Jumat, 16 Maret 2012

PENDIDIKAN DAN UPAYA LIBERALISASI


I.            Sekilas tentang Konsep Pendidikan di Indonesia
Indonesia sebagai salah satu Negara yang menjamin hak-hak dasar setiap warga negaranya. Salah satu upaya tersebut dapat dilihat dengan adanya konstitusi berupa UUD 1945 yang terdiri dari pembukaan dan batang tubuh. Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat salah satu tujuan Negara Indonesia yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bentuk manifestasi dari salah tujuan Negara Indonesia dapat dilihat dari pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi :
  1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan;
  2. Setiap  warga  negara  wajib  mengikuti  pendidikan  dasar  dan pemerintah wajib membiayainya;
  3. Pemerintah  mengusahakan  dan  menyelenggarakan  satu  sistem pendidikan  nasional,  yang  meningkatkan  keimanan  dan  ketakwaan serta  akhlak mulia  dalam  rangka mencerdaskan  kehidupan  bangsa, yang diatur dengan undang-undang;
  4. Negara  memprioritaskan  anggaran  pendidikan  sekurang-kurangnya dua  puluh  persen  dari  anggaran  pendapatan  dan  belanja  negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional;
  5. Pemerintah  memajukan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  dengan menjunjung  tinggi  nilai  nilai  agama  dan  persatuan  bangsa  untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
 Dalam upaya merealisasikan tujuan Negara dan menegakkan hak warga Negara haruslah diselenggarakan dan dijamin penyelenggarannya oleh Negara. Komponen yang memiliki otoritas atau kewenangan dalam penyelenggaraan hak warga Negara yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Salah satu wujud dari kewenangan yang memiliki semangat untuk merealiasiakan tujuan Negara dan menengakkan hak warga negara berupa kebijakan publik. Kebijakan publik ini biasanya berupa peraturan perundang-undangan.
Menurut Thomas Dye, kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan dan atau tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik juga dapat diartikan sebagai usaha pemerintah yang berkaitan dengan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung dari kesejahteraan warga Negara. Kebijakan publik adalah strategi, tindakan-tindakan untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah rakyat. Salah satu dari tujuan kebijakan publik dalam kerangka negara Indonesia yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menyelenggarakan pendidikan nasional yang mampu diakses oleh setiap lapisan warga negara dan upaya ini merupakan penerapan dari negara kesejahteraan di Indonesia. Untuk ini negara haruslah secara pro aktif mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada rakyat yang dalam konteks ini pendidikan tinggi.
Konsepsi negara kesejahteraan dapat diketahui dengan adanya ciri-ciri dalam penyelenggaran suatu pemerintahan di suatu negara. Hal ini dapat kita dilihat dari munculnya kewajiban pemerintah dan menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berwenang serta bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian pemerintah memiliki peran yang krusial dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik dan hukum di suatu negara.
Indonesia menganut paham negara kesejahteraan (welfare  state) maka  jaminan  dan  perlindungan  hak  dasar warga  negaranya harus meliputi jaminan dan perlindungan atas pendidikan, pangan, kesehatan, tempat  tinggal,  pendapatan  dan  keamanan.  Jaminan  dan  perlindungan  ini diberikan  kepada  seluruh warga  negara  Indonesia  tanpa membeda-bedakan kelas sosial. Konsep  yang diusulkan  oleh  Muh.  Yamin  dan  diterima  sebagai  faham  negara  adalah "Negara  Kesejahteraan  Rakyat  Indonesia,  dan  terbentuknya  Republik Indonesia yang berdasar nasionalisme-unitarisme." Menurut Soepomo  negara  integral memiliki  pengertian  negara  adalah  segalanya  dan tidak  berdiri  di  atas  sebagian  golongan  tetapi  untuk  seluruh  rakyat  dan menjamin  keselamatan  hidup  setiap  warga  negaranya.
Namun dengan adanya Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) yang kelak akan secara khusus mengatur Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Keberadaan RUU PT yang sudah memasuki tahap paripurna haruslah disikapi karena draft RUU PT yang sedang dibahas oleh DPR-RI secara hakikat merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. RUU PT lebih banyak mengatur tentang pengelolaan perguruan tinggi bukan penyelenggaraan perguruan tinggi secara esensial.
II.            Praktek Liberalisasi Pendidikan Tinggi di Indonesia
Sejarah praktek liberalisasi pendidikan atau lepasnya tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan dengan mengikutsertakan warga Negara dalam hal pendanaan penyelenggaraan pendidikan sudah dimulai ketika Indonesia menandatangani GATS (General Agreement Trade on Service). Dalam GATS tersebut, para rezim boneka harus segara melakukan pemotongan subsidi terhadap public goods yang salah satunya pendidikan serta menjadikan pendidikan sebagai sasaran privatisasi. Kebijakan dalam bentuk GATS ini merupakan wujud dari praktek neoliberal yang tentunya didasarkan pada kebutuhan Imperialisme dalam hal pasokan tenaga kerja murah yang tidak terdidik.
Seperti yang dikatakan oleh mantan rektor UGM Prof Sofyan Efendi, neo-liberalisme  percaya  pada pentingnya institusi kepemilikan privat dan efek distributif dari ekspropriasi kemakmuran yang tidak terbatas oleh korporasi-korporasi transnasional, pada superioritas hukum pasar sebagai mekanisme distribusi sumber daya, kekayaan dan pendapatan yang paling efektif, dan pada keunggulan pasar bebas, sebagai mekanisme-mekanisme sangat penting untuk menjamin  kemakmuran  dan  peningkatan  kesejahteraan  semua  orang  dan  individu (makalah yang disampaikan oleh Prof Sofyan Efendi dalam acara seminar di Universitas Bangka Belitung, 18 Februari 2008).
WTO dalam GATS telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut:
(1)  Cross-border  supply,  institusi  pendidikan  tinggi  luar  negeri  menawarkan  kuliah-kuliah  melalui  internet  dan  on-line  degree  program,  atau  Mode  1;  (2)  Consumption abroad,  adalah  bentuk  penyediaan  jasa  pendidikan  tinggi  yang  paling  dominan, mahasiswa  belajar  di  perguruan  tinggi    luar  negeri  atau  Mode  2;  (3)  Commercial presence,  atau  kehadiran  perguruan  tinggi  luar  negeri  dengan membentuk  partnership, subsidiarytwinning arrangement dengan perguruan  tinggi  lokal atau Mode 3, dan  (4) Presence  of  natural  persons,    dosen  atau  pengajar  asing  mengajar  pada  lembaga pendidikan lokal, atau Mode 4. Liberalisasi pendidikan tinggi menuju perdagangan bebas jasa  yang  dipromosikan  oleh WTO  adalah  untuk mendorong  agar  pemerintah  negara-negara  anggota  tidak  menghambat  empat  mode  penyediaan  jasa  tersebut  dengan kebijakan-kebijakan intervensionis. (makalah yang disampaikan oleh Prof Sofyan Efendi dalam acara seminar di Universitas Bangka Belitung, 18 Februari 2008). Mode-mode inilah yang akan merupakan tujuan imperialisme melalui rezim boneka dalam negeri (SBY-Boediono) untuk mencekoki rakyat Indonesia dengan ilmu pengetahuan dan ideologi yang hanya menjauhkan rakyat dari persoalan yang dihadapinya.
Kedudukan Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 235 juta jiwa tentunya merupakan pasokan tenaga kerja murah yang melimpah. Kita masih ingat dengan kebijakan rezim boneka Imperialis Amerika yang menetapkan PP tentang BHMN, UU BHP yang walaupun sudah dicabut keberadaanya dan masih memiliki efek komersialisasi pendidikan serta menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang harus diperjual-belikan. Namun kini, ada pengganti dari kedua produk hukum tersebut dengan adanya RUU perguruan tinggi yang melegitimasi adanya komersialiasi pendidikan tinggi, pelepasan tanggung jawab Negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi dan berdampak pada semakin rendahnya akses pendidikan tinggi yang mampu dinikmati oleh rakyat Indonesia.
Keberadaan RUU PT yang sedang dibahas oleh DRR-RI merupakan salah satu wujud dari legitimasi pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi yang komersil. Hal ini dikarenakan semangat RUU PT tersebut yakni meminimalisir peran dan tanggung jawab Negara dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan melimpahkan kepada rakyat Indonesia dengan membayar biaya pendidikan yang nominalnya sangat besar. Tentu kondisi biaya pendidikan tinggi yang sekarang berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 100 jutaan rupiah akan membuat rakyat Indonesia akan semakin sulit mendapatkan pendidikan tinggi yang layak.
Korelasi keberadaan RUU PT dengan kebutuhan Imperialisme yakni tenaga kerja yang murah dan tidak didik tentunya bersifat Link and Match. Hal ini dikarenakan pendidikan tinggi yang seharusnya mampu menjadi tempat ilmiah untuk membedah persoalan rakyat. Namun rakyat Indonesia dihambat dengan biaya yang sangat besar sebelum masuk ke pendidikan tinggi. Tentunya hal tersebut akan semakin menjauhkan rakyat Indonesia untuk memahami permasalahan yang disebabkan oleh kebudayaan dan ilmu pengetahuan ala Imperialisme.
Hal ini dapat kita lihat dengan tingkat akses pendidikan tinggi di Indonesia yang masih terbilang sangat rendah hanya 4,2 juta jiwa (BPS, Agustus 2010). Dengan adanya RUU PT tersebut maka hal yang akan terjadi yakni akses pendidikan tinggi semakin rendah karena negara sudah sangat minim sekali dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi atau hanya sebatas regulasi yang melanggengkan liberalisasi pendidikan tinggi. Dengan demikian RUU PT ini akan menyediakan tenaga kerja sekelas lulusan SMA, SMK dan SMEA yang hanya dipekerjakan oleh para borjuasi besar komprador dan perusahaan-perusahaan milik Imperialise sebagai buruh-buruh murah. Dalam bahasa Imperialisme yakni ekspor jasa pendidikan (baca: tenaga kerja murah) untuk lebih meningkatkan ekspor  jasa pendidikan tinggi ke negara-negara berkembang, intervensi pemerintah dalam sektor jasa   khususnya pendidikan harus dihilangkan. Liberalisasi semacam itulah yang hendak dicapai melalui General Agreement on Trade in Services (GATS).
Dan lagi berdasarkan putusan MK yang menyatakan bahwa gaji guru, dosen dan karyawan termasuk dalam dana pendidikan yang berada APBN-D. Dengan demikian pendanaan pendidikan yang seharusnya ditujukan untuk meningkatkan akses dan kualitas hasil dari pendidikan tinggi tapi sudah habis untuk membayar gaji dan tunjangan. Dengan melihat sistem pemerintah yang dipimpin oleh rezim boneka SBY-Boediono sudah sangat jelas menunjukkan watak dan karakternya yang anti terhadap kepentingan rakyat Indonesia.
III.            Berikut analisa secara Yuridis, Politik dan Sosiologis tentang keberadaan RUU PT:
 A)  Yuridis

 Saat ini penyelenggaraan pendidikan secara nasional dibawah dalam koridor Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun dengan keberadaan RUU PT ini akan mengesampingkan UU Sisdiknas dengan azas hukum yang berlaku di Indonesia yakni lex speacialist derogat legi generale (hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang lebih umum). Akan tetapi, RUU PT juga tidak boleh melanggar azas hukum lainnya yakni lex superior derogat legi inferior (hukum yang lebih tinggi tidak boleh dilanggar oleh hukum lebih rendah). Dengan demikian keberadaan RUU PT tidaklah boleh bertentangan dengan UUD 1945.
RUU Pendidikan Tinggi sebagai hukum yang secara khusus mengatur tentang penyelenggaraan jenjang Perguruan Tinggi. Dalam sebagian kecil yang termuat dalam RUU PT memang tidak bertentangan dengan penyelenggaraan pendidikan nasional secara umum. Namun pada bab II tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi pasal 5 huruf e ada hal yang harus diperbaiki karena penyelenggaraan pendidikan tinggi hanya menekankan keberpihakan pada kelompok masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi tapi memiliki kelayakan akademik. Serta pada bab VII tentang Pendanaan Pasal 88 ayat 1 dan 2, yang menekankan pada perguruan tinggi negeri minimal menerima 20% dari total mahasiswa baru dan memberikan bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa sebanyak 20% dari seluruh mahasiswa dengan kriteria tidak mampu secara ekonomi namun memiliki keungulan secara akademik/berprestasi.
Makna yang terkandung dalam pasal 5 huruf e dan Pasal 88 ayat 1&2 pada RUU PT yakni bagi orang yang tidak mampu secara ekonomi dapat diprioritaskan akses namun harus memiliki keunggulan dalam prestasi akademik. Padahal jika kita membagi 4 kelompok peserta didik yakni Kaya tapi berprestasi, Kaya tapi tidak berprestasi, Miskin tapi berprestasi dan Miskin tapi tidak prestasi. Tentu untuk kelompok miskin tapi  tidak berprestasi tentu tidak memiliki harapan untuk dapat mengakses pendidikan tinggi. Dengan demikian hal ini bertentangan dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” yang artinya dalam penyelenggaraan pendidikan baik jenjang dasar hingga tinggi tidak boleh melakukan tindakan diskriminasi secara ras, agama, suku bahkan kelas sosial yang ada di masyarakat serta pembedaan golongan sosial lainnya. Selain itu, pasal 5 huruf e dan pasal 88 ayat 1&2 telah menegasikan hakikat pendidikan yang dengan demikian telah melanggar pasal 28I ayat 2 yang berbunyi “setiap orang berhak bebas dari dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu”. Hal ini dikarenakan tujuan pendidikan tidaklah  mengkotak-kotakkan lalu melakukan tindakan pendiskriminasian yang dilegalkan seperti yang tercantum dalam RUU PT. Padahal hakekat pendidikan yang sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tidak ketinggalan pula, pasal 5 huruf e dan Pasal 88 ayat 1&2 pada RUU PT bertentangan dengan konsep negara kesejahteraan yang sudah disepakati oleh para founding father negara ini seperti Soepomo, Muh Yamin dan Soekarno. Hal ini termaktub dalam sidang BPUPKI yang menegaskan bahwa negara Indonesia dibentuk dan didirikan untuk menjamin dan memberikan kebutuhan dasar yang salah satunya pendidikan agar terciptanya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Serta, semangat untuk menjalankan konsep negara kesejahteraan yang salah satunya pemenuhan kebutuhan dasar yakni Pendidikan ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Selain itu, keberadaan pasal 5 ayat e dan pasal 88 ayat 1&2 pada RUU PT juga telah melanggar Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dan diatur dalam UU no 11 tahun 2005 tentang pengesahan Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Dalam UU no 11 tahun 2005 tentang Konvenan Hak EkoSoB dijelaskan pada pasal  dijelaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diskriminatif.
Setelah kita membahas tentang penyelenggaraan perguruan tinggi secara prinsipil maka kita beralih kepada pengelolaan perguruan tinggi. Pada bab IV tentang prinsip pengelolaan perguruan tinggi, pasal 35 huruf b (otonomi) dan c (efektivitas-efisiensi). Dengan dua prinsip tersebut dalam pengelolaan perguruan tinggi maka akan membuka peluang atau keran untuk memaksimalisasi kewenangan suatu perguruan tinggi dalam pengelolaan perguruan tinggi yang diantaranya adalah mendapatkan dana pendidikan
dari masyarakat (mahasiswa dan orang tua mahasiswa). Hal ini dikarenakn perguruan tinggi memiliki kewenangan dalam menentukan kebijakan di Bidang non akademik disini juga termasuk tarif atau biaya yang harus dikeluarkan oleh calon peserta didik (mahasiswa-orang tua mahasiswa) untuk dapat mengakses pendidikan tinggi.
Selain itu dengan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam pengelolaan perguruan tinggi, suatu perguruan tinggi akan didorong untuk memenuhi kekurangan dana dalam pembiayaan pengelolaan perguruan tinggi. Hal ini tercermin dari sumber pendanaan pendidikan selain dari pemerintah juga dari masyarakat atau dalam hal dari peserta didik. Ini juga dilegalkan dengan adanya pasal 83 ayat 1 yang menjelaskan bahwa sumber dana pendidikan juga berasal dari mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan donatur. Lalu pada pasal 83 ayat 2 dijelaskan bahwa PTN dapat memperoleh bantuan dana pendidikan dari masyarakat. Bentuk-bentuk dana bantuan hibah, zakat, wakaf, sumbangan perusahaan dan sumbangan lainnya yang sah seperti yang dijelaskan pada pasal 83 ayat 3. Pada pasal 83 ayat 3 inilah khususnya sumbangan lain yang sah akan digencarkan oleh perguruan tinggi untuk meragamkan bentuk-bentuk sumbangan bantuan dana pendidikan yang hakikatnya merupakan tembok penghalang bagi calon peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, seperti, BOPP, BOP, IOMA, POM dsb.
Dengan adanya pasal 83 tentunya akan mempengaruhi tanggung jawab  pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi. hal ini ditandai dengan pasal 88 ayat 3 bahwa “mahasiswa bertanggung jawab dalam menanggung maksimal 1/3 dari total biaya operasional Perguruan Tinggi”. Dengan demikian untuk menerapkan prinsip otonomi, efektivitas dan efisiensi dalam mendapatkan sumber pendanaan untuk membiayai biaya operasional sebesar 1/3 dari total kebutuhan suatu perguruan tinggi yang berasal dari mahasiswa akan melahirkan bentuk sumbangan-sumbangan pendidikan memiliki nilai nominal yang sangat besar agar mencukupi kebutuhan biaya operasional. Akan tetapi, walaupun berdasarkan pasal 82, pemerintah juga memiliki tanggung jawab dalam pendanaan biaya operasional pendidikan.
Dari penjelasan pasal 35 huruf b dan c, pasal 45 ayat 1 huruf a, ayat 2 huruf a, pasal 83 ayat 1-3 dan pasal 88 ayat 3. Kita dapat mengetahui bahwa penyelenggaraan perguruan tinggi dalam RUU Perguruan Tinggi akan melahirkan bentuk komersialisasi pendidikan yang tentunya akan menghambat peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi. Hal ini terlihat dari beban dari masyakat (mahasiswa dan orang tua mahasiswa) untuk membayarkan sejumlah uang (SPP) juga akan didorong (terpaksa) dengan  mengeluarkan bantuan dana untuk penyelenggaraan pendidikan dengan dalih bantuan dana yang dianggap sah secara hukum.
Selain itu, tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan untuk pengelolaan perguruan tinggi berdasarkan pasal 82 juga dijelaskan sejauh mana dan sebesar apa tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan. Hal ini dikarenakan pembiayaan untuk pengelolaan pendidikan sudah dipenuhi dari mahasiswa sebesar 1/3. Serta, perguruan tinggi juga diperbolehkan mendirikan suatu badan usaha dan atau portofolio yang keuntungannya dipergunakan untuk pengembangan dan pembiayaan pengelolaan PTN seperti yang diatur dalam pasal 85 ayat 1 dan 2 RUU PT. Pada pasal inilah yang menjadikan salah satu sumber pendapatan suatu perguruan tinggi untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi.
Dengan adanya kewajiban mahasiswa untuk memenuhi proporsi sebesar 1/3 dari total biaya penyelenggaraan, donasi/sumbangan yang dipaksakan oleh Perguruan Tinggi kepada orang tua mahasiswa dengan nominal yang cukup besar serta pendapatan dari badan usaha/portofolio. Maka peran negara dalam pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia akan semakin minimal. Hal ini dikarenakan perguruan tinggi sudah memiliki pemasukkan atau pendapatan dari ketiga hal tersebut. Dengan demikian pemerintah secara tegas akan melepaskan tanggung jawabnya dalam pendanaan penyelengaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
Padahal jika merunut pada UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 4, negaralah yang berkewajiban dan bertanggung jawab dalam pendanaan penyelengaraan pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Dengan demikian, negara telah melepaskan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional atau dalam hal ini adalah perguruan tinggi dalam aspek pendanaan biaya operasional. Hal ini dikarenakan dalam RUU PT pada pasal 88 ayat 3 sudah digariskan bahwa mahasiswa bertanggung jawab sebesar 1/3 untuk mendanai biaya operasional. Dengan demikian RUU PT melegitimasi pengalihan tanggung jawab negara dalam hal pendanaan “secara paksa” dalam ranah tanggung jawab pendanaan penyelenggaraan pendidikan tinggi. Padahal dalam konteks pendanaan di setiap jenjang pendidikan termasuk perguruan tinggi merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah selaku bada penyelenggara Negara. Namun pada pasal 88 ayat 3 negara menetapkan kewajiban warga Negara atau dalam hal ini mahasiswa sebesar 1/3 dari total biaya operasional pendidikan tinggi. Selain itu, suatu perguruan tinggi juga mendapatkan sumber pendapatan dari keuntungan membuka badan usaha dan portofolio. Tentunya pelepasan tanggung jawab negara ini sudah bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Selain itu, dalam RUU Perguruan Tinggi tidak diatur secara spesifik tentang penyediaan sarana, prasarana ataupun infrastruktur yang mendukung penyelenggaraan perguruan tinggi. Padahal berdasarkan pasal 31 ayat 3 dan 4 pemerintah berkewajiban menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan perguruan tinggi dengan dana pendidikan yang sudah dianggarakan dalam APBN-D seperti gedung, laboratorium, perpustakaan dan sebagainya.
Jika pada poin ini tidak diatur maka akan mengakibatkan bentuk pelarian tanggung jawab dari negara dalam hal penyediaan sarana dan prasarana serta infrastruktur yang mendukung penyelenggaraan perguruan tinggi. Tentunya tanggung jawab dan kewajiban dalam hal penyediaan sarana dan prasarana serta infrastruktur akan dialihkan kepada masyarakat atau dalam hal ini mahasiswa dan orang tua mahasiswa dalam bentuk sumbangan pendidikan dan bantuan dana pendidikan yang nominalnya cukup besar. Kasus ini sudah banyak terjadi di berbagai PTN dengan memperbanyak varian bantuan dana pendidikan dengan dalih pengembangan institusi, pengembangan fasilitas pendidikan dan lain-lain.
Akibat dari ragamnya sumbangan dan bantuan dana untuk perguruan tinggi serta nominalnya yang berkisar jutaan hingga ratusan juta rupiah. Tentunya akan menjadi tembok penghalang bagi masyarakat yang masuk dalam golongan ekonomi tidak mampu. Dengan demikian secara langsung negara juga telah melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat 1. Praktek ini juga telah melanggar UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 4 dalam hal tanggung jawab dan peran negara dalam penyelenggaran pendidikan.
Terakhir tentang bentuk pengelolaan suatu perguruan tinggi yakni hanya 3 jenis yakni mandiri, badan hukum dan unit pelaksa teknis seperti yang sudah dijelaskan pada pasal 41. Untuk bentuk mandiri dan badan hukum merupakan salah penerapan prinsip otonomi perguruan tinggi. Dengan demikian pemerintah akan sangat minimal perannya dalam melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Hal ini seiring dengan kewenangan perguruan tinggi negeri pada pasal 45 ayat 1 huruf a dan ayat 2 huruf a. dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa perguruan tinggi negeri yang berbentuk mandiri dan badan hukum memiliki kewenangan dalam bidang akademik dan non-akademik. Padahal jika kita mengacu pada UUD 1945 ayat 3 bahwa pemerintah harus berperan aktif dalam penyelengaraan pendidikan termasuk perguruan tinggi tentunya kebijakan yang diambil pun harus disandarkan pada kebijakan pemerintah atau dalam hal yakni kementerian terkait bukan sepenuhnya dari suatu perguruan tinggi. Dengan adanya upaya minimalisasi peran negara dalam penyelengaraan pendidikan tinggi hal ini bertentangan UUD 1945.
B)  Politik

Dalam analisa politik terkait RUU Perguruan Tinggi kita akan menjelaskan peran negara atau dalam hal ini eksekutif dan legislatif yang memiliki otoritas dalam mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI. Suatu peraturan perundang-undangan yang salah satunya RUU PT merupakan bentuk dari kebijakan politik yang memiliki ekses pada publik atau dalam hal ini adalah rakyat Indonesia. Tentunya kebijakan yang diambil oleh decision makers tidak diperkenankan melakukan “pilih kasih” dalam pengambilan suatu kebijakan politik berupa undang-undang.
Jika kita kembalikan pada konteks RUU Perguruan Tinggi dengan analisas yuridis yang sudah dijelaskan lebih awal. Kita dapat melihat dan menilai bahwa kebijakan negara dalam merancang suatu RUU yakni RUU PT sangat jelas telah menegasikan aspek kepentingan rakyat Indonesia. Padahal menurut Soepomo, NKRI sebagai negara tidak berdiri atas kepentingan golongan tertentu namun untuk seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah juga telah menggesar esensi pendidikan yang seharusnya barang publik atau public goods menjadi barang privat atau private goods. Hal ini ditengarai dengan adanya diskriminasi dalam penyelenggaran perguruan tinggi seperti yang tercantum dalam pasal 5 huruf e. Artinya, pendidikan harus dapat diakses oleh semua pihak dan  tidak boleh menjadi dapat dibatasi oleh pihak  tertentu  atau  dibatasi  untuk  kalangan  tertentu.  UUD  1945  juga  telah mengarahkan  agar  pendidikan  tidak  boleh  menjadi  komoditas  yang  dapat menjadi  objek  dalam  persaingan  suatu kompetisi.  Sebaliknya,  justru  UUD  1945 menekankan  pentingnya  peran  dan  fungsi  negara  untuk  terlibat  aktif  dalam penyelenggaraan pendidikan agar tercapai tujuan negara.
Padahal pendidikan sebagai salah satu barang publik memiliki makna bahwa barang  publik  apabila  konsumsi  terhadap  barang  tersebut  bisa  dinikmati oleh semua orang (artinya semua orang memiliki akses yang sama untuk menikmati  barang  tersebut)  dan  pada  sisi  lain  pemanfaatan  barang tersebut oleh seseorang tidak akan mengurangi jatah konsumsi orang lain. Namun dalam RUU PT dijelaskan dengan gamblang ada penjatahan bagi warga negara masyarakat kaya tapi berprestasi, kaya tapi tidak berprestasi, miskin tapi berprestasi dalam mengakses pendidikan. Akan tetapi tidak bagi masyarakat yang miskin tapi tidak berprestasi. Selain itu, pemerintah hanya menetapkan batas minimal sebesar 20% dari total mahasiswa baru bagi calon peserta didik yang miskin tapi berprestasi. Tentunya pemerintah secara sadar dan tahu bahwa mereka telah melanggar amanat UUD 1945 pasal 1 yang menyatakan secara jelas bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara.
Dengan adanya penyimpangan kebijakan politik yang diambil oleh pemerintah tentunya akan berpengaruh pada penerapan kebijakan yang sudah diambil. Pengaruh tersebut akan sangat terlihat bahwa perguruan tinggi akan menjadi barang privat yang hanya dapat diakses oleh lapisan masyarakat tertentu saja. Hal ini akan ditandai dengan rendahnya partisipasi perguruan tinggi bagi rakyat Indonesia.
Jika negara tidak mengambil kebijakan preventif dengan membaca kembali RUU PT agar sesuai dengan amanat UUD 1945. Maka, pemerintah sudah mengambil kebijakan yang telah merugikan seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan segala tindakan baik yang bersifat aktif dan pasif dari negara merupakan kebijakan politik yang tentunya memiliki konskuensi secara politik dan sosial.
Selain itu, RUU Pendidikan Tinggi sangat kental sekali mengandung kebijakan untuk meliberalisasikan penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Hal yang sangat terlihat dalam aspek pengelolaan dan pendanaan perguruan tinggi. Dengan begitu peran dan tanggung jawab serta kewajiban negara dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi hingga batas minimal.
Hal ini dapat dilihat dari segi pengelolaan ketika setiap perguruan tinggi diberikan otonomi dalam hal penyelenggaraan pendidikan karena perguruan tinggi akan mengambil dua bentuk yakni mandiri dan badan hukum. Tentunya hal ini menegasikan peran, tanggung jawab dan kewajiban negara secara perlahan-lahan hingga pada koridor pengawasan atau penerima kinerja dari suatu perguruan tinggi saja. Dengan minimnya peran, tanggung jawab serta kewajiban negara dalam menyelenggarakan perguruan tinggi tentu akan melahirkan efek domino terhadap masyarakat yang akan dibahas pada sub bahasan selanjutnya (sosiologis).
Selain dari pengelolaan penyelenggaraan perguruan tinggi, juga dapat diketahui dengan pendana perguruan tinggi. Dalam RUU PT tersebut beban masyarakat atau dalam hal ini mahasiswa serta orang tua sangatlah besar. Hal ini dikarenakan mereka akan dijadikan objek “perahan” untuk membiayai biaya penyelengaraan perguruan tinggi. Hal ini akan terlihat dengan melambung nominal sumbangan pendidikan dan beragamnya bantuan dana pendidikan yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa dan orang tua mahasiswa. Padahal jika kita menengok pada amanat UUD 1945 bahwa, negara atau dalam hal ini pemerintah memiliki tanggung jawab dan kewajiban serta peran yang penuh dalam menyelenggarakan pendidikan nasional yang salah satunya perguruan tinggi.
Dengan demikian adalah sangat penting sekali peran pemerintah dalam pengelolaan dan pendanaan sebagai bentuk penyelenggaraan perguruan tinggi yang mampu diakses oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal ini tentunya ditujukan untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat. Serta dalam mewujudkan cita-cita tersebut peran negara harus harus pada batas maksimal bukan malah diminimalkan.
C)  Sosiologis

Dalam poin sosiologis ini, kita membahas kondisi rakyat Indonesia dengan beberapa variabel yakni pendapatan, pekerjaan, biaya pendidikan tinggi dengan mengkorelasikan kondisi penyelenggaraan perguruan tinggi jika berlandaskan pada RUU PT.
Pendekatan sosiologis dengan menggunakan variabel pendapatan yang ada di masyakat Indonesia dengan rata-rata pendapatan perbulan Rp 1.068.000 (BPS, Periode Agustus 2010). Hal ini dikarenakan dalam RUU PT nominal untuk tarif sumbangan serta ragam bantuan dana pendidikan dengan nominal yang beragam pula akan sangat mempengaruhi akses ke jenjang perguruan tinggi bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, dalam RUU PT akses bagi rakyat Indonesia yang tidak mampu secara ekonomi pun juga dibatasi dengan kriteria mereka harus berprestasi dalam hal akademik. Dengan demikian bagi calon peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki prestasi secara akademik sudah dapat dipastikan tidak akan bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Selanjutnya kita menggunakan variabel pekerjaan yang secara dominan rakyat Indonesia berprofesi sebagai petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh pabrik dan pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa serta masyarakat yang berwiraswasta sebanyak 22,1 juta jiwa. Tentunya hampir 70% diantara mereka hanya memiliki pendapatan yang tidak lebih dari pendapatan rata-rata secara nasional perbulannya sebesar Rp 1.068.000. Dengan melihat komposisi atau struktur penduduk Indonesia lalu dikaitkan dengan RUU PT yang melakukan pembatasan bagi masyarakat tidak mampu. Maka akan melahirkan ketimpangan dalam akses perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini dikarenakan bagi orang tua calon peserta didik yang berprofesi sebagai petani, buruh dan pedangan kecil akan berpikir ulang untuk melanjutkan jenjang pendidikan tinggi bagi anaknya. Pertimbangan yang diambil oleh mereka tentunya akan sangat bersifat ekonomis. Dalam artian dengan jumlah nominal cukup besar untuk memasukkan anaknya ke perguruan tinggi tidak akan mampu membayarnya karena dengan pekerjaan yang digeluti oleh orang tua para calon peserta didik yang pendapatannya terbilang pas-pasan.
Tentunya dengan cita-cita untuk memperbaiki kualitas hidup mereka melalui jenjang perguruan tinggi akan sirna karena terhambat pada persoalan klasik yakni ketidakmampuan dalam membayar biaya pendidikan. Dalam RUU PT sudah ditegaskan bahwa mahasiswa harus memenuhi kebutuhan biaya operasional maksimal sebesar 1/3 dari total biaya operasional perguruan tinggi. Belum lagi orang tua mahasiswa akan didorong untuk memberikan bantuan dana pendidikan yang nominalnya cukup besar. Latar belakang masyarakat atau dalam hal ini orang tua mahasiswa dan mahasiswa ikut bertanggung jawab dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dikarenakan negara mengalihkan tanggung jawab dan kewajiban dalam hal pendanaan.
Dari biaya pendidikan yang harus dibayar oleh peserta didik yang nominal terbilang cukup besar tentunya akan mempengaruhi akses masyarakat untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. Dengan keberadaan RUU PT akan semakin melegalkan bentuk, ragam dan besaran nominal biaya pendidikan yang cukup bahkan sangat memberatkan bagi calon peserta didik atau orang tua mahasiswa yang ingin mengkuliahkan anak-anaknya. Dengan demikian, akan semakin memunculkan pola pikir pada masyarakat bahwa perguruan tinggi hanya untuk golongan masyarakat yang mampu. Serta, melanggengkan paradigma yang ada dimasyarakat bahwa pendidikan khususnya perguruan tinggi harus mahal dan masyarakat harus bertanggung jawab untuk mendanai biaya operasional perguruan tinggi. Hal ini tentunya dengan jumlah peserta didik di jenjang Perguruan tinggi yang saat ini hanya sebanyak 4,2 juta jiwa. Malah akan memperbesar jurang akses pendidikan tinggi bagi masayarakat yang tidak mampu secara ekonomi.
BMJ Pendidikan Sejarah UNM 2012

Tidak ada komentar: