan Umum, Pendidikan dan Pengajaran, dan Departemen Angkatan Laut dan Darat. Keadaan ini berlangsung sampai dengan tahun 1870. Pada tahun ini dibentuklah Departemen Kehakiman. Sebelumnya Departemen Kehakiman dilayani oleh Mahkamah Agung terutama oleh Pokrol Jendral.
Sejak 1870 banyak jawatan vertikal dibentuk. Hal ini berarti bahwa banyak kekuasaan Pangreh Praja dikurangi terutama di Jawa dan Madura dimana kekuasaan dijalankan secara intensif. Perubahan yang terjadi adalah dari tugas negara semata-mata sebagai penarik pajak menjadi negara yang menyelenggarakan kepentingan rakyat dimana Sistem Tanam Paksa dihapuskan untuk mendorong penyusunan organisasi aparat pemerintahan yang besar. Pada 1867 Gubernur Jendral mengeluarkan keputusan yang tertuang dalam Stbl tahun 1867 nomor 114 yang menetapkan bahwa kepala Gewest berada di bawah perintah langsung Gubernur Jendral. Selain itu Kepala Gewest juga harus menurut petunjuk Kepala Departemen, kecuali apabila menurut pendapatnya tidak sesuai, ia dapat mengajukan hak itu kepada Gubernur Jendral. Pada saat itu mulai dipisahkan fungsi Pangreh Praja dengan Kehakiman. Jawatan kepolisian yang merupakan aparat penting bertugas melindungi rakyat, pemerintah, serta mencari pelanggar hukum. Jawatan Kepolisian masih berada di bawah perintah Pangreh Praja. Menurut Bestuurhervorming 1922 Indonesia dibagi menjadi 8 Gewest bentuk baru dan wujudnya berupa 3 propinsi, 2 Gubernemen di Jawa dan Madura, dan 3 Gubernemen di Luar Jawa. Daerah administratif di Jawa dan Madura seluas daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri dibagi dalam daerah administratif Karesidenan, Kabupaten, Distrik, dan Onder-distrik. Daerah Gubernemennya adalah Yogyakarta dan Surakarta.
Sementara itu di Luar Jawa gubernemen dibagi atas daerah administratif Karesidenan atau Gewest lama, Afdeling, Onderafdeling, Distrik, Onder-distrik. Gubernemen Sumatra dibagi atas 10 Karesidenan, Gubernemen Borneo dibagi atas 2 karesidenan, dan Gubernemen Tumur Besar terbagi atas 5 karesidenan. Daerah Yang Mengurus Rumahtangganya Sendiri Propinsi dibagi atas Daerah Yang Mengurus Rumahtangganya Sendiri Groepgemeenteschaap dan Kotapraja. Reformasi dalam bidang pemerintahan telah mengisi perdebatan sejak perempatan abad terakhir abad ke-19 sampai dengan perempatan pertama abad ke-20. Namun tak kurang penting untuk dilihat adalah reformasi yang dilaksanakan pemerintah dalam bidang pemanfatan sumber yang ada di Tanah Jajahan, yang tercermin dari dibentuknya berbagai Departemen yang menangani hal tersebut. Pada 1897 pemerintah Kolonial memutuskan untuk menangani hutan jati. Kementerian Pertambangan juga dibentuk pada 1899 dimana kegiatan penambangan biji besi dan batubara sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum tahun tersebut. Pada tahun 1898 perusahaan tilpun diambil alih pemerintah dari swasta dan perusahaan kina dibangun. Perusahaan karet didirikan pada 1900 sementara itu pegadaian dan penjualan candu juga diambil alih Pemerintah dari tangan Cina. Guna menyediakan kredit bagi petani yang selama itu dijerat oleh pelepas uang Cina Pemerintah mendirikan Badan Perkreditan Rakyat. Tidak lama kemudian Pemerintah Kolonial mendirikan Badan yang bertugas memberikan penyuluhan dalam bidang pertanian, perikanan, dan industri. Pada saat yang sama pelayanan kesehatan hewan dan peternakan juga digiatkan. Reorganisasi dalam bidang pendidikan dilakukan pada tahun 1893 dan dilaksanakan perluasan secara nyata pada 1907. Dengan bantuan tenaga ahli yang baru saja direkrut, pejabat pemerintah lokal mampu menangani persoalan secara lebih intensif masalah kehidupan masyarakat secara luas sehingga peningkatan kesejahteraan rakyat semakin tampak.
Upaya pembenahan yang dilakukan pemerintah dalam bidang birokrasi yang luar biasa itu akan menjadi semakin kuat dengan dibentuknya berbagai Departemen atau Dinas Pemerintah. Pada tahun 1904 Departemen Pertanian didirikan, namun urusan yang terkait dengan dengan perdagangan dan industri yang meskipun sebagian besar terkait dengan Departement Pendidikan, Agama dan Industri, dibagikan di antara Departemen yang didirikan pada tahun 1907, yaitu Departement Perusahaan Negara mengambil alih kegiatan produksi, pelayanan, dan monopoli. Pada 1911 Departemen Pertanian disempurnakan menjadi Departemen Pertanian, Industri, dan Perdagangan. Saat itu sejumlah besar staf dan karyawan direkrut di berbagai departemen tersebut, di samping juga karena pada saat yang sama terjadi perkembangan di Luar Jawa. Sampai dengan tahun 1934 hampir tidak ada perkembangan baru pada saat Bepartemen Badan Usaha Negara dan Pekerjaan Umum dihapus dan fungsinya disebar dalam departemen baru yaitu Departemen Pehubungan, Departemen Urusan Perekono-mian yang merupakan leburan departemen lain seperti Departemen Pertanian dan sebagainya.
Masa Pendudukan tentara Jepang
Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia pada tanggal 7 Maret 1942 mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 tentang Pemerintahan yang akan dilaksanakan Balatentara Jepang. Undang-undang ini merupakan peraturan pokok tentang ketatanegaraan pada masa Pendudukan Jepang yang mengatur bahwa Balatentara Jepang melaksanakan pemerintahan Militer untuk sementara waktu di daerah yang dikuasainya agar ketertiban dan keamanan segera tercipta. Pembesar Bala Tentara Jepang memegang kekuasaan militer tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu berada di tangan Gubernur Jendral. Semua badan Pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui syah untuk sementara waktu asalkan tidak berten-tangan dengan aturan Pemerintah Militer. Balatentara Jepang juga akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai yang setia kepada penguasa Jepang, begitu pula harta benda, jiwa yang syah dan agama sekalian rakyat yang tidak berdosa.
Berdasarkan ketentuan tersebut nyatalah bahwa Balatentara Jepang akan melanjutkan ketentuaan pemerintahan lama dengan alat-alat perlengkapannya seperti Pangreh Praja tentu saja berjalan terus. Hal yang sama berlaku untuk Jawatan vertikal seperti Jawatan pos, Polisi, Kereta Api, Pegadaian, dan Pekerjaan Umum hanya saja pimpinan jawatan tersebut berada di tangan militer Jepang dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Wilayah Indonesia dibagi atas tiga wilayah pemerintahan yaitu Pemerintah Militer Angkatan Darat untuk Jawa dan Madura yang berkedudukan di Jakarta, pemerintahan Militer Angkatan laut untuk Sumatra yang berkedudukan di Sumatra yang berkedudukan di bukititnggi dan pemerintahan militer Angkatan laut untuk Sulawesi, Borneo, Sunda Kecil, Maluku, dan Irian Barat yang berkedudukan di Makasar. Pemerintahan Balatentara Jepang tidak dapat memikirkan tentang penyelenggaraan pemerintahan lokal sebab perhatian mereka tercurah pada mensukseskan perang Asia Timur Raya. Segala sesuatu yang mengangkut pemerintahan diarahkan pada tujuan mereka yaitu mensukseskan perang tersebut. Dalam menghadapi peperangan balatentara Jepang yang sedang memuncak maka pemerintahan harus sentralistis oleh karena itu desentralisasi harus ditiadakan.
Reorganisasi yang dilaksanakan oleh Balatentara Jepang adalah melaksanakan Perubahan Tata Pemerintahan Daerah yang termuat dalam Undang-undang tahun 1942 nomor 27. Menurut Undang-undang tersebut Pulau Jawa dan Madura dibagi menjadi Daerah Syuu setaraf Karesidenan, Setiap Syuu dibagi menjadi Ken atau Kabupaten dan Si setaraf Styadsgemeente. Disamping itu ada Tokubetsu Si atau Stadsgemeente Luar Biasa, kota yang istimewa yang ditunjuk oleh Gunseikan, Panglima Balatentara Jepang, yang mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Pada tingkat bawah ada Gun atau Distrik, Son atau Onder-Distrik, dan Ku atau Desa. Daerah Swapraja atau berpemerintahan sediri seperti Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta disebut Kooti. Selanjutnya wilayah Propinsi dengan gubernurnya dihapus. Demikian pula Afdeeling dan Asisten Residen.
Pada tahun 1943 ditetapkan bahwa Kentyoo atau Bupati sebagai Kepala Wilayah di Kabupaten diwajibkan mengganti dan memegang kekuasaan yang dahulu dipegang oleh Regentschaapraad dan College van Gecoominteerden san Sityoo diwajibkan mengganti dan memegang kekuasaan yang dahulu dipegang oleh Gemeenteraad dan College van Burgemeester en Wethouders. Hal ini berarti bahwa kekuasaan dalam daerah yang mengurus rumahtangganya sendiri yaitu Kabupaten dan kota diserahkan kepada seorang pejabat saja dan Dewan yang ada dibekukan. Dengan demikian yang terjadi adalah pemerintahan tunggal. Pemerintah Militer Jepang hanya menyelenggarakan bidang dekonsentrasi. Syuutjoo kekuasaannya lebih besar dari seorang Residen pada masa Kolonial Belanda. Karena ia mengerjakan tugas pemerintahan militer sehari-hari di bawah pengawasan dan atas nama Gunseikan. Syuutjokan juga diwajibkan membuat undang-undang yang terkenal dengan sebutan Syuurei yang mengatur segala urusan di wilayahnya baik ketataprajaan, militer, kepolisian, dan ekonomi. Sistem pemeintahan tunggal semacam itu berlangsung sampai September tahun 1943. Pada tahun itu dibentuk dewan baik di Pusat dan daerah yang bertugas memberi nasihat kepada pejabat tunggal tersebut. Karena sebatas penasihat maka kebijakan Syuutyokan tak bergeser karena ia menjalankan tugas atas nama Gunseikan. Terlebih lagi masa itu situasi peperangan semakin memuncak. Dengan menyerahnya Balatentara Jepang kepada Sekutu lenyaplah kekuasaan Balatentara Jepang yang meninggalkan akibat buruk pada lapangan penge-tahuan dan pengurusan rumah tangga daerah.
Penutup
Berdasarkan pada uraian yang dikemukakan di bagian sebelumnya beberapa catatan dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.Gagasan untuk melaksanakan reorganisasi dalam bidang pemerintahan lokal dilandasi oleh ide demokratisasi dan liberalisme. Sejak pemerintahan Daendels yang menjadi kakitangan Napoleon, Raja Prancis yang dilanjutkan oleh Raffles, penguasa Inggris di Hindia Belanda, dan Penguasa Kolonial Belanda lainnya mendukung hal tersebut. Meskipun dalam implementasi kebijakan tersebut menunjukkan adanya perbedaan namun mempunyai tujuan yang sama yaitu bagaimana mencari uang sebanyak-banyak di Tanah Jajahan dengan cara menekan beaya operasional tetapi keuntungan yang diperoleh mencapai tingkat yang optimal.
b. Penguasaan wilayah Tanah Jajahan yang sedemikian luas yang semua sentralistis hanya akan efektif apabila dilakukan desentralisasi dalam pemerintahan. Seawal 1867, gagasan tentang pemberian kekeuasaan pemerintah Lokal, yaitu Residen, telah diusulkan oleh Mijer, yang kelak menjadi Gubernur Jendral dan Menteri Tanah Jajahan, yang berpendapat bahwa Pulau Jawa dapat dibagi menjadi tiga Propinsi. Meskipun kebijakan desentralisasi pemerintahan diharapkan menciptakan efisiensi tetpai dalam kenyataannya dari segi keuangan justru menaikkan ongkos bagi pejabat kolonial dengan pengorbanan penguasa Bumi Putera karena ongkos bagi pejabat Eropa naik dari f.5,62 juta pada 1897 menjadi f.7,07 pada 1904 dan belanja penguasa pribumi menurun dari f. 7.20 juta menjadi f.6.08 juta pada tahun yang sama. Ada kesan bahwa desentralisasi dikhawatirkan akan ada unifikasi pelayanan dari berbagai Departemen dan penggantian jabatan dari posisi orang Eropa ke tangan penguasa Bumi Putera. Namun hak itu tidak menjadi kenyataan tetapi yang berkembang justru bergesernya perhatian ke masalah pembentukan Dewan Lokal, yang diharapkan dapat membantu terciptanya pemerintahan yang baik dan lincah.
c. Menurut Rencana De Graaf, yang dikemukakan pada 1914 diharapkan yang muncul dalam proses desentralisasi adalah pengurangan personil Eropa tetapi mereka menjadi lebih terdidik dan lebih terlatih. Di pihak penguada Bumi Putera diberi kebebasan yang lebih besar dan diberi peluang untuk memperoleh pelatihan bagi menjalankan tugas mereka di Kursus Bagi Pejabat Pemerintahan. Meskipun gagasan ini terputus PD I sebelum terrealisasi namun pemberian kekuadsaan lebih besar kepada Penguasa Bumi Putera menjadi kenyataan. Gagasan tersebut didukung oleh Snouck Hurgronje yang menginginkan pemberian peran penduduk Bumi Putera untuk ikut serta dalam pemerintahan serta memberi pengalaman politik (politieke schooling).
d. Tumpang tindih antara fungsi eksekutif, legislatif, dan judikatif sangat nyata dalam pemerintahan lokal pada masa kolonial. Ketidak jelasan fungsi antara berbagai lembaga tersebut tampaknya memang disengaja agar kederadaan dewan lokal yang di dalamnya terdapat Bumi Putera yang sudah barang tentu menyuarakan kepentingan Bumi Putera dapat ditekan oleh penguasa Eropa agar kemungkinan munculnya bibit gejolak dapat diredam. Duduknya Gubernur dalam Provinciale Raden dan College van Gedeputeerden membuat lembaga Perwakilan tersebut sekedar pelengkap saja bukan sebagai lembaga perbantuan atau medebewind sebagaimana diinginkan. Mentalitas kolonial dari penguasa ternyata masih menunjukkan bekasnya pada masa kemerdekaan di mana lembaga legislatif seringkali justru menjadi alat eksekutif dalam rangka memperkokoh posisinya agar tetap kokoh seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
e. Masa Pendudukan Balatentara Jepang merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk belajar bagaimana menata masyarakat, menata pemerintahan, dan menata militer untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Prinsip efisiensi sangat menonjol pada pelaksanaan organisasi ketetanegaraan maupun organisasi kehidupan kenegaraan yang lain pada periode 1942-1945. Demikian pula efisiensi itu tampak pada kebijakan yang sentralistis karena memang situasi perang memaksa Pemerintah Militer Balatentara Jepang untuk menggunakan segala resources yang ada untuk kepentingan suksesnya Perang Asia Timur Raya. Betapa efektifnya Pendudukan Balatentara Jepang terhadap bangsa Indonesia tampak pada bukan saja penderitaan yang sedemikian hebat melebihi penderitaan yang ditimbulkan oleh penindasan Kolonial Belanda selama beberapa abad namun tak dapat diungkiri pula bahwa pengalaman dalam bidang militer, politik, sosial, ekonomi, dan budaya selama tiga setengah tahun itu telah membuka mata bangsa Indonesia akan harga diri dan kemampuannya untuk bagaimana mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara pada era kemerdekaan. [db]

Sabtu, 21 April 2012

Politik Pemerintahan Kerajaan Bima Abad VIII-XVI


Berbicara tentang Politik Pemerintahan Kerajaan Bima Abad VIII-XVI tentulah  memiliki keterkaitan dengan perkembangan agama pada masa sebelum Islam di Dana Mbojo (Bima), Pada hakikatnya perkembangan Agama di Bima sebenarnya sama dengan perjalanan sejarah perkembangan agama di daerah-daerah lain di wilayah Nusantara. Pada tahap-tahap awal perkembangan Agama dan kepercayaan Masyarakat Bima yaitu pada masa Naka dan masa Ncuhi, yakni lahir beberapa jenis agama yang berdasarkan pikiran serta hayalan manusia (agama budaya), bukan agama wahyu (Agama Samawi) seperti Islam. Agama budaya ini tumbuh dan berkembang ketika masyarakat masih berada dalam tingkat kehidupan yang masih sangat sederhana, dengan kata lain masih primitif. Karena itu agama-agama budaya hasil pikiran serta hayalan mereka disebut agama masyarakat primitif, yang meliputi dinamisme, animisme dan politeisme. (Nasution, H. 1974)
Agama-agama budaya itu oleh masyarakat Mbojo dikenal dengan istilah “makamba” (dinamisme), “makimbi” (animisme) dan Hindu (politeisme). Sementara politik pemerintahan yang ada, Dari informasi sejarah, dapat diketahui bahwa di Bima telah berlaku berbagai sistem politik pemerintahan, yang sesuai dengan keadaan zaman.
1
Selain masalah Agama dan kepercayaan Masyarakat Bima Pra Islam, dalam penelitian inipun diupayakan untuk mendapatkan suatu masukan yang berarti dalam mengetahui tentang tatanan politik pemerintahan di Bima dari masa naka sampai masa kerajaan. Sebagaimana diketahui ciri seorang pemimpin yang dipilih untuk menjadi panutan atau contoh tauladan bukanlah diambil dari orang biasa melainkan orang-orang yang memiliki kemampuan yang “luarbiasa” yang dianggap cukup mampu untuk menjaga dan melindungi masyarakat yang dipimpinnya selain daripada menjadi panutan dan contoh sebagaimana diuraikan sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Priyo Utomo (1953:13) tentang tipe kepemimpinan pada zaman Naka sebagai berikut :
“..............yang diangkat menjadi Naka bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang tokoh yang benar-benar faham tentang adat istiadat dan memiliki kekuatan gaib menurut agama Makamba dan Makimbi (Animisme dan Dinamisme). Dengan kata lain, Naka harus memiliki kemampuan dibidang agama dan memiliki pengetahuan yang luas.” (Priyo Utomo, 1953, hal 13)

Selain tipe kepemimpinan, pola kepemimpinan menjadi bagian integral dalam menata suatu pemerintahan yang baik. Walau bentuk pemerintahan itu dalam cakupan yang luas maupun dalam cakupan terkecil sekalipun. Keberadaan seorang Naka, Ncuhi serta Raja sangat diharapkan demi terciptanya roda pemerintahan yang kondusif serta aman baik dari ancaman yang datangnya dari dalam maupun ancaman-ancaman dari pihak luar/asing. Pelaksanaan roda pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang ditelorkan harus senantiasa dapat menjamin kesejahteraan Masyarakat.
Olehnya demikian peranan Ncuhi dibidang politik pemerintahan terus berlanjut pada masa kerajaan bahkan sampai pada masa Kesultanan. Mereka berperan sebagai penasihat Raja/Sultan dan sering diangkat sebagai Gelarang (Kepala Desa), khusus Ncuhi Dara akan diangkat menjadi Gelarang Rasana’e yang berada di pusat pemerintahan kerajaan dan kesultanan. Tugas lain  dari Ncuhi dara adalah melantik Raja / Sultan disamping Ncuhi Parewa, Dorowuni, Banggapupa, dan Bolo. (Tajib, A. 1995, hal 35).
Raja Pertama Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga.
Raja ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan dan sebagainya.
Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri).
Pada Puncak Kejayaan Kerajaan Bima, Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
Titik Kemunduran Kerajaan Bima (Masa Peralihan) dimulai dari lahirnya rasa ingin menguasai tahta oleh seorang Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek (kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka. Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera.
Meski demikian, Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah.
Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka Salisi dapat dihancurkan.