Senin, 19 Desember 2011

Kritik Sejarah

Dalam sebuah rujukan sejarah tentang pertikaian Militer vs Islam (“Majalah Forum Keadilan edisi 9 April 2000” ) memaparkan bahwasannya Militer Indonesia, sejak awal mula secara diam-diam menyimpan rasa kurang senang terhadap organisasi-organisasi Islam. Keti-dak-senangan itu muncul semenjak tahun-tahun pertama berdirinya Republik Indonesia, dan mencapai puncaknya hingga ke tingkat permusuhan setelah pemerintahan militer resmi memegang tampuk kekuasaan tahun 1965. Sebagaimana terlihat dalam perkembangan yang mencapai puncaknya pada tahun 80-an, bahwa kemiliteran itu dibentuk untuk menopang kekuatan negara, dan selalu siap untuk men-jalankan perannya sebagai kekuatan negara mengha-dapi rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi-ideologi agama yang secara resmi diakui, yaitu Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Kondisi semacam ini terus berlangsung, sehingga jurang pemisah di antara militer dan organisasi-organisasi (gerakan) politik Islam semakin dalam. Sejak awal dibentuknya kekuatan militer Indonesia, hanya penduduk pulau Jawa sajalah yang berperan mengendalikan dan mengontrol tentara, khususnya dalam pembinaan karakter maupun kultur (tsaqafah) nya. Suku Jawa selamanya menduduki posisi-posisi penting dan strategis sejak lahirnya gerakan kebangsaan di Indonesia, sehingga mereka berhasil menguasai setiap bagi-an dari kehidupan bangsa, dan merambah ke suku-suku lain di luar Jawa yang pada umumnya lebih kuat berpe-gang kepada ajaran Islam dibandingkan dengan mereka yang ada di pulau Jawa. Perkembangan politik selanjut-nya menunjukkan, bahwa apa yang terjadi diantara kelompok militer dan organisasi-organisasi Islam telah merambah masuk hingga ke persoalan-persoalan asasi di dalam tubuh masyarakat Jawa yang memiliki dua pola kultur berbeda: Yaitu, pertama golongan santri, mereka adalah muslim yang taat pada agama. Dan kedua, golongan abangan, adalah mereka yang secara formal mengaku muslim tetapi dalam praktiknya tetap setia berpegang teguh kepada filsafat dan kebudayaan Jawa sebelum Islam. Kira-kira satu bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 telah terjadi perdebatan sengit antara dua kubu, kelompok santri dan abangan yang tergabung di dalam “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai”, yaitu sebuah badan yang dibentuk oleh tentara pendudukan Jepang, guna mencari dasar bagi kemerdekaan Indonesia serta mendisku-sikan UUD Republik di masa datang. Pada akhirnya dicapailah suatu kesepakatan yang memuat kerangka undang-undang negara Indonesia sekaligus lima dasar Pancasila yang salah satunya berisi kepercayaan kepada Allah SWT. Para wakil-wakil muslim di dalam badan ini berhasil mengokohkan prinsip tadi yang memungkinkan untuk memberikan warna ke-Islaman dan menonjolkan kepribadian Islam dengan menambahkan kalimat: “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Kese-pakatan ini kemudian diterima sebagai preambule (pembukaan) undang-undang dasar yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Akan tetapi ketika UUD ini diumumkan tanggal 18 Agustus 1945, sehari sesudah proklamasi kemerdekaan, kalimat tersebut dihapuskan melalui tangan pemimpin sekuler Soekarno, yang kemudian diangkat menjadi presiden RI yang pertama. Dengan kejadian ini, maka kemenangan yang semula berada di tangan kaum muslimin berubah menjadi serangan dan penistaan. Dihapusnya tujuh kalimat, yang terdapat di dalam Piagam Jakata (The Jakarta Charter) pada akhirnya menimbulkan permusuhan berkelanjutan selama 20 tahun pertama berdirinya Republik Indonesia.

Tidak ada komentar: