sekarang sedikit tahu tentang spesialnya lombok dan gunung rinjani dari tulisan ini. (Yusuf, S.Pd)
*Lombok Menanti Anak Pengungsi*
Oleh: Dahlan Iskan
Hanya bisa pasrah. Itulah yang terjadi di Lombok. Saat ini. Yang diguncang gempa beruntut. Susul menyusul. Tanpa tahu kapan datang. Berapa lama. Berapa besar.
Pasrah. Tidur di tenda. Seadanya. Tendanya maupun logistiknya.
Pasrah. Hanya itu yang bisa diperbuat. Yang ternyata ada hasilnya. Tidak banyak lagi korban jiwa. Di gempa dahsyat tengah malam. Minggu malam kemarin. Yang skalanya 7 SR.
Begitu sering gempa datang. Sejak tanggal 7 Agustus saja sudah 17 gempa. Yang di atas 5 SR. Atau 4 gempa. Yang di atas 6 SR. Sampai-sampai saya tidak bisa menjawab. Saat ada pertanyaan dari luar negeri: apakah pernah di masa lalu sesering dan sebesar itu.
Mereka sangat memerlukan data itu. Untuk masa depan Lombok. Yang ekonominya harus maju. Yang bangunan-bangunannya tidak cukup harus tahan gempa. Tapi harus tahan diguncang gempa beruntun.
Saya tidak pernah mendalami kondisi Lombok di masa lalu. Keterlibatan saya baru intensif belakangan. Saat menjabat Dirut PLN. Lombok adalah daerah yang paling parah krisis listriknya.
Terutama Lombok Timur. Di situ ada ‘PLN swasta’: Koperasi Rinjani. Yang sudah lama tidak berdaya. PLN tidak bisa begitu saja. Masuk ke wilayah koperasi itu. Bukan main sulitnya memecahkan persoalan ini. Alhamdulillah bisa selesai.
Saya juga tidak banyak tahu tentang Gunung Rinjani. Yang menyimpan misteri itu. Tahu saya hanya tiga: Gunung Toba, Gunung Krakatau dan Gunung Tambora. Yang ketika meledak menggegerkan dunia.
Saat Gunung Toba meletus abunya sampai Jerman. Begitu dahsyatnya. Sampai terbentuk danau Toba. Yang luasnya 1.130 km2. Yang dalamnya lebih 500 meter.
Begitu juga saat Krakatau meletus. Dunia gelap gulita. Gunungnya sampai hilang sama sekali. Hanya terlihat sedikit puncaknya. Itu pun kalau laut lagi surut.
Ketika Gunung Tambora meletus abunya sampai New York. Terbang dari tempat asalnya: di Sumbawa. Tinggi Gunung Tambora pun sampai berkurang 1.500 meter. Dari 4.300 meter sebelum meletus pada tahun 1815, menjadi tinggal 2.850 meter saat ini.
Hanya itu yang sering saya pelajari.
Saya tidak tahu. Bahwa letusan Rinjani dua kali lebih hebat dari Tambora. Pada tahun 1257, atau 44 tahun sebelum Majapahit berdiri. Waktu itu nama Rinjani belum disebut. Di Lombok hanya ada gunung Samalas.
Gunung Samalas itulah yang meledak. Menimbulkan gumpalan hitam di udara. Yang besarnya melebihi pulau Lombok. Musim dingin di Eropa sampai tidak dingin. Begitu juga di Amerika. Bahkan musim panas berikutnya menjadi tidak panas.
Samalas mengguncang dunia. Gunung itu tidak hanya meledak. Tapi lenyap. Hilang. Jadi debu. Menyebar sampai ke seluruh dunia. Para petani di Mongolia gagal panen. Demikian juga di belahan dunia lainnya.
Gunung Samalas hilang. Tinggal anaknya: Rinjani. Yang terus menerus bergolak. Meski tidak sedahsyat bapaknya. Tahun 1257 itulah Lombok kehilangan dua: Gunung Samalas dan kerajaan Pamatan. Yang pusat kekuasaannya di kaki Samalas.
Seluruh Lombok tertutup abu. Sang Raja tewas. Rakyatnya nyaris punah. Bahkan sampai Bali. Yang penduduknya berkurang sangat banyak. Sampai-sampai dengan mudah ditaklukkan oleh raja-raja dari Jawa Timur. Beberapa puluh tahun berikutnya.
Kini sudah tidak ada yang ingat Samalas. Atau Gunung Samalas. Tapi gempa yang diwariskannya masih terus menghantui kita.
Di selatan Lombok memang ada patahan bumi. Kira-kira 300 km jaraknya. Yang membujur dari barat ke timur.
Dan di bawah Lombok sana ada zona seismic. Disebut zona Benioff. Sesuai dengan nama penemunya. Letaknya sekitar 170 km di bawah Lombok. Zona itu aktif. Membuat gerakan-gerakan.
Saya tidak ahli bidang ini. Hanya banyak belajar. Saya tidak tahu hubungan antara patahan bumi itu dengan pergerakan di zona seismic itu. Saya juga tidak tahu hubungan antara keduanya dengan meletusnya Gunung Samalas. Lebih 600 tahun yang lalu. Atau meletusnya Tambora 200 tahun lalu. Atau rentetan gempa saat ini.
Saya tidak tahu. Saya hanya pasrah. Seperti para pengungsi.
Tapi saya percaya. Ilmu pengetahuan akan bisa banyak berbuat. Ketika kita sudah menjadi masyarakat ilmiah. Kalau sudah banyak ahli geologi. Salah satunya, mungkin, si anak pengungsi saat ini. (dahlan iskan)
Sabtu, 17 November 2018
Minggu, 25 Februari 2018
Pengantar Ilmu Sejarah
Pengantar Ilmu Sejarah
Oleh : Yusuf, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 2 Langgudu Kab. Bima)
Kata sejarah sudah tidak
asing lagi di telinga kita. Apabila kita menjumpai atau mendengar kata sejarah,
maka yang terbayang di sebagian besar kita adalah masa lalu, kekunoan, barang-barang
dari jaman dahulu serta semua hal yang berhubungan dengan masa lalu, kuno, dan
lapuk. Meskipun sebagian besar dari masyarakat kita menganggap sejarah tidak
penting, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah selalu menjadi hal yang paling
disalahkan apabila terjadi tragedy pada perjalanan umat manusia.
Secara literasi sejarah
berasal dari kata syajarah (bahasa Arab) yang berarti pohon, syajarah an-nasab
yaitu pohon istilah. Sejarah dalam bahasa Inggris adalah history yang merupakan
turunan dari kata historia (bahasa Latin) yang berarti orang pandai. Kata
historia juga diartikan sebagai pengetahuan tentang gejala-gejala alam. Dalam
perkembangannya sejarah lebih merujuk kepada aktivitas manusia di masa lampau.
Pada awalnya sejarah
dimaknai sebagai cerita tentang peristiwa masa lalu. Sejarah dalam bentuk
demikian bersifat naratif, artinya gambaran masa lalu disajikan secara lengkap
meliputi urtan fakta beserta penjelasannya. Sejarah dalam bentuk tersebut pada
umunya bersifat rinci dan kronologis tentang suatu peristiwa. Sejarah demikian
lebih bersifat cerita bukan merupakan sejarah ilmiah, karena tidak menuntut
penggunakan metodologi da teori.
1.
Sejarah sebagai Ilmu
Sejarah sebagai cerita masa lalu sering mencampuradukkan antara kenyataan
sejarah dengan hal-hal yang tidak nayata atau dongeng. Pencampuradukan ini
membuat sejarah sering pula disamakan dengan mitos atau legenda. Dengan
demikian peristiwa sejarah menjadi kabur, sementara yang berkembang menjadi
popular dan kemudian dipercaya sebagai suatu kebenaran sejarah oleh masyarakat
sebenarnya hal yang bukan fakta sejarah.
Agar suatu peristiwa sejarah yang sebenar kisah yang “ditambahkan” maka
aansejarahpada harus terletak pada kemampuan sejarah membuktikan kebenaran
peristiwa sejarah yang dapat diuji secara ilmiah. Jadi sejarah harus
membuktikan bahwa masa lalu itu benar-benar terjadi.
Sejarah sebagai ilmu harus membuktikan keobyektifan dan berlandaskan pada
keberadaan serangkaian artefak, manuskrip, dokumen untuk membuktikan dan
merekonstruksi peristiwa masa lalu. Dokumen, artefak, manuskrip adalah jejak
yang ditinggalkan dari aktivitas manusia di masa lalu. Semua benda itu yang
disebut sumber primer diteliti untuk dicari keterhubungan satu dengan yang
lainnya sehingga menjadi fakta. Fakta-fakta kemudian diinterpretasi yang
berakhir pada historiografi.
Sejarah sebagai ilmu adalah empirs, dalam kinerja sejarawan berdasarkan
pada pengamatan, pengalaman dan penafsiran. Dalam hal ini peneliti sejarah harus
mencari dan mengamati sumber, membandingkan keterangan dari satu sumber dengan
sumber yang lain, melakukan klasifikasi informasi yang ada pada sumber, menarik
fakta dan terakhir menyimpulkan. Semua kegiatan itu harus terekam dan dapat
diuji berulang kali.
Salah syarat ilmu adalah memiliki obyek. Obyek ilmu sejarah adalah manusia,
tetapi dalam hal ini yang dimaksud lebih pada aktivitas manusia di masa lampau.
Dalam melakukan pengamatan atas obyek, sejarah tidak dapat melakukan pengamatan
langsung selayaknya ilmu alam karena obyek kajiannya tidak dapat diamati secara
langsung. Ilmu sejarah melakukan pengamatan atas obyek pene mereka berupa
manuskrip, dokumen, atau artefak yang merepresentaskan kegiatan manusia di masa
lalu. Jadi dalam hal ini obyek kajian sejarah adalah manusia yang dibatasi oleh
ruang dan waktu.
Seperti halnya ilmu pengtahuan yang lain, ilmu
sejarah juga mempunyai teori yang sering disebut filsafat sejarah kritis. Teori
adalah hal-hal yang berkenaan dengan kaidah pokok keilmuan. Filsafat
menyebutnya epistemology yang berarti pengetahuan tentang sesuatu atau obyek
penelitian. Dalam hal ilmu sejarah obyek penelitiannya adalah manusia dalam
waktu. Inilah yang membedakan sejarah dengan mitos. Dalam mitos tidak jelas
waktu dari kejadian, sedangkan pada sejarah waktu menjadi suatu hal yang
penting sehingga jelas kapan suatu kejadian itu berlangsung.
Sebagai kajian ilmiah, sejarah juga melakukan
generalisasi atau melakukan penarikan kesimpulan umum. Berbeda dengan ilmu
social yang menarik kesimpulan pada satu penelitian dan diberlakukan juga untuk
obyek yang sama tetapi tempat berbeda sehingga kesimpulan di satu tempat
penelitian dapat berlaku sama untuk tempat lain asal dalam kondisi yang sama,
generalisasi sejarah sering berupa koreksi atas kesimpulan ilmu lain. Contoh
Marx menggeneralisasi bahwa semua revolusi adalah perjuangan kelas (kelas buruh
terhadap kelas majikan), tetapi dalam hal revolusi Indonesia bukanlah
perjuangan kelas tetapi digerakkan oleh nasionalisme.
Seperti halnya ilmu lain, sejarah juga
memiliki metode. Metode adalah langkah-langkah yang harus ditempuh seorang
peneliti agar dalam melakukan rekonstruksi terhindar dari bias subyektifitas.
Metode akan menuntun dan membatasi gerak peneliti sehingga kebenaran penelitian
dapat dipertanggungjawabkan. Keberadaan metode pada ilmu sejarah membuat
sejarah terbuka untuk diuji sehingga kebenaran sejarah lebih dapat diterima.
2.
Sejarah sebagai Seni
Ketika kita membaca sebuah karya sejarah,
adakalanya kita merasa bosan karena redaksional karya yang kit abaca tidak
menarik. Tetapi di pihak lain kita mendapati karya sejarah yang sangat enak
dibaca sehingga kita tidak merasa sedang membaca karya sejarah ilmiah, tetapi
kita merasa seperti membaca novel. Menarik tidaknya suatu karya sejarah sangat
tergantung pada penulis atau peneliti sejarah.
Karya sejarah ilmiah harus berupa rekonstruksi
data sejarah yang terpercaya dan andal. Seorang peneliti sejarah memiliki keharusan
menguasai tehnik menelusuri dan mengumpulkan data atau dalam bahasa sejarah
lebih dikenal dengan istilah sumber sejarah. Kemampuan, kejelian dan ketelitan
peneliti sangat menentukan ketersediaan sumber sejarah yang menjadi bahan dasar
untuk rekonstruksi sejarah.
Seorang peneliti sejarah ketika akan
menentukan topic kajian penelitian tidak dapat hanya mengandalkan ilmu sejarah.
Peneliti sejarah memerlukan ilmu lain untuk melihat sisi lain dari dinamika
manusia yang belum dikaji dari masa lalu. Ilmu social (sosiologi) dan ilmu
budaya (antropologi) sangat membantu dalam hal mencari kemungkinan topic
penelitian sejarah. Melalui ilmu bantu pula memungkinkan keberagaman kajian
sejarah sehingga memperkaya karya sejarah.
Namun tidak jarang peneliti sejarah juga
memerlukan ilham atau intuisi untuk mengatasi hal itu. Dalam ilmu sejarah hal
tersebut dibenarkan, bahkan intuisi diperlukan terutama ketika peneliti sejarah
harus berurusan dengan minimnya sumber. Dalam kondisi demikian diperlukan ketajaman
intuisi untuk menentukan sumber yang hendak dicari atau untuk memperkirakan
keberadaan sumber.
Sehingga dalam hal ini ilham atau intuisi yang
harus dimiliki oleh sejarawan bukan ilham atau intuisi yang dimiliki seorang
pengarang. Dalam hal ini intuisi peneliti sejarah dibutuhkan dalam upayanya
menelusuri sumber lain yang diperlukan penelitiannya. Karena itu intuisi yang
dimiliki peneliti sejarah berjalan berdasarkan data yang telah dimiliki
terdahulu. Jadi intuisi tidak muncul tiba-tiba, tetapi terkondisi berdasar atas
data yang telah dimiliki peneliti. Dalam hal ini intuisi peneliti akan muncul
ketika peneliti mendapati data yang dimilikinya kurang memadai atau dia merasa
masih kurang. Maka peneliti akan berusaha keras memikirkan beragam kemungkinan
di mana dia dapat memperoleh data. Jadi dalam hal ini intuisi lebih pada
pemahaman sejarawan atas apa yang ditelitinya dan instinktif yang dilakukan
selama penelitian berlangsung.
Selain intuisi seorang peneliti sejarah juga
harus dapat berimajinasi. Imajinasi sejarah penting dikuasai karena penelitian
sejarah berhubungan dengan masa lalu yang hanya sedikit meninggalkan jejak.
Meskipun dokumen dari masa lalu yang menjadi kajian penelitian cukup banyak
tidak akan mungkin rekonstruksi yang dilakukan akan sama persis dengan
peristiwa yang sudah berlalu tersebut. Semakin jauh jarak obyek penelitian
dengan ruang hidup peneliti, semakin
diperlukan imajinasi.
Imajinasi yang dimaksud dalam sejarah adalah
kemampuan membayangkan apa yang sebelumnya, sedang, dan telah terjadi pada masa
itu. Dalam berimajinasi sejarawan harus tetap berpedoman pada data yang
dimilikinya. Karena itu data menjadi penting. Dalam hal itu sejarawan dituntut
untuk dapat membayangkan tidak hanya peristiwa yang menjadi obyek kajiannya
saja, tetapi termasuk juga bentang geografis, latar budaya, latar sosial,
ekonomi, politik dari obyek, masyarakat, dan lingkungan yang ditelitinya.
Pemahaman akan ruang lingkup sosial budaya peristiwa yang menjadi obyek
penelitiannya akan “menghidupkan” rekonstruksi sejarahnya. Me seorang sejarawan akan dapat
merangkai hubungan antar pelaku sejarah dengan lingkungan sosial, budaya,
bahkan lingkungan alam. Melalui imajinasi pula sejarawan dapat menempatkan para
pelaku sejarah pada panggung depan, tengah, atau belakang dalam sebuah
peristiwa sejarah.
Selain imajinasi, sejarah juga memerlukan
sejarah sehingga karya sejarah tidak lagi membosankan. Namun demikian banyak
yang berpendapat bahwa apabila sejarah ditulis dengan gaya novel maka akan
kehilangan obyektivitasnya. Karya sejarah dengan pelibatan emosi banyak
dihasilkan sejarawan Eropa terutama kajian jaman Romantik (abad 18-19).
Penaklukan benua baru Amerika terutama pertempuran orang kulit putih dengan
orang Indian banyak disajikan dengan model penulisan yang
“melibatkan”-olahpembacahadirpadakejadiansehingg tersebut. Kajian sejarah
budaya tepat apabila disajikan dengan gaya demikian, karena kita dapat
“merasakan” dan dapat “menjadi bagia dengan emosi tersebut terutama penting
untuk keperluan pewarisan nilai. Tentu saja kaidah ilmiah sejarah yang menuntut
rekonstruksi berdasar atas sumber tidak boleh ditinggalkan.
3.
Guna Sejarah
Apakah sejarah berguna? Pertanyaan ini sering dilontarkan
terutama oleh para siswa di kelas yang berpendapat sejarah tidak berguna karena
tidak berhubungan dengan kehidupan mereka sekarang. Pendapat itu tidak salah.
Namun demikian ada suatu realita yaitu banyaknya buku sejarah di toko buku,
film sejarah yang dibuat baik untuk alasan komersiil maupun documenter.
Akhir-akhir ini dunia pariwisata dimarakkan dengan wisata sejarah yaitu wisata
dengan mengunjungi tempat yang menjadi ikon atas suatu peristiwa atau
peradaban. Contoh wisata perkebunan kopi yang banyak ditawarkan oleh PT
Perkebunan. Wisata itu tidak hanya mengunjungi perkebunan kopi tetapi juga akan
menelusuri industry kopi Indonesia yang sudah dimulai sejak era colonial
Belanda. Pengunjung akan diajak melihat mesin pengolah kopi dari masa perkebunan
masih dikuasai pengusaha Belanda, bahkan ada pula mesin dari masa colonial yang
masih dipakai hingga sekarang. Dengan demikian kita mengetahui bahwa tehnologi
pengolahan kopi yang kita kenal sekarang diperkenalkan oleh Belanda pada era
1900-an. Itulah guna sejarah, salah satunya adalah untuk mengetahui dari mana
suatu hal itu berasal atau dimulai.
Dalam hal guna, sejarah memiliki dua guna
yaitu guna intrinsic dan ekstrinsik. Guna intrinsic adalah sejarah sebagai
ilmu, sejarah untuk mengetahui masa lalu, sejarah sebagai pernyataan dan
sejarah sebagai profesi; sedangkan guna ekstrinsik adalah sejarah sebagai pendidikan.
Guna ekstrinsik sejarah sangat jelas tertuang dalam kurikulum mata pelajaran
sejarah sejak tingkat SD sampai SLTA. Bahkan pada masa Orde Baru masih
ditambahkan dengan penataran P4 yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru
di universitas baik negri maupun swasta, dan pegawai negri. Dalam hal demikian
sejarah dipakai sebagai media penanaman pendidikan moral dan politik.
Salah satu guna sejarah yang jarang
dieksplorasi adalah sejarah sebagai pendidikan masa depan. Di Negara-negara
maju seperti Amerika, Jepang, Cina, Inggris dan Eropa History of Future
diajarkan di perguruan tinggi dan menjadi kajian penting. Keberadaan kajian
sejarah masa mendatang dirasa penting demi kelangsungan peradaban dan bangsa.
Kesadaran akan pentingnya sejarah telah membawa Negara-negara besar bertahan
bahkan cenderung menjadi penentu dalam percaturan global. Pengalaman masa lalu
dijadikan acuan untuk merancang masa depan yang lebih baik bagi umat manusia.
Sejarah masa depan juga dipakai sebagai sarana untuk me selain berhubungan dengan
eksplorasi semesta juga dipakai sebagai wahana supremasi Amerika dalam bidang
tehnologi kedirgantaraan. Keberadaan mobil listrik di Eropa selain factor
kebersihan dan kesehatan lingkungan juga sebagai wahana supremasi Eropa sebagai
bangsa yang mendorong perubahan seperti yang telah dilakukan pada masa lalu
(renaissance, merkantilisme, imperialism, kolonialisme dll).
4.
Pendekatan Sejarah
Pada tahun 1958 berlangsung Kongres Sejarah di
Yogyakarta. Kongres ini bertujuan menulis sejarah Indonesia melalui sudut
pandang Indonesia dengan pendekatan baru. Pandangan baru yang dimaksud adalah
karya sejarah yang lebih menonjolkan peran orang kebanyakan dibanding berfokus
pada orang-orang besar. Juga untuk mengganti sudut pandang sejarah Indonesia
dari Nederlando centris kepada Indonesia centris. Sejarah Indonesia yang
ada adalah “pembalikan”
dari sejarah Netherland-Indie).
Apabila dalam sejarah Hindia Belanda Diponegoro adalah penjahat maka dalam
versi sejarah Indonesia era !950-an Diponegoro adalah pahlawan dan VOC-Belanda
penjahatnya. Pembalikan tanpa control dan analisa mebuat sudut pandang tulisan
menjadi satu arah. Perubahan sosial dan budaya masyarakat kebanyakan tidak
terekam dan “tersisih” dari sejarah.
Karena itu dalam Kongres tersebut Sartono
Kartodirjo sejarawan dari UGM mengusulkan penggunaan pendekatan ilmu-ilmu
sosial untuk penulisan sejarah Indonesia agar lebih bisa menunjukkan kejadian yang mendekati kenyataan pada
jamannya. Pendekatan ilmu sosial akan menawarkan dimensi baru yang dilewatkan
oleh sejarah konvensional. Dengan penggunaan pendekatan ilmu sosial
kelompok-kelompok marginal seperti buruh, petani, masyarakat desa, pedagang,
mahasiswa/pelajar sampai bencana alam dan lingkungan akan menjadi perhatian dan
dapat muncul pada panggung sejarah Indonesia.
Pemakaian pendekatan sosioligis dalam sejarah akan mengungkap segi-segi
sosial dari peristiwa yang dikaji. Dalam kajian itu akan dieksplorasi hubungan
sosial antar kelas dalam masyarakat, peran dan status, konflik-konflik sosial
dan lain-lain. Secara metodologis pemakaian sosiologi untuk mengkaji sejarah
bertujuan memahami subyektifitas perilaku sosial, memahami motivasi dan
tindakan individu dalam peristiwa kolektif. Dalam hal ini teori sosial akan
membimbing sejarawan mengidentifikasi factor-faktor yang menyebabkan suatu
peristiwa terjadi. Contoh historiografi dengan pendekatan sosiologi adalah
Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo.
Pendekatan antropologi juga dapat dipakai sebagai alternative lain untuk
mengungkap sisi lain sejarah Indonesia. Dalam beberapa hal hamper tidak
perbedaan pendekatan antropologi dengan pendekatan sosiologi, karena keduanya
sama-sama mempelajari masyarakat terutama bentuk sosial dan strukturnya. Namun
demkian yang membedakan dengan sosiologi adalah obyek kajian. Pendekatan
antropologi dipakai untuk mengkaji masalah-masalah budaya. Dalam menjelaskan
perubahan masyarakat dalam waktu otomatis kita juga akan menggambarkan
kehidupan budaya dan perubahan yang terjadi dalam kurun waktu sejarah tersebut.
Dengan penelusuran budaya suatu kelompok masyarakat kita akan mengetahui gerak
perubahan yang terjadi.
Ada empat metode antropologi yang dapat
dipakai dalam rekonstruksi sejarah. Pertama metode asimilasi yaitu menjelaskan
bagaimana proses saling menghisap unsure-unsur budaya dalam kontak budaya.
Kedua metode fungsional menjelaskan bagaimana suatu kebudayaan pada suatu
entitas masyarakat di wilayah tertentu secara lengkap dan sistematis. Ketiga
metode fungsional dalam analisa tentang mitologi mempelajari ide, pemikiran,
pandangan hidup yang menjadi sumber motivasi bagi kegiatan fisik dan spiritual
masyarakat pemilik mitologi tersebut. Metode silsilah digunakan untuk
mengumpulkan terminology kekerabatan pada bahasa tertentu untuk menganalisa
system kekerabatan. Metode ini juga dapat dipakai untuk mengumpulkan data
tentang segala hal yang berada di sekitar individu,
bahkan dapat dipakai untuk menyusun kembali ejarah suatu kelompok masyarakat.
Pendekatan paling tua dalam penulisan sejarah adalah pendekatan politik.
Historiografi dengan pendekatan politik sering disebut dengan sejarah
konvensional sehingga sejarah identik dengan politik. Namun demikian apabila
kita merujuk pada konsep politik modern maka penulisan sejarah dengan
pendekatan politik tidak akan terjebak seperti karya sejarah politik
konvensional. Apabila konsep politik diartikan sebagai distribusi kekuasaan
maka maka kita akan bertemu dengan hakekat dan tujuan system politik, hubungan
structural dalam system itu, pola perilaku individu dan kelompok dalam system,
hokum dan kebijakan sosial, partai politik, kelompok kepentingan, komunikasi
dan pendapat umum serta birokrasi dan administrasi. Dengan demikian sejarah
dengan pendekatan politik tidak lagi berisi sejarah tokoh-tokoh besar.
Pendekatan ilmu lain yang dapat dipakai untuk merekonstruksi sejarah tidak
terbatas pada ketiga pendekatan itu, tetapi masih banyak seperti ekonomi,
geografi, ekologi, gender, feminism bahkan semiotic. Penggunaan beragam
pendekatan untuk merekonstruksi sejarah akan memunculkan nua dan tentu saja
akan menjadikan karya sejarah menarik, karena akan mengungkap sisi yang selama
ini tidak dianggap sebagai kajian sejarah. Contoh Kebudayaan Indies karya
Sapardi Djoko D menceritakan tentang akulturasi budaya Eropa-Indonesia dalam
beragam hal mulai dari pakaian sampai arsitektur. Denys Lombart dengan karyanya
Persekutuan Aneh memaparkan tentang kehidupan perempuan Tionghoa yang
menjadi “istri” orang Batavia pada abad 16-17, bagaimana mereka
menciptakan identitas baru karena secara sosial telah “dibuang” oleh
masyarakatnya. menjadi ikon Jakarta yang selalu dikenakan none-none Betawi
yaitu baju kebaya encim.
KEPUSTAKAAN
Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu
Burke, Peter. 2001. Sejarah dan Teori Ilmu Sosial. Jakarta: YOI
Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Minggu, 18 Februari 2018
BERPIKIR SEJARAH
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Sejarah
mengajarkan kepada kita cara berpikir kronologis, artinya berpikirlah secara
runtut, teratur, dan berkesinambungan. Dengan konsep kronologis, sejarah akan
memberikan kepada kita gambara yang utuh tentang peristiwa atau perjalanan
sejarah dari tinjauan aspek tertentu sehingga dengan mudah kita dapat menarik
manfaat dan makna dari hubungan antar peristiwa yang terjadi.
Adapun
dalam kehidupan sehari-hari, konsep berfikir diakrnik atau kronologis ini
sangat diperlukan jika kita ingin memecahkan masalah. Tanpa berpikir secara
runtut dan berkesinambungan dalam mengidentifikasi suatu permasalahan, kita
akan dihadapkan pada pemecahan masalah atau pemberian solusi yang tidak tepat.
Cara
berpikir sinkronik akan mengajarkan kepada kita untuk lebih teliti dalam
mengamati gejala atau fenomena tertentu, terhadap peristiwa atau kejadian pada
waktu tertentu. Konsep berpikir sinkronik banyak diterapkan pada ilmu-ilmu
social lainnya, terutama jika ingin mengetahui secara lebih mendalam tentang
sesuatu hal yang tengah menjadi focus perhatian kita. Meskipun tidak melakukan
perbandingan dengan sejumlah kondisi yang sama, tetapi dengan memfokuskan
perhatian terhadap suatu gejala atau fenomena tertentu dalam sebuah kajian akan
membuat kita lebih memaknai mengapa hal itu dapat terjadi. Selain melatih kita
untuk dapat berpikir kronologi dan sinkronik, sejarah juga mengajarkan kepada
kita cara berpikir holistic. Holistic mempunyai pengertian menyeluruh, artinya
dalam mengamati atau mempelajari suatu peristiwa kita hendaknya menggunakan
cara pandang dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Sebagai contoh, kita ingin
mempelajari mengapa perang dapat terjadi? Dengan cara berpikir holistic kita
akan memulai mempelajari sebab-sebab, tokoh yang terlibat, dimana kejadiannya,
kapan terjadinya, factor pemicu, usah-usaha yang telah dilakuakn untuk mencegah
terjadunya perang, korban, dan akibat dari perang tersebut. Oleh karena itu,
kita juga belajar bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, sejauh mana kemampuan
kita dapa mencegah sebaba atau mehgurangi atau bahkan menghindari akibat yang
tidak kita inginkan.
1.2 Rumusan
Masalah
1.2.1 Bagaimana Konsep Dasar Berfikir Sejarah?
1.2.2 Bagaimana Strategi Pengembangan Berfikir
Sejarah?
1.2.3 Bagaimana Penerapan Berfikir Sejarah Dalam
Pembelajaran Sejarah?
1.3 Tujuan
dan Manfaat
1.3.1 Mengetahui Konsep Dasar Berfikir Sejarah
1.2.2 Mengetahui Strategi Pengembanagn Berfikir
Sejarah
1.2.3 Mengetahui Penerapan Berfikir Sejarah Dalam
Pembelajaran Sejarah
BAB II.
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Berpikir Sejarah
Sejarah berasal dari serapan bahasa arab yaitu kata Syajarotun yang berarti
pohon. Pengertian sejarah secara umum diartikan kisah atau cerita yang mengupas
kehidupan manusia dimasa lampau. Menurut Kuntowijoyo, dalam mempelajari sejarah
tidak terlepas dari cara berpikir Diakronis dan Sinkronis, yang masing-masing
saling melengkapai.
1.
Berpikir Sejarah Secara Diakronis
Menurut Galtung, diakronis
berasal dari bahasa Yunani, dia
artinya melintasi atau melewati dan khronos
yang berarti perjalanan waktu. Dengan demikian, diakronis dapat diartikan
sebagai suatu peristiwa yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya
dan tidak berdiri sendiri atau timbul secara tiba-tiba. Sebab sejarah meneliti
gejala-gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas.
Konsep diakronis melihat bahwa peristiwa dalam sejarah mengalami
perkembangan dan bergerak sepanjang masa. Melalui proses inilah, manusia dapat
melakukan perbandingan dan melihat perkembangan sejarah kehidupan masyarakatnya
dari jaman ke jaman berikutnya.
Suatu peristiwa sejarah tidak bisa lepas dari peristiwa sebelumnya dan akan
mempengaruhi peristiwa yang akan datang. Sehingga, berfikir secara diakronis
haruslah dapat memberikan penjelasan secara kronologis dan kausalita. Kronologi
adalah catatan kejadian-kejadian yang diurutkan sesuai dengan waktu terjadinya.
Kronologi dalam peristiwa sejarah dapat membantu merekonstruksi kembali suatu
peristiwa berdasarkan urutan waktu secara tepat, selain itu dapat juga membantu
untuk membandingkan kejadian sejarah dalam waktu yang sama di tempat berbeda
yang terkait peristiwanya.
a) Contoh
berpikir sejarah secara diakronis
Menjelaskan peristiwa detik-detik proklamasi harus menjelaskan pula
peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya, seperti: peristiwa menyerahnya
Jepang kepada sekutu, reaksi pemuda Indonesia terhadap berita kekalahan Jepang,
peristiwa Rengasdengklok, penyususnan teks proklamasi, dan lain sebagainya.
a) Ciri-ciri
berpikir sejarah secara diakronis
§ Mengkaji
dengan berlalunya masa
§ Menitik
beratkan pengkajian peristiwa pada sejarahnya
§ Bersifat
historis atau komparatif
§ Bersifat
vertikal
§ Terdapat
konsep perbandingan
§ Cakupan
kajian lebih luas
B. Berpikir
Sejarah Secara Sinkronik
Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan, dan khronos
yang berarti waktu, masa. Sinkronis artinya segala sesuatu yang bersangkutan
dengan peristiwa yang terjadi di suatu masa / ruang tetapi terbatas dalam
waktu. Sinkronis artinya meluas dalam ruang tetapi terbatas dalam waktu yang
mengandung kesistematisan tinggi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sinkronik
artinya segala sesuatu yang bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi di suatu
masa yang terbatas. Menurut Galtung, pengertian sejarah secara sinkronik
artinya mempelajari pristiwa sejarah dengan berbagai aspeknya pada waktu atau
kurun waktu yang tertentu atau terbatas. Atau meneliti gejala-gejala yang
meluas dalam ruang tetapi dalam waktu yang terbatas
Berpikir sejarah secara sinkronis adalah mempelajari peristiwa yang
sezaman, atau bersifat horisontal, artinya mempelajari pristiwa sejarah dengan
berbagai aspeknya pada waktu atau kurun waktu yang tertentu atau terbatas.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian berpikir
sinkronik dalam sejarah adalah
mempelajari (mengkaji) struktur (karakter) suatu peristiwa sejarah dalam
kurun waktu tertentu atau dibatasi oleh waktu.
a) Contoh
berpikir sejarah secara sinkronis
Menggambarkan
keadaan ekonomi di Indonesia pada suatu
waktu tertentu, seperti: Keadaan ekonomi masyarakat Indonesia tahun 1945-1950
b) Ciri-ciri
berpikir sejarah secara sinkronis
§ Mengkaji pada masa tertentu
§ Menitik
beratkan pengkajian pada
strukturnya(karakternya)
§ Bersifat
horizontal
§ Tidak ada
konsep perbandingan
§ Cakupan
kajian lebih sempit
§ Memiliki
sistematis yang tinggi
§ Bersifat
lebih serius dan sulit
C. Keterkaitan
Berpikir Sejarah Secara Diakronik dan Sinkronik
Sejarah adalah proses, dalam kata lain sejarah adalah
perkembangan. Ilmu sejarah sendiri memiliki sifat yang diakronis yaitu
memanjang dalam waktu dan dalam ruang yang terbatas. Sejarah mengenal adanya
suatu proses kontinuitas atau berkelanjutan. Sehingga sejarah itu sendiri
merupakan suatu rekonstruksi peristiwa masa lalu yang bersifat kronologis.
Sedangkan ilmu sosial itu bersifat sinkronis (menekankan struktur) artinya ilmu sosial meluas dalam ruang. Pendekatan
sinkronis menganalisa sesuatu tertentu pada saat tertentu, titik tetap pada
waktunya. Ini tidak berusaha untuk membuat kesimpulan tentang perkembangan
peristiwa yang berkontribusi pada kondisi saat ini, tetapi hanya menganalisis
suatu kondisi seperti itu. Ada juga yang menyebutkan ilmu sinkronis, yaitu ilmu
yang meneliti gejala - gejala yang meluas dalam ruang tetapi dalam waktu yang
terbatas.
Kedua
ilmu ini saling berhubungan ( ilmu sejarah dan ilmu – ilmu sosial ). Kita ingin
mencatat bahwa ada persilangan antara sejarah yang diakronis dan ilmu sosial
lain yang sinkronis Artinya ada kalanya sejarah menggunakan ilmu sosial, dan
sebaliknya, ilmu sosial menggunakan sejarah Ilmu diakronis bercampur dengan
sinkronis.
Menurut
Kuntowijoyo, dalam mempelajari sejarah tidak lepas dari cara berfikir diakronis
dan berfikir sinkronis, karena keduanya saling melengkapi.
Contoh: Candi Borobudur merupakan peninggalan sejarah
kehidupan bangsa Indonesia pada masa Hindu-Budha. Sehingga dalam menceritakan
tentang Candi Borobudur tidak hanya menceritakan bagaimana urutan waktu (aspek
Diakronis) Candi borobudur dibangun tapi juga bisa kita lihat bagaimana
kehidupan politik, ekonomi, sosial dan
budaya (Aspek Sinkronis) pada masa pembangunan Candi tersebut. Secara
Diakronis Candi Borobudur dibangun antara kurun waktu 760 sampai 830 M dan
dibangun dalam 4 tahap dengan arsiteknya Gunadarma dan rampung pada masa
pemerintahan Raja Samaratungga. Kita dapat berfikir secara sinkronik dari
Bangunan monumental Semegah candi Borobudur mungkinkah dibangun oleh masyarakat
yang kacau, tentu saja tidak bangunan yang megah tersebut tentu dibangun
masyarakat yang makmur (aspek ekonomi), hidup bergotong royong dan toleransi
(Aspek sosial budaya), memiliki raja yang berwibawa (aspek politik) dan
religius (aspek Agama).
2.1.4 Keterkaitan Konsep Ruang dan Waktu dalam Sejarah
a) Konsep Ruang
§ Ruang adalah
konsep yang paling melekat dengan waktu
§ Ruang
merupakan tempat terjadinya berbagai peristiwa - peristiwa sejarah dalam
perjalanan waktu
§ Penelaahan
suatu peristiwa berdasarkan dimensi waktunya tidak dapat terlepaskan dari ruang
waktu terjadinya peristiwa tersebut
§ Jika waktu
menitik beratkan pada aspek kapan peristiwa itu terjadi, maka konsep ruang
menitikberatkan pada aspek tempat, dimana peristiwa itu terjadi.
b) Konsep Waktu
§ Masa lampau
itu sendiri merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Tetapi, masa lampau
bukan merupakan suatu masa yang final, terhenti, dan tertutup
§ Masa lampau
itu bersifat terbuka dan berkesinambungan. Sehingga, dalam sejarah, masa lampau
manusia bukan demi masa lampau itu sendiri dan dilupakan begitu saja, sebab
sejarah itu berkesinambungan apa yang terjadi dimasa lampau dapat dijadikan
gambaran bagi kita untuk bertindak dimasa sekarang dan untuk mencapai kehidupan
yang lebih baik di masa mendatang
§ Sejarah
dapat digunakan sebagai modal bertindak di masa kini dan menjadi acuan untuk
perencanaan masa yang akan dating.
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan antara ruang dan waktu
dalam sejarah. Konsep ruang dan waktu merupakan unsur penting yang tidak dapat
dipisahkan dalam suatu peristiwa dan perubahannya dalam kehidupan manusia
sebagai subyek atau pelaku sejarah. Segala aktivitas manusia pasti berlangsung
bersamaan dengan tempat dan waktu kejadian, dan manusia selama hidupnya tidak
bisa dilepaskan dari unsur tempat dan waktu karena perjalanan manusia sama
dengan perjalanan waktu itu sendiri pada suatu tempat dimana manusia hidup (
beraktivitas ).
2.2 Strategi
Pengembangan Berpikir Sejarah Kepada Siswa
Strategi
dalam mengembangkan berfikiris sejarah secara diakronis dan sinkronis kepada
siswa yaitu melalui kemahiran pemikiran sejarah. Pemikiran Sejarah merupakan
salah satu kemahiran yang penting dalam pendidikan Sejarah. Melalui kemahiran
pemikiran Sejarah, pelajar-pelajar dirangsang untuk lebih berfikir secara
diakronis dan sinkronis. Hal ini secara tidak langsung dapat meningkatkan
pencapaian intelek para pelajar dan menjadikan Sejarah sebagai satu mata
pelajaran yang hidup dan tidak lagi membosankan.
Pendidikan
Sejarah adalah satu mata pelajaran yang dapat merangsang pemikiran dan proses
pemikiran secara diakronis dan sinkronis semasa mempelajari mata pelajaran
Sejarah. Oleh karena itu, guru-guru Sejarah memain peranan yang penting untuk
menerapkan pemikiran Sejarah melalui aktiviti-aktiviti pengajaran dan
pembelajaran yang menggalakkan pelajar berfikir.
Oleh
sebab itu pendidikan Sejarah hendaklah dilakukan sebagai satu kuasa yang hidup
yang boleh mengaitkan peristiwa masa lalu dengan hakikat semasa (Abd Rahim,
2000). Para pelajar perlu diterapkan dengan dengan konsep pemikiran Sejarah
agar dapat memberi satu persepsi baru kepada pelajar bahawa Sejarah bukanlah
satu subjek yang kaku dan membosankan. Malah ia dapat mendedahkan kepada para
pelajar bagaimana seseorang ahli Sejarah itu bekerja melalui aktiviti-aktiviti
pembelajaran yang dibimbing oleh guru mereka.
Marzano
et all. (1998) menjelaskan bahwa berfikir sejarah melibatkan satu set operasi
mental yang dikenali sebagai proses. Proses ini merangkumi pembentukan konsep,
pembentukan prinsip, kefahaman, penyelesaian masalah, membuat keputusan,
penyiasatan dan penggabungan yang melibatkan beberapa kemahiran berfikir.
Proses pemikiran di peringkat awal adalah lebih kepada pemerolehan pengetahuan,
sementara di peringkat akhir ia lebih kepada penghasilan dan aplikasi ilmu.
2.3
Penerapan Berpikir Sejarah dalam Pembelajaran Sejarah
Penerapan berfikir sejarah secara diakronik dan
sinkronik dalam pembelajaran sejarah, yaitu:
2.3.1 Kepentingan (Significance)
Dalam
unsur kepentingan sejarah ini, siswa perlu mempunyai kemahiran membedakan
antara peristiwa yang remeh dan penting. Dalam hal ini pemilihan kepentingan
sejarah bergantung kepada minat dan nilai yang terdapat dalam masyarakat
tersebut. Oleh itu siswa disarankan untuk mengkaji sejarah tentang masyarakat,
kehidupan dan perkara-perkara yang mempunyai kepentingan kepada mereka.
2.3.2 Epistemologi dan bukti (Epistemology and
evidence)
Epistemologi
dan bukti melibatkan pemahaman bagaimana kita mengetahui masa lampau. Apakah
bukti yang kita ada ? Sejauhmana bukti tersebut boleh dipercayai? Bagaimana
kita boleh menjelaskan tentang kewujudan tafsiran sejarah yang berbeza dan
bertentangan. Sebagai contoh kanak-kanak tidak sepatutnya dibiarkan dengan
pandangan bahawa hanya ada satu kisah benar sahaja pada masa lampau. Sedangkan
pada hakikatnya sejarawan membuat pelbagai inferens berdasarkan bukti, justeru
itu wujud pelbagai tafsiran tentang sesuatu peristiwa masa lalu.
2.3.3 Kesinambungan dan perubahan (Continuity and
Change)
Unsur
ini menekan pemahaman tentang perubahan masa lalu yang merupakan pusat
pemikiran Sejarah. Umur merupakan faktor untuk memahami keadaan ini; iaitu
seseorang yang berumur dikatakan lebih memahami perubahan yang berlaku pada
masa lalu misalnya perubahan dari segi teknologi dan nilai berbanding dengan
mereka yang lebih muda. Namun begitu terdapat juga pengkaji yang menolak
pendapat ini. Menurut mereka umur bukanlah satu faktor utama dalam memahami
perubahan masa lalu. Menurut pengkaji-pengkaji ini pengalaman hidup turut
menjadi faktor iaitu golongan muda yang mengalami pengalaman perang, pelarian,
imigran dan mereka yang kehilangan ibu bapa atau yang berpindah randah dari
satu kawasan ke kawasan lain mempunyai pemahaman yang lebih baik tentang
perubahan Sejarah berbanding dengan mereka yang hidup dalam suasana yang aman.
2.3.4 Perkembangan dan kemerosotan (Progress and
decline)
Berdasarkan
unsur ini siswa perlu memahami bahawa dalam kehidupan akan mengalami peringkat
perkembangan dan kemerosotan. Dalam peringkat perkembangan hidup seseorang
mengalami kejayaan, manakala kemerosotan mereka mengalami satu keadaan yang
sukar. Oleh itu dalam konsep pemikiran Sejarah mereka seharusnya dapat
mengenalpasti atau membezakan kewujudan dua keadaan ini. Ini adalah penting
agar mereka dapat memahami proses yang berlaku dalam peristiwa Sejarah.
2.3.5 Empati dan penilaian moral (empathy and moral
judgement)
Pemikiran
sejarah memerlukan seseorang mempunyai daya imaginasi dan empati. Tujuannya
agar pelajar-pelajar tidak merasa asing dan pelik tentang peristiwa masa lalu.
Malah mereka seharusnya perlu mempunyai rasa hormat dan perasaan ingin tahu
tentang peristiwa-peristiwa masa lepas. Penyelidik British Christopher
Portal(1987), menegaskan bahawa empati merupakan satu cara pemikiran
imaginative yang memerlukan kemahiran kognitif untuk melihat nilai-nilai
kemanusiaan dalam peristiwa Sejarah.
2.3.6 Historical Agency
Elemen
terakhir pemikiran sejarah ini merujuk kepada bagaimana dan mengapa sesuatu
perkara itu terjadi. Dalam elemen ini pelajar ditekankan supaya menghargai
Sejarah dan memahami bahawa tindakan rakyat pada masa lampau memberi kesan
kepada rakyat pada masa kini. Seterusnya menyedari bahawa tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh mereka pada masa kini akan memberi kesan kepada generasi
yang akan datang. Mempunyai pemikiran Sejarah bukan sahaja memikirkan tentang
masa lampau , malah ia melibatkan melihat diri sendiri sebagai waris daripada
masa lampau dan sebagai pelaku pada masa kini.
III.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sejarah
berasal dari serapan bahasa arab yaitu kata Syajarotun yang berarti pohon.
Pengertian sejarah secara umum diartikan kisah atau cerita yang mengupas
kehidupan manusia dimasa lampau. Menurut Kuntowijoyo, dalam mempelajari sejarah
tidak terlepas dari cara berpikir Diakronis dan Sinkronis, yang masing-masing
saling melengkapai.
Strategi
dalam mengembangkan berfikiris sejarah secara diakronis dan sinkronis kepada
siswa yaitu melalui kemahiran pemikiran sejarah. Pemikiran Sejarah merupakan
salah satu kemahiran yang penting dalam pendidikan Sejarah. Melalui kemahiran
pemikiran Sejarah, pelajar-pelajar dirangsang untuk lebih berfikir secara
diakronis dan sinkronis. Hal ini secara tidak langsung dapat meningkatkan
pencapaian intelek para pelajar dan menjadikan Sejarah sebagai satu mata
pelajaran yang hidup dan tidak lagi membosankan.
Penerapan
berfikir sejarah secara diakronik dan sinkronik dalam pembelajaran sejarah,
yaitu: Kepentingan (Significance), Epistemologi dan bukti (Epistemology and
evidence), Kesinambungan dan perubahan (Continuity and Change), Perkembangan
dan kemerosotan (Progress and decline), Empati dan penilaian moral (empathy and
moral judgement), dan Historical Agency.
3.2 Saran
Setelah
membahas makalah tentang berfikir sejarah secara diakronis dan sinkronis,
diharapkan bagi khalayak umum yang telah membaca makalahn ini diharapkan dapat
mengetahui konsep dasar berfikir sejarah, strategi Pengembanagn berfikir
sejarah, dan penerapan berfikir sejarah dalam pembelajaran sejarah, sehingga
dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan dapat menerapkan pemikiran sejarah
dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd Rahim, Abd Rashid . 2000. Model dan pendekatan pengajaran Sejarah KBSM. Dewan Bahasa dan Pustaka: Kuala Lumpur.
Maharom Mahmood .1998 . Analisis Kemahiran Pemikiran Sejarah dalam bahan kurikulum peringkat menengah rendah. Tesis
Sarjana Universiti Malaya.
Kementerian Pendidikan Malaysia. 2000. Huraian Sukatan Pelajaran Sejarah KBSM Tingkatan 1,2 , 3.
Langganan:
Postingan (Atom)