Sabtu, 11 Juni 2011

Keadaan Masyarakat Bima



Bima sebelumnya merupakan salah satu wilayah yang berdiri sendiri dibawah kepemimpinan para Ncuhi dan Raja-raja, dalam perkembangan selanjutnya Bima beralih status pemerintahan dari sistem Kerajaan menjadi sistem Kesultanan. Kesultanan Bima dalam hal ini berdiri sejak tanggal 15 Rabiul Awal 1050 H (5 Juli 1640), merupakan momentum bagi perkembangan Islam di Bima. Sejak itu peranan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah besar, dengan kata lain Islam ditetapkan menjadi dasar negara, dengan demikian urusan agama menjadi tanggung jawab negara. Sultan sebagai kepala pemerintah bersama para ulama anggota lembaga pemerintahan yang bernama “ Sara Hukum “ bertanggung jawab dalam pembangunan bidang agama.
Tidaklah mengherankan apabila sejak pertengahan abad 17 M, Bima tampil sebagai pusat penyiaran Islam di wilayah Nusantara bagian timur, bersama Ternate dan Makassar. Bahkan menjelang akhir abad 17 M, peran Bima lebih besar dibanding Ternate dan Makassar. Karena pada awal abad 17 M, Belanda sudah berhasil melunakkan Sultan Mandarsyah Ternate dan kemudian pada tahun 1669 dapat melumpuhkan kekuatan Makassar dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin sebagai Kesultanan yang disegani di Indonesia bagian timur. Sejak saat itu Bima di Sumbawa merupakan Kesultanan di Indonesia timur yang tersohor, karena ketaatannya kepada agama Islam.[1] Kejayaan Islam di Bima berlangsung sampai dengan pertengahan abad 20 M.
Pada kurun waktu yang sama Belanda melalui zendingnya gagal menjadikan Bima sebagai pusat penyiaran agama Kristen Protestan, hanya sebagian kecil dari masyarakat Donggo Ipa yang berhasil dikristenkan. Begitu pula dengan ambisi Portugis untuk menjadikan Bima sebagai pusat pengembangan agama Kristen Katholik. Para misionaris Portugis tidak mampu mewujudkan impiannya, masyarakat Bima tetap taat pada agamanya. Raja-raja Bali (Gelgel dan Karangasem) yang pada pertengahan abad 17 M juga berusaha menyebarluaskan pengaruh agama Hindu di Nusa Tenggara, dapat digagalkan oleh Kesultanan Bima, mereka hanya berhasil mengembangkan pengaruh Hindu di Pulau Lombok.
Selanjutnya, setelah Indonesia merdeka, Bima menjadi salah satu daerah Swatantra dan daerah Swapraja dalam Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Luas wilayah Daerah Bima pada saat sekarang diperkirakan 4.596,90 km2 atau 1/3 dari luas Pulau Sumbawa. Bima terletak ditengah-tengah Kepulauan Nusantara dan juga ditengah-tengah gugusan pulau-pulau yang sebelum tahun 1950 bernama Sunda Kecil (Bali, NTB dan NTT sekarang). Dikelilingi Samudera Indonesia di Selatan, Laut Flores di Utara, Kabupaten Dompu dan Kabupoaten Sumbawa di Barat dan Selat Sape di Timur.
Alam Bima mempunyai keelokan tersendiri, disepanjang pesisirnya terdapat banyak teluk, airnya tenang damai, terlindung dari serangan gelombang dan angin musim, cocok difungsikan sebagai pelabuhan alam. Diantara sekian banyak teluk, yang paling terkenal adalah Teluk Bima, Teluk Sape, Teluk Waworada, ketiga teluk itu sejak abad 11 M sudah berperan sebagai pelabuhan alam yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai penjuru Negeri.
Daratannya juga memiliki keunikan, sejauh mata memandang, terlihat gugusan pegunungan dan dataran tinggi, yang pada masa silam ditumbuhi hutan lebat, menghasilkan kayu sapang, kayu kuning, kayu jati, kemiri, rotan dan damar yang merupakan barang eksport yang sangat laris. Diantara gugusan pegunungan itu, terdapat gunung api yang paling terkenal yaitu Gunung Tambora, yang pada tahun 1815 meletus dengan dahsyat, menghancurkan Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat yang berada di kaki gunung. Selain itu terkenal pula Gunung Sangiang, berada di Pulau Sangiang dan telah berkali-kali memuntahkan lahar panas.
Patut disesalkan, pada masa sekarang hamparan pegunungan dan dataran tinggi yang luasnya 70 % dari luas Bima, keadaannya sudah jauh berubah. Puncak serta punggung-punggung pegunungan dan dataran tinggi sudah gundul dan tandus, yang masih bertahan hanya batu-batu dan semak belukar. Semua ini karena ulah manusia yang membabat hutan tanpa menghiraukan kelestarian alam ciptaan tuhan untuk kesejahteraan manusia sendiri. Keruskan hutan bertambah parah, karena perladangan liar terus merajalela.
Dataran rendah yang luasnya 30 % dari luas wilayah Bima, yang tempo dulu terkenal sebagai lahan subur, kini kondisinya sudah sangat parah, akibat kekeringan yang selalu berulang setiap tahun. Luasnya pun semakin berkurang, sudah banyak lahan pertanian yang beralih fungsi sebagai daerah pemukiman penduduk dan perkantoran pemerintahan. Masalah ini harus segera ditangani dengan arif oleh pemerintah daerah, kalau tidak maka pasti akan menimbulkan kerawanan sosial pada masa datang.


[1] Dr. Peter Cary, Asal-usul Perang Jawa, Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, Pustaka Aset Jakarta, 1986, hal 85.

Tidak ada komentar: