Mango mpoi ra iuku oi madaku
Terlalu banyak sudah yang tertumpah
Ba ipi mboto lalo ma ra mabuu...
Menangis meratapi buruk nasibku
Ranangi ba fiki ncoki na moriku
Nasib buruk seorang tunawisma
Ncoki mori ba dantau ku ka rawi
Langit sebagai atap rumahku
Langi dimandadi butu umaku
Dan bumi sebagai lantainya
Labo dana mandadi lante na...
Hidupku menyusuri jalan
Moriku di ma batu ncai...
Sisa orang yang aku makan
Sisa doumpa dingaha
Langit sebagai atap rumahku
Langi dimandadi butu umaku
Dan bumi sebagai lantainya
Labo dana lante na...
Hidupku menyusuri jalan
Moriku di ma batu ncai...
Sisa orang yang aku makan
Sisa dou dingaha ra nonoku
Jembatan menjadi tempat perlindungan
Jambata mandadi ili kai weki
Dari terik matahari dan hujan
Ade pana liro ra hina ba ura
Begitulah nasib yang aku alami
Ede pahun diru'u ba sarumbu
Entah sampai kapan hidup begini
Sampe bune ai ompona nggori
Hm-hm-hm-hm-hm-hm-hm hm-hm-hm
Belajar Bersama Abhil Achul
Yusmi Putra Bilmana dan Yusmi Putra Sulham
Sabtu, 02 November 2019
Kamis, 17 Januari 2019
RIWAYAT PERKEMBANGAN KAMPUNG JALA
RIWAYAT PERKEMBANGAN
KAMPUNG JALA
(H. Sulaiman M. Ali)
Adalah Sebuah Kampung kecil nan tandus yang terletak
sebelah barat daya Teluk Bima, selain kelapa di kampong ini hanya ada pohon
Waru (Wau) yang mengikuti aliran Sungai Bontomaranu. Tidak jauh dari laut
itulah terdapat empat puluh rumah yang jarak antara satu sama lainnya
berkisaran 10-30 meter. Kampong ini masuk pada bahagian kampong Nggembe - Bolo.
Pada masa ini (1930-an), kampong ini sekalian urusan-urusannya berada dibawah
naungan atau digabungkan dengan kampong Nggembe. Kampong ini diketuai oleh dua
orang tua-tua yang bernama : ahmad Uba Usu dan Hamu ama Barahi
(ama Ibrahim).
Ialah kampong Jala namanya yang Masjidnya terbuat dari
perabot rumah dan boleh disebut sebagai Langgar atau Mushala buat mereka
mendirikan sembahyang berjamaah. Terkisahkan pada masa ini bahwa kampong ini
tidak mempunyai ijin untuk malakukan sembahyang Jum’at, maka masyarakat
terpaksa malakukannya hal tersebut (sholat Jum’at) di Nggembe dengan malalui
jalan yang amat sulit, mereka berjalan diatas pematang sawah yang sempit dan
licin serta kebun-kebun sebagiannya rimba, karena tidak memiliki jalanan yang
khusus. Mengingat hal ini, hanya dua atau tiga orang saja dari guru-guru ngaji
yang dapat pergi ke sana (Nggembe-red) bagi masyarakat lainnya selama itu belum
pernah malakukan perintah tuhan yang paling mulia ini, padahal penduduknya
lebih kurang 75 (Tujuh Puluh Lima) orang kepala rumah tangga dan jiwa
seluruhnya lebih dari 200 orang.
Pada tahun 1948, datang Gelarang (Kepala Desa) Nggembe Abubakar
AR yang membubar kedua orang buta huruf ini dan diganti dengan yang lain.
Pada waktu itu terpilihlah Penulis (Sulaiman M.Ali) sebagai ketua dan Hamzah Ua
Tima sebagai wakil ketua. Dan selanjutnya kami dipanggil oleh galarang pada
waktu itu.
Dengan berat hati, maka terimalah oleh saya putusan dari
atasan ini disambuti oleh seluruh masyarakat dengan gembira. Mulai pada saat
itu Galarang Nggembe menanamkan kepercayaan kepada kami untuk dan boleh
menjalankan dan mengatasi urusan-urusan yang berkaitan dengan pemerintahan
dengan sealakadarnya. Setahun lamanya kami menjalankan kewajiban-kewajiban
sebagaimana yang telah digariskan oleh bapak gelarang nggembe dengan merasa
bertanggungjawab (Penuh Tanggung Jawab-red).
Pada tahun 1949 terjadilah suatu hal yang agak sulit
yaitu peristiwa kematian seorang anak laki-laki dari Ajarun teta Muhdar yang
berumur baru tujuh Tahun. Sebagaimana biasanya masyarakat ramailah mengambil
tembilang, pacul dll untuk menggali kubur dan ada pula yang disuruh pergi
melaporkan kepada atasan (Gelarang) supaya segera dikuburkan. Tetapi malangnya
bagi kami, bahwa setelah kembalinya oknum (pelapor-red) tersebut dari sana,
bukan manisan yang kami terima malainkan pahit sebagai empedu.
Gelarang Nggembe sekali-sekalitidak mengijinkan mayat
tersebut di situ (?). maka semuanya masyarakat kembali kerumahnya karena mayat
tidak jadi dikuburkan. Kami semuanya merasa kecewa karena mengapa kali yang ini
kami disulitkannya. Kira-kira jam lima hampir kembalilah Ajrun teta Muhdar
kepada kami meminta kebijaksanaan agar mayat anaknya dapat dikuburkan hari ini.
Dengan merasa kasihan (iba) dan kami merasa diri sebagai
pelopor masyarakat maka kami membarinikan diri dengan terpaksa mengijinkannya
tanpa melalui gelarang dan segeralah masyarakat menguburkannya. Kami
sekali-kali tidak mengerti apakah tujuannya kali yang ini menerima kepahitan
dan lain daripada biasanya.
Tetapi dibalik mengijinkan timbullah rasa penyesalan
pada diri saya mengapa dengan mudah saya memberi ijin pada hal tak ada ijin
dari atasan. bukankah ini adalah suatu pelanggaran kami ? akan tetapi pepatah
mengatakan “Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna” apa
boleh buat nasi telah menjadi bubur. Begitulah ucapan saya pada waktu itu
menyikapai keadaan yang ada.
Pada malam harinya saya dan guru-guru ngaji diundang
oleh saudara Ajarun teta Muhdar guna mengadakan do’a tahlil di rumahnya, oleh
karena pada waktu itu musim penghujan dan cuaca malam malam sangat gelapnya
sehingga tidak ada yang berani memanggil Cepelebe dikampung Nggembe yang mempunyai
tugas, sehingga pekerjaan ini dilaksanakan oleh kami sendiri.
Keesokan harinya, pagi-pagi jam 08.00 datang seorang
pesuruh Gelarang Nggembe yang menjemput kami guna guna segera hadir
dikampungnya hari ini juga. “Benar apa yang telah saya duga” sebenarnya sya
ajak Bapak M. Ali Pua Taher (Pua M. Tahir) bersama-sama ke sana (Kantor
Gelarang) akan tetapi oleh karena baliau berhalangan maka saya mengajak H.
Mansyur Abu Tu sehingga kami berdua berangkatlah kesana.
Setelah sampai di Kantor galarang, maka memberi salam
pertemuan kepada beliau-beliau yang ada disitu dan diijinkannya kami masuk
serta mengadakan Tanya Jawab:
Galarang : Saudara Katua RT Jala ?
Ketua : Saya Pak…!
Galarang : Apakah Mayat Kemarin sudah di kuburkan ???
Ketua : Saya Pak ! Sudah kami kuburkan karena
kami sangat kasihan kepada ahli mayat
agar mayat anaknya dapat dikuburkan hari itu.
Galarang : Baiklah ! Cuma saya hendak menguji kepadanya bahwa dia itu tempat
tinggalnya berpindah-pindah.
Ketua : Terimakasih Pak, kami merasa dan
mengucapkan satu kesukuran bahwa Bapak telah mengampunkan kesalahan kami
Cepelebe Nggembe : Siapakah yang melaksanakan do’a Tahlilnya ?
Ketua : Saya Pak ! Kami juga bersama-sama dengan
guru Ngaji yang ada di kampong, karena kami takut datang menjemput Bapak,
disebabkan oleh cuaca malam yang sangat gelapnya.
Cepelebe
Bontoranu “Abu la Hawa” : Ede ulu Lowa ni ! Loa lalo ! sabua ma bora
- riu ku Ro ?
Ketua :
Saya Pak ! Betul ! Tetapi Maafkan kepada kekeliruan kami kali ini.
Galarang
: Wausi ra Ncara mabu
Ncore
Ketua
: Terima kasih Pak, lainkali tidak kami ulangi
Setelah jam 12 siang kami-pun dijinkannya pulang,
dan pulanglah kami setelah mengucapkan salam berpisah.
Begitulah pahit-getirnya nasib
kami akan tetapi walau demikian saya sekali-sekali tidak merasa malu karena ini
adalah wajar, biarlah saya dihina asalkan masyarakat saya jangan terancam,
begitulah ucapan saya kepada H. Mansyur sambil berjalan pulang sehingga tibalah
kami dikampung.
Ini adalah suatu cambukan pada
diri diri saya supaya membangkitkan cita-cita yang selama ini masih terpendam
dalam dada sanubari saya, dan akan saya
memulai memecahkan apakah gerangan cita-cita itu.
Pada suatu hari di Tahun 1949
saya mengundang beberapa orang tua-tua dan guru-guru Ngaji yang ada dalam
kampong guna mengadakan musyawarah bersama apakah yang yang harus saya hadapi,
karena selama ini kami merasa di hina, tetapi ini adalah benar. Kami memikirkan
bagaimana atau cara bagaimanakah kampong kita boleh mempunyai dan kewajiban
sendiri. Maka hadirlah Oknum-oknum (Tokoh-tokoh
Kampung-red) yang telah diundang :
1.
M. Ali Pua Taher
2.
H. Mansyur Abu Tu
3.
Ajarun Teta Muhdar
4.
Latif Tati Kader
5.
Abu dg Imu
6.
Ahmad Uba Usu
Bertempat di rumah saya sendiri, dan mulailah kami
berbincang-bincang : adapun permasalahan yang diangkat dalam musyawarah ini
untuk diperjuangkan kemudian ialah “Permohonan mendirikan sembahyang Jum’at di
Kampung Jala” ini merupakan agenda pertama selain itu adapula tuntutan lain
seperti : Cepelebe Sendiri, Kepala Dusunnya sendiri, SD-nya sendiri serta
dibangunkan jalanan sekedar untuk kendaraan mulai dari kampong Jala menuju
kampong Nggembe yang panjangnya lebih kurang dua kilometer itu.
Demikianlah hasil mufakat dalam permusyawaratan yang
hendak diperjuangkan kepada atasan, semoga cita yang paling mulia ini diridhoi
oleh Allah SWT serta mendapat pengabulan hendaknya.
Semuanya menyambut dengan hati gembira kecuali seorang
tua yang bernama Ahmad uba Usu. Adapun petikan adu mulut antara Ahmad uba Usu
dengan ketua sebagai berikut:
Ahmad uba Usu : Itu adalah tuntutan yang salah akibatnya. Masakan dapat kita
bertanggung – jawab kepada pemerintahan Sifil, militer maupun Hukum.
Ketua
: ini adalah menjadi perjuangan kita, berhasil atau tidaknya harus coba dulu
Begitulah ucapan saya pada beliau-beliau yang hadir itu
sambil terbayang-bayang didalam hati kami betapakah indahnya perintah tuhan
yang paling mulia ini bila kami melaksanakan beramai-ramai dengan masyarakat
kami.
Setelah musyawarah dibubar maka kembalilah kami
(tamu-undangan) ketempat masing-masing. Beberapa bulan [berselang] kemudian
kami membuat surat permohonan mengenai apa yang telah direncanakan teristimewa
sekali mengenai sembahyang jum’at. Surat tersebut dibawa langsung oleh kami
(penulis) sendiri bersama M. Ali pua Taher kepada Gelarang Gabungan Nggembe
tetapi tidak mempunyai tembusan kepada siapa-siapa karena memang pengalaman
kami pada waktu itu masih amat dangkal.
Pada tahun 1950, oleh karena tak ada balasan dari atasan
maka berangkatlah kami menanyakan tentang surat permohonan itu yang telah
bertahun-tahun kami menunggunya, tetapi jawaban Gelarang belum ada balasan.
Kami menunggu dengan penuh kesabaran dan berbesar hati karena terbayang-bayang
didalam benak kami akan hadirnya keijinan supaya kami ramai-ramai dengan
masyarakat melakukan, betapa indahnya pekerjaan yang paling mulia ini yang
selama ini belum pernah kami merasakannya.
Pada tahun 1952 pergi lagi
kami menanyakan tetapi begitu lagi jawaban galarang. Oleh karena didorong oleh
cita dan hati yang keras maka pada tahun 1953 berangkatlah saya bersama M Ali
pua Taher langsung ke Kantor Mahkamah Bima di Bima. setelah kami bertemu dengan
Bapak-bapak dari kantor mahkamah dan memberi salam pertemuan maka diijinkan
kami masuk dan mengadakan Tanya jawab setelah kami memperkenalkan diri dengan
beliau-beliau.
Pegawai
Mahkamah : Saudara Ketua RT Jala ?
Ketua RT
Jala : Saya Pak !
Pegawai Mahkamah
: Kami disini belum pernah mendengar dan belum tahu adanya kampong Jala, hanya
kami tahu Jala itu untuk penangkap Ikan, dimanakah Letaknya itu ? dan darimana
sajakah penduduknya ?, berpa banyak penduduknya ?
Ketua RT
Jala : Saya Pak ! Kampung Jala itu letaknya terpencil di batasan [watasan]
Gelarang gabungan Nggembe. Penduduknya berasal dari tiap-tiap kampong yang tak
mempunyai pekerjaan dan penghasilan datang menetap disana karena mudah mendapat pekerjaan dan kami selalu menjaga
kebaikan nasib mereka sehingga menjadi sebuah kampong nelayan. Oleh karena
kampung kami kami itu belum mempunyai nama, maka kami sesuaikan saja dengan
dengan keadaan pencaharian mereka hanya menjala ikan maka kami namai dengan
Kampung “SORO JALA”
Pegawai
Mahkamah : Terima Kasih, inilah orang-orang yang harus dipuji.
Ketua RT
Jala : karena beliau telah melihat dan mendalami surat yang telah kami serah
lebih dahulu kepada beliau-beliau.
Pegawai Mahkamah : Karena mereka ini benar-benar menegakkan
Agama Allah
Jam dua belas diijinkannya kami. Pulanglah kami berdua setelah mengucapkan salam berpisahan.
Undangan Partai Indonesia Raya (PIR)
Pada Tahun 1956 saya menerima
surat dari Dewan Pimpinan Partai “PIR” Cabang Bima guna menghadiri Rapat
terbuka di Gedung Bioskop (Teatre Surabaya – Ed) Bima yang dihadiri oleh
480 Peserta dari Sape – Kore.
Setelah tiba hari yang
ditentukan, maka berangkatlah saya sendiri dan gelarang Nggembe serta stafnya
ke tempat yang diundangkan, karena pada waktu itu saya memegang pimpinan PIR
Anak Cabang (Pengurus Anak Cabang - Ed) Bolo Utara sebagai Sekretaris I.
Setelah tiba di sana dan
sekalian hadirin sudah ada di tempat persidangan maka seluruh peserta mendengar dan menikmati hasil dari
sidang-sidang itu.
Sidang itu berlangsung dua hari
sehingga hari pertama supaya mendaftarkan namanya untuk memajukan permohonannya
besok.
Oleh karena saya merasa diri satu
pimpinan maka saya turut mendaftarkan nama buat memajukan permohonan besok
berupa usulan-usulan.
Pada hari yang kedua ini semua
pimpinan yang telah mendaftarkan namanya kemarin diijinkanlah naik pidion
(Podium-red) berganti-ganti dan memajukan usulan masing-masing. Maka tibalah
ketua Jala : setelah berada diatas pidion maka saya mengemukakan usulan-usulan
:
1. Dikampung Jala perlu diadakan sembahyang Jum’at
sendiri karena belum mempunyai ijin untuk melakukan sembahyang Jum’at apalagi
kampung kami itu jauh dari kampung Nggembe ±2 Km.
2. Perlu diadakan cepelebenya sendiri karena
mengingat diwaktu kami melakukan Do’a tahlil pada kematian seorang anak kecil
yang baru berumur 7 tahun maka kami keesokan harinya kami dipanggil dimarahi
habis-habisan
3. Perlu diadakan Kepala Dusun supaya dapat mengatasi
masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan pemerintahan.
4. Perlu diadakan SD karena mengingat susahnya murid
yang masih kecil, takut berjalan ke Nggembe yang melalui sawah-sawah yang luas
dan kebun-kebun yang kayunya besar-besar, semak-semak bagaikan belukar yang
sangat menakut anak-anak yang pergi bersekolah, sehingga anak-anak sering
meninggalkan sekolahnya.
5. Dibangunkan jalanan sekedar untuk kendaraan dari
Nggembe ke Jala sampai ke kampung Daru.
Demikianlah usulan yang saya kemukakan
dan yang teristimewa sekali ialah permohonan mendirikan sembahyang Jum’at sendiri
karena mereka disana jarang melakukan sembahyang Jum’at.
Setelah turun dari pidion saya
serahkan surat permohonan itu pada Bapak-bapak Protokol yang telah saya
sediakan. Dan saya dengar ucapan beliau-beliau itu dengan rekan-rekannya bahwa
hal ini sangat setuju dan berjanji supaya sama-sama memperjuangkan pada atasan.
Di jam 12, rapat dibubar dan pulanglah
semua peserta ketempatnya masing-masing.
Pada tahun 1954 disuatu hari datanglah
di Jala Bapak Lebe Na’e Sila H. A. Gani beserta stafnya dirumah M. Ali Pua Tahe
dan mengadakan tanya – jawab dengan kami. Beliau telah menerima surat dari
Kantor Mahkamah dan bunyi surat itu antaralain supaya saudara segera pergi
mengadakan peninjauan dikampung Jala dan hasil dari peninjauan saudara dapat
kami terima dalam jangka pendek.
H. A. Gani :
Setelah kami tiba dikampung Daru dan hendak menuju kesini saya terkejut melihat
betapa besarnya ini kampung dan berapakah penduduknya? Karena selama ini kami
menerima surat dari saudara Gelarang Nggembe bahwa saudara-saudara disini
hendak mendirikan sembahyang jum’at sendiri sedangkan penduduknya hanya dua
puluh orang saja. Itu tidak mungkin karena tidak memenuhi surat ini. Inlah
bohong mereka.
Ketua RT : Inilah
buku catatan Jiwa yang ada dikampung ini, terdapat 75 Kepala Keluarga dan Jiwa
seluruhnya lebih dari 200 orang. Kami mengerti benar bahwa beliau-beliau tidak
setuju dan tidak mendukung permohonan kami yang paling itu.
Sebentar kemudian datanglah Gelarang
Nggembe A. Bakar A.R dan sekretarisnya Arsyad H.M. Nur. Setelah berhadapan
dengan kami maka lebena’e menunjukan buku catatan jiwa kepada beliau-beliau dan
setelah beliau melihat dan mendalaminya lalu beliau berkata :
Gelarang Nggembe
: Ya..!. Betul menurut catatannya itu sendiri.
Maka
beliau-beliau itu pergi meninggalkan kami
Lebe Na’e :
Itulah Bohongnya Gelarang ini.
Ketua : Ya.. Pak,
memang beliau-beliau itu meng-anak tirikan kami disini. Bukan ini saja. Selama
ini dulu-dulu pernah menjalankan hal yang tak sesuai tapi oleh karena kami
selalu berada di pihak yang benar, maka kami selalu menang.
Jam 12 siang Lebe Na’e dan stafnya
pulang.
Pada tahun 1955 kami mengadakan sendiri menjadi
Calon cepelebe Jala. Yang menjadi calon :
1.
M. Ali Pua M.
Tahir
2.
H. Mansyur
Abu Tu
3.
Ajarun Teta
Muhdar
4.
Abu dg Imo
5.
Late Tati
Kader
Tapi yang menang : M. Ali Pua M. Tahir maka
langsung kami kirimkan namanya kepada Lebena’e Sila dan tembusannya disampaikan
pada :
1.
Kantor
Mahkamah Bima di Bima
2.
Kantor Kepala
Daerah Tingkat II Bima di Raba
3.
Kantor Desa
Nggembe di Nggembe Bolo supaya sama-sama mendapat maklum dan
4.
Arsif.
Surat tersebut supaya M. Ali P. M. Tahir diangkat
menjadi Cepelebe Kampung Jala
Pada tahun itu juga mulailah masyarakat Jala
melaksanakan Sembahyang Jum’at dikampungnya dengan mengucapkan syukur dan rasa
gembira.
Dua tiga bulan kemudian sedang kami menikmati
perintah tuhan yang baru kami rasakan maka datang surat panggilan dari kantor
Lebena’e Sila. Pada keesokan harinya pergilah saya dengan M. Ali Pua Tahir
menghadiri panggilan itu, dan setelah kami berhadapan dengan beliau-beliau di
kantornya serta bertanya jawab :
Lebe Na’e Sila : Saudara Ketua RT Jala?
Ketua :
Saya Pak!
Lebe Na’e Sila : Kabarnya bahwa
saudara-saudara disana telah melakukan sembahyang Jum’at, betulkah itu?
Ketua :
Betul Pak ! Kami telah melakukannya sampai delapan kali berturut-turut.
Lebe Na’e Sila : Sebaiknya jangan dulu ! berhentikan dulu
melaksnakannya.
Ketua :
Maaf Pak! Kami mohon agar pekerjaan itu tetap kami lakukan untuk
selama-lamanya, karena betapakah besarnya dosa kami disana yang selama ini
belum pernah mengerjakannya.
M. Ali P Tahir : Maaf Pak! Kami rela dipenjarakan Lima Belas Tahun, asalkan
orang Jala itu tetap melakukan untuk selama-lamanya.
Lebe Na’e Sila : Bukan begitu saudara ! Cuma hendaknya bahwa kita harus
sama-sama menunggunya.
Ketua :
Betul Pak ! Kami tetap melakukannya sambil menunggu balasan dari atasan.
Mendengar ucapan kami yang tegas itu
maka diamlah Lebena’e sehingga diijinkannya kami pulang. Jam satu kami pulang
bersama-sama sampai ke rumah.
Sekitar tahun 1956 kami menerima Surat
keputusan dari Pemerintah Daerah tingkat II Bima yaitu surat pengangkatan
mendirikan sembahyang Jum’at di Kampung Jala sekaligus dengan Bslit
pengangkatan Bapak M. Ali untuk menjadi Cepelebe kampung Jala. Surat tersebut
ditanda tangani oleh Bapak Idris Jafar.
Maka tamatlah riwayat permohonan
mendirikan sembahyang Jum’at dikampung Jala. Besarlah hati kami menerima segala
kenyataan ini terasa sebagaimana hutang budi kami terhadap masyarakat jala,
kini telah terbayar, tetapi namun
(kendati-pen) demikian masih 3 atau
tiga hal yang masih diperjunagkan dengan memerlukan jangka waktu yang lama
tetapi insyaallah asal kita jangan putus asa.
Bertahun-tahun kami ramai-ramai dengan
masyarakat menjunjung tinggi Agama Allah yang paling mulia ini dan segala
urusan yang bersangkutan dengan hukum-hukum agama dapatlah kami mengatasinya
dengan sendiri.
Tetapi sayang sekitar tahun 57an
datanglah saudara Gelarang nggembe Arsyad H. M. Nur langsung kerumah saya
sendiri dan berkata :
Gelarang Nggembe : Saudara Dul !
Ketua : Saya Pak !
Gelarang
Nggembe : Sekarang Saudara Cepelebe M.
Ali Pua M. Tahir telah mengundurkan diri dari jabatannya karena beliau
beralasan hendak pergi tinggal di Sape, jadi jabatan pegawai hukum ini baiklah
kita kembalikan saja dan segala urusan digabungkan saja di Nggembe.
Ketua
Rt Jala : Maaf Pak ! Ini adalah
suatu tindakan yang tidak sesuai, karena kami mendapat jabatan hukum ini bukan
dari hadiah siapa-siapa tapi adalah hasil dari jerih payah kami sendiri yang
baru saja kami menikmati untuk selama-lamanya Cuma saja orangnya akan kami
pilih sendiri bersama-sama masyarakat dalam kampung kami untuk selama-lamanya.
Gelarang
Nggembe : Tetapi kalau begitu siapakah yang
patut kita Angkat ?
Ketua : Terimakasih Pak ! Kami
ambil saja ipar saya bernama H. Kaba Sya”ban
Gelarang
Nggembe : Apakah dia dapat menjalankan
segala urusan hukum dan pelaksanakaan keagamaan ?
Ketua : Saya Pak ! Beliau itu
adalah seorang yang fasih, dan di bidang agama tegas, lincah dan pembacaannya
enak didengar dan sangat baik hatinya terhadap masyarakat.
Galarang
Nggembe : Baiklah kalau begitu
Maka tercatatlah nama Saudara H. Kaba
untuk menjabat cepelebe Jala sambil menanti surat keangkatannya. Lama kelamaan
diwaktu M. Ali Pua Taher hendak berangkat ke sape yang telah direncanakannya,
maka semua anak-anaknya menangis dan ada menangis sejadi-jadinya dan merebahkan
tubuhnya ditanah.
Melihat keadaan yang agaknya tidak
mengijinkan itu maka beliau mengurungkan niatnya sehingga tak jadi maksudnya
pergi tinggal di Sape itu. Saya sangat menyesalkannya karena baru saja mengecap
manisnya, beliau telah mengundurkan diri.
Sekarang beliau telah tiada, akan
tetapi jasa-jasa beliau yang selalu mendampingi saya, tetap dinikmati oleh
masyarakat kampung Jala terutama mengenai shalat Jum’at untuk selama-lamanya.
Amin
Sekitar tahun 1958, saya ditimpa suatu
musibah yaitu saya ditimpa penyakit yang keras sehingga tak dapat menjalankan
segala roda kewajiban yang saya beban yang masih harus diperjuangkan dalam
jangka yang panjang.
Dengan demikian saya serahkan
segala-galanya urusan-urusan kepada kakak saya, Usman Husain untuk
melanjutkannya dihadapan gelarang Nggembe Arsyad H.M. Nur. Akan tetapi kakak saya
itu tidak lama lagi sehingga beliau mengundurkan diri kepada atasan belum
sampai satu tahun.
Maka tahun 1964 terpilih saudara
Sulaiman M. Ali dan M Sidik Muhammad meneruskan perjuangan kami yang belum
selesai semuanya. Untuk menjadi ketua RT. Bertahun-tahun lamanya beliau-beliau
menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sehingga dua macam tuntutan
yaitu Kepala Dusun dan rumah SD telah selesai. Tetapi tuntutan kita itu belum
selesai diperjuangkan.
Pada tahun 1982/83 datanglah AMD (ABRI
Masuk desa) pada tahun itu juga mulailah seluruh masyarakat bahu-membahu dengan
anggota ABRI bekerja membangun jalanan yang khusus dari Nggembe ke Jala sampai
ke kampung Daru dalam tempoh lima belas hari, selesailah pekerjaan itu sehingga
jalanan yang dibangun ini dinamainya dengan jalan “UDAYANA”.
Kita sama-sama mengucapkan Syukur
Kepada Allah Subhanahuataala yang telah mencurahkan rahmatnya dan atas kudrat
dan IradahNya sehingga segala cita-cita kita yang mulia telah terlaksana
semuanya, Cuma sangat diharapkan kepada Generasi penerus yang menyambutnya
dengan hangat, supaya segala hak milik yang telah kita capai itu dirawat dan
dipupuk dengan baik serta dijaga dengan penuh tanggung jawab untuk
selama-lamanya. Amin ya Rabbal Alamin
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ T A M M A T ~~~~~~~~~~~~~~~
Demikianlah riwayat perjuangan kita
untuk mencapai cita-cita kita itu dalam jangka yang lama lebih kurang 30 (Tiga
Puluh) Tahun. Walaupun disana-sini masih banyak kesalahan-kesalahan,
kejanggalan-kejanggalan lebih dan kurangnya tetapi semuanya adalah benar
adanya.
Tambahan yang telah Saya Lupakan
Setelah saudara m. Sidik Muhamad
kembali kerahmatullaah maka telah diresmikan kepada saudara Sulaiman M. Ali
ditetapkan menjadi Kepala dusun Jala. Beliau ini adalah putra dari M. Ali pua
m. Tahir, dan beliau ini adalah seorang yang ramah-tamah dan baik budi
pekertinya, serta tajam menjalankan segala tugas dan kewajiban yang dibebankan
kepadanya, dapat bertindak sebagai Chatib diwaktu sembahyang jum’at karena
beliau ini banyak pengetahuan yang dialaminya.
Lebih dari sepuluh tahun lamanya kami
telah merasa manis dan indahnya hasil perjuangan kami itu sehingga hasil dari
kelanjutan perjuangan saudara Sulaiman M Ali ini dengan reka-rekannya telah
tampak dimasyarakat Jala bahwa rumah SDN 6 tahun telah nyata dengan selamat dan
senanglah anak-anak kita yang bersekolah seakan-akan dipekerangan rumah saja.
Tapi sungguhpun kita telah merasa gembira dan senang kita masih berjalan
dengan meniti diatas pematang sawah-sawah yang licin dan kebun-kebun yang
rindang-rindang dan jalan berliku-likudan amat sulitnya, bila ada sesuatu
kecelakaan mendadak pada masyarakat, karena permohonan mengenai membangun
jalanan belum selesai dan masih memakan waktu yang panjang. Tetapi oleh karena
berkat perjuanagn beliau-beliau yang tak pernah merasa lelah, maka pada tahun
1982/83 datanglah AMD (ABRI Masuk Desa) di Nggembe.
Sabtu, 17 November 2018
Kerajaan Samalas
sekarang sedikit tahu tentang spesialnya lombok dan gunung rinjani dari tulisan ini. (Yusuf, S.Pd)
*Lombok Menanti Anak Pengungsi*
Oleh: Dahlan Iskan
Hanya bisa pasrah. Itulah yang terjadi di Lombok. Saat ini. Yang diguncang gempa beruntut. Susul menyusul. Tanpa tahu kapan datang. Berapa lama. Berapa besar.
Pasrah. Tidur di tenda. Seadanya. Tendanya maupun logistiknya.
Pasrah. Hanya itu yang bisa diperbuat. Yang ternyata ada hasilnya. Tidak banyak lagi korban jiwa. Di gempa dahsyat tengah malam. Minggu malam kemarin. Yang skalanya 7 SR.
Begitu sering gempa datang. Sejak tanggal 7 Agustus saja sudah 17 gempa. Yang di atas 5 SR. Atau 4 gempa. Yang di atas 6 SR. Sampai-sampai saya tidak bisa menjawab. Saat ada pertanyaan dari luar negeri: apakah pernah di masa lalu sesering dan sebesar itu.
Mereka sangat memerlukan data itu. Untuk masa depan Lombok. Yang ekonominya harus maju. Yang bangunan-bangunannya tidak cukup harus tahan gempa. Tapi harus tahan diguncang gempa beruntun.
Saya tidak pernah mendalami kondisi Lombok di masa lalu. Keterlibatan saya baru intensif belakangan. Saat menjabat Dirut PLN. Lombok adalah daerah yang paling parah krisis listriknya.
Terutama Lombok Timur. Di situ ada ‘PLN swasta’: Koperasi Rinjani. Yang sudah lama tidak berdaya. PLN tidak bisa begitu saja. Masuk ke wilayah koperasi itu. Bukan main sulitnya memecahkan persoalan ini. Alhamdulillah bisa selesai.
Saya juga tidak banyak tahu tentang Gunung Rinjani. Yang menyimpan misteri itu. Tahu saya hanya tiga: Gunung Toba, Gunung Krakatau dan Gunung Tambora. Yang ketika meledak menggegerkan dunia.
Saat Gunung Toba meletus abunya sampai Jerman. Begitu dahsyatnya. Sampai terbentuk danau Toba. Yang luasnya 1.130 km2. Yang dalamnya lebih 500 meter.
Begitu juga saat Krakatau meletus. Dunia gelap gulita. Gunungnya sampai hilang sama sekali. Hanya terlihat sedikit puncaknya. Itu pun kalau laut lagi surut.
Ketika Gunung Tambora meletus abunya sampai New York. Terbang dari tempat asalnya: di Sumbawa. Tinggi Gunung Tambora pun sampai berkurang 1.500 meter. Dari 4.300 meter sebelum meletus pada tahun 1815, menjadi tinggal 2.850 meter saat ini.
Hanya itu yang sering saya pelajari.
Saya tidak tahu. Bahwa letusan Rinjani dua kali lebih hebat dari Tambora. Pada tahun 1257, atau 44 tahun sebelum Majapahit berdiri. Waktu itu nama Rinjani belum disebut. Di Lombok hanya ada gunung Samalas.
Gunung Samalas itulah yang meledak. Menimbulkan gumpalan hitam di udara. Yang besarnya melebihi pulau Lombok. Musim dingin di Eropa sampai tidak dingin. Begitu juga di Amerika. Bahkan musim panas berikutnya menjadi tidak panas.
Samalas mengguncang dunia. Gunung itu tidak hanya meledak. Tapi lenyap. Hilang. Jadi debu. Menyebar sampai ke seluruh dunia. Para petani di Mongolia gagal panen. Demikian juga di belahan dunia lainnya.
Gunung Samalas hilang. Tinggal anaknya: Rinjani. Yang terus menerus bergolak. Meski tidak sedahsyat bapaknya. Tahun 1257 itulah Lombok kehilangan dua: Gunung Samalas dan kerajaan Pamatan. Yang pusat kekuasaannya di kaki Samalas.
Seluruh Lombok tertutup abu. Sang Raja tewas. Rakyatnya nyaris punah. Bahkan sampai Bali. Yang penduduknya berkurang sangat banyak. Sampai-sampai dengan mudah ditaklukkan oleh raja-raja dari Jawa Timur. Beberapa puluh tahun berikutnya.
Kini sudah tidak ada yang ingat Samalas. Atau Gunung Samalas. Tapi gempa yang diwariskannya masih terus menghantui kita.
Di selatan Lombok memang ada patahan bumi. Kira-kira 300 km jaraknya. Yang membujur dari barat ke timur.
Dan di bawah Lombok sana ada zona seismic. Disebut zona Benioff. Sesuai dengan nama penemunya. Letaknya sekitar 170 km di bawah Lombok. Zona itu aktif. Membuat gerakan-gerakan.
Saya tidak ahli bidang ini. Hanya banyak belajar. Saya tidak tahu hubungan antara patahan bumi itu dengan pergerakan di zona seismic itu. Saya juga tidak tahu hubungan antara keduanya dengan meletusnya Gunung Samalas. Lebih 600 tahun yang lalu. Atau meletusnya Tambora 200 tahun lalu. Atau rentetan gempa saat ini.
Saya tidak tahu. Saya hanya pasrah. Seperti para pengungsi.
Tapi saya percaya. Ilmu pengetahuan akan bisa banyak berbuat. Ketika kita sudah menjadi masyarakat ilmiah. Kalau sudah banyak ahli geologi. Salah satunya, mungkin, si anak pengungsi saat ini. (dahlan iskan)
*Lombok Menanti Anak Pengungsi*
Oleh: Dahlan Iskan
Hanya bisa pasrah. Itulah yang terjadi di Lombok. Saat ini. Yang diguncang gempa beruntut. Susul menyusul. Tanpa tahu kapan datang. Berapa lama. Berapa besar.
Pasrah. Tidur di tenda. Seadanya. Tendanya maupun logistiknya.
Pasrah. Hanya itu yang bisa diperbuat. Yang ternyata ada hasilnya. Tidak banyak lagi korban jiwa. Di gempa dahsyat tengah malam. Minggu malam kemarin. Yang skalanya 7 SR.
Begitu sering gempa datang. Sejak tanggal 7 Agustus saja sudah 17 gempa. Yang di atas 5 SR. Atau 4 gempa. Yang di atas 6 SR. Sampai-sampai saya tidak bisa menjawab. Saat ada pertanyaan dari luar negeri: apakah pernah di masa lalu sesering dan sebesar itu.
Mereka sangat memerlukan data itu. Untuk masa depan Lombok. Yang ekonominya harus maju. Yang bangunan-bangunannya tidak cukup harus tahan gempa. Tapi harus tahan diguncang gempa beruntun.
Saya tidak pernah mendalami kondisi Lombok di masa lalu. Keterlibatan saya baru intensif belakangan. Saat menjabat Dirut PLN. Lombok adalah daerah yang paling parah krisis listriknya.
Terutama Lombok Timur. Di situ ada ‘PLN swasta’: Koperasi Rinjani. Yang sudah lama tidak berdaya. PLN tidak bisa begitu saja. Masuk ke wilayah koperasi itu. Bukan main sulitnya memecahkan persoalan ini. Alhamdulillah bisa selesai.
Saya juga tidak banyak tahu tentang Gunung Rinjani. Yang menyimpan misteri itu. Tahu saya hanya tiga: Gunung Toba, Gunung Krakatau dan Gunung Tambora. Yang ketika meledak menggegerkan dunia.
Saat Gunung Toba meletus abunya sampai Jerman. Begitu dahsyatnya. Sampai terbentuk danau Toba. Yang luasnya 1.130 km2. Yang dalamnya lebih 500 meter.
Begitu juga saat Krakatau meletus. Dunia gelap gulita. Gunungnya sampai hilang sama sekali. Hanya terlihat sedikit puncaknya. Itu pun kalau laut lagi surut.
Ketika Gunung Tambora meletus abunya sampai New York. Terbang dari tempat asalnya: di Sumbawa. Tinggi Gunung Tambora pun sampai berkurang 1.500 meter. Dari 4.300 meter sebelum meletus pada tahun 1815, menjadi tinggal 2.850 meter saat ini.
Hanya itu yang sering saya pelajari.
Saya tidak tahu. Bahwa letusan Rinjani dua kali lebih hebat dari Tambora. Pada tahun 1257, atau 44 tahun sebelum Majapahit berdiri. Waktu itu nama Rinjani belum disebut. Di Lombok hanya ada gunung Samalas.
Gunung Samalas itulah yang meledak. Menimbulkan gumpalan hitam di udara. Yang besarnya melebihi pulau Lombok. Musim dingin di Eropa sampai tidak dingin. Begitu juga di Amerika. Bahkan musim panas berikutnya menjadi tidak panas.
Samalas mengguncang dunia. Gunung itu tidak hanya meledak. Tapi lenyap. Hilang. Jadi debu. Menyebar sampai ke seluruh dunia. Para petani di Mongolia gagal panen. Demikian juga di belahan dunia lainnya.
Gunung Samalas hilang. Tinggal anaknya: Rinjani. Yang terus menerus bergolak. Meski tidak sedahsyat bapaknya. Tahun 1257 itulah Lombok kehilangan dua: Gunung Samalas dan kerajaan Pamatan. Yang pusat kekuasaannya di kaki Samalas.
Seluruh Lombok tertutup abu. Sang Raja tewas. Rakyatnya nyaris punah. Bahkan sampai Bali. Yang penduduknya berkurang sangat banyak. Sampai-sampai dengan mudah ditaklukkan oleh raja-raja dari Jawa Timur. Beberapa puluh tahun berikutnya.
Kini sudah tidak ada yang ingat Samalas. Atau Gunung Samalas. Tapi gempa yang diwariskannya masih terus menghantui kita.
Di selatan Lombok memang ada patahan bumi. Kira-kira 300 km jaraknya. Yang membujur dari barat ke timur.
Dan di bawah Lombok sana ada zona seismic. Disebut zona Benioff. Sesuai dengan nama penemunya. Letaknya sekitar 170 km di bawah Lombok. Zona itu aktif. Membuat gerakan-gerakan.
Saya tidak ahli bidang ini. Hanya banyak belajar. Saya tidak tahu hubungan antara patahan bumi itu dengan pergerakan di zona seismic itu. Saya juga tidak tahu hubungan antara keduanya dengan meletusnya Gunung Samalas. Lebih 600 tahun yang lalu. Atau meletusnya Tambora 200 tahun lalu. Atau rentetan gempa saat ini.
Saya tidak tahu. Saya hanya pasrah. Seperti para pengungsi.
Tapi saya percaya. Ilmu pengetahuan akan bisa banyak berbuat. Ketika kita sudah menjadi masyarakat ilmiah. Kalau sudah banyak ahli geologi. Salah satunya, mungkin, si anak pengungsi saat ini. (dahlan iskan)
Minggu, 25 Februari 2018
Pengantar Ilmu Sejarah
Pengantar Ilmu Sejarah
Oleh : Yusuf, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 2 Langgudu Kab. Bima)
Kata sejarah sudah tidak
asing lagi di telinga kita. Apabila kita menjumpai atau mendengar kata sejarah,
maka yang terbayang di sebagian besar kita adalah masa lalu, kekunoan, barang-barang
dari jaman dahulu serta semua hal yang berhubungan dengan masa lalu, kuno, dan
lapuk. Meskipun sebagian besar dari masyarakat kita menganggap sejarah tidak
penting, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah selalu menjadi hal yang paling
disalahkan apabila terjadi tragedy pada perjalanan umat manusia.
Secara literasi sejarah
berasal dari kata syajarah (bahasa Arab) yang berarti pohon, syajarah an-nasab
yaitu pohon istilah. Sejarah dalam bahasa Inggris adalah history yang merupakan
turunan dari kata historia (bahasa Latin) yang berarti orang pandai. Kata
historia juga diartikan sebagai pengetahuan tentang gejala-gejala alam. Dalam
perkembangannya sejarah lebih merujuk kepada aktivitas manusia di masa lampau.
Pada awalnya sejarah
dimaknai sebagai cerita tentang peristiwa masa lalu. Sejarah dalam bentuk
demikian bersifat naratif, artinya gambaran masa lalu disajikan secara lengkap
meliputi urtan fakta beserta penjelasannya. Sejarah dalam bentuk tersebut pada
umunya bersifat rinci dan kronologis tentang suatu peristiwa. Sejarah demikian
lebih bersifat cerita bukan merupakan sejarah ilmiah, karena tidak menuntut
penggunakan metodologi da teori.
1.
Sejarah sebagai Ilmu
Sejarah sebagai cerita masa lalu sering mencampuradukkan antara kenyataan
sejarah dengan hal-hal yang tidak nayata atau dongeng. Pencampuradukan ini
membuat sejarah sering pula disamakan dengan mitos atau legenda. Dengan
demikian peristiwa sejarah menjadi kabur, sementara yang berkembang menjadi
popular dan kemudian dipercaya sebagai suatu kebenaran sejarah oleh masyarakat
sebenarnya hal yang bukan fakta sejarah.
Agar suatu peristiwa sejarah yang sebenar kisah yang “ditambahkan” maka
aansejarahpada harus terletak pada kemampuan sejarah membuktikan kebenaran
peristiwa sejarah yang dapat diuji secara ilmiah. Jadi sejarah harus
membuktikan bahwa masa lalu itu benar-benar terjadi.
Sejarah sebagai ilmu harus membuktikan keobyektifan dan berlandaskan pada
keberadaan serangkaian artefak, manuskrip, dokumen untuk membuktikan dan
merekonstruksi peristiwa masa lalu. Dokumen, artefak, manuskrip adalah jejak
yang ditinggalkan dari aktivitas manusia di masa lalu. Semua benda itu yang
disebut sumber primer diteliti untuk dicari keterhubungan satu dengan yang
lainnya sehingga menjadi fakta. Fakta-fakta kemudian diinterpretasi yang
berakhir pada historiografi.
Sejarah sebagai ilmu adalah empirs, dalam kinerja sejarawan berdasarkan
pada pengamatan, pengalaman dan penafsiran. Dalam hal ini peneliti sejarah harus
mencari dan mengamati sumber, membandingkan keterangan dari satu sumber dengan
sumber yang lain, melakukan klasifikasi informasi yang ada pada sumber, menarik
fakta dan terakhir menyimpulkan. Semua kegiatan itu harus terekam dan dapat
diuji berulang kali.
Salah syarat ilmu adalah memiliki obyek. Obyek ilmu sejarah adalah manusia,
tetapi dalam hal ini yang dimaksud lebih pada aktivitas manusia di masa lampau.
Dalam melakukan pengamatan atas obyek, sejarah tidak dapat melakukan pengamatan
langsung selayaknya ilmu alam karena obyek kajiannya tidak dapat diamati secara
langsung. Ilmu sejarah melakukan pengamatan atas obyek pene mereka berupa
manuskrip, dokumen, atau artefak yang merepresentaskan kegiatan manusia di masa
lalu. Jadi dalam hal ini obyek kajian sejarah adalah manusia yang dibatasi oleh
ruang dan waktu.
Seperti halnya ilmu pengtahuan yang lain, ilmu
sejarah juga mempunyai teori yang sering disebut filsafat sejarah kritis. Teori
adalah hal-hal yang berkenaan dengan kaidah pokok keilmuan. Filsafat
menyebutnya epistemology yang berarti pengetahuan tentang sesuatu atau obyek
penelitian. Dalam hal ilmu sejarah obyek penelitiannya adalah manusia dalam
waktu. Inilah yang membedakan sejarah dengan mitos. Dalam mitos tidak jelas
waktu dari kejadian, sedangkan pada sejarah waktu menjadi suatu hal yang
penting sehingga jelas kapan suatu kejadian itu berlangsung.
Sebagai kajian ilmiah, sejarah juga melakukan
generalisasi atau melakukan penarikan kesimpulan umum. Berbeda dengan ilmu
social yang menarik kesimpulan pada satu penelitian dan diberlakukan juga untuk
obyek yang sama tetapi tempat berbeda sehingga kesimpulan di satu tempat
penelitian dapat berlaku sama untuk tempat lain asal dalam kondisi yang sama,
generalisasi sejarah sering berupa koreksi atas kesimpulan ilmu lain. Contoh
Marx menggeneralisasi bahwa semua revolusi adalah perjuangan kelas (kelas buruh
terhadap kelas majikan), tetapi dalam hal revolusi Indonesia bukanlah
perjuangan kelas tetapi digerakkan oleh nasionalisme.
Seperti halnya ilmu lain, sejarah juga
memiliki metode. Metode adalah langkah-langkah yang harus ditempuh seorang
peneliti agar dalam melakukan rekonstruksi terhindar dari bias subyektifitas.
Metode akan menuntun dan membatasi gerak peneliti sehingga kebenaran penelitian
dapat dipertanggungjawabkan. Keberadaan metode pada ilmu sejarah membuat
sejarah terbuka untuk diuji sehingga kebenaran sejarah lebih dapat diterima.
2.
Sejarah sebagai Seni
Ketika kita membaca sebuah karya sejarah,
adakalanya kita merasa bosan karena redaksional karya yang kit abaca tidak
menarik. Tetapi di pihak lain kita mendapati karya sejarah yang sangat enak
dibaca sehingga kita tidak merasa sedang membaca karya sejarah ilmiah, tetapi
kita merasa seperti membaca novel. Menarik tidaknya suatu karya sejarah sangat
tergantung pada penulis atau peneliti sejarah.
Karya sejarah ilmiah harus berupa rekonstruksi
data sejarah yang terpercaya dan andal. Seorang peneliti sejarah memiliki keharusan
menguasai tehnik menelusuri dan mengumpulkan data atau dalam bahasa sejarah
lebih dikenal dengan istilah sumber sejarah. Kemampuan, kejelian dan ketelitan
peneliti sangat menentukan ketersediaan sumber sejarah yang menjadi bahan dasar
untuk rekonstruksi sejarah.
Seorang peneliti sejarah ketika akan
menentukan topic kajian penelitian tidak dapat hanya mengandalkan ilmu sejarah.
Peneliti sejarah memerlukan ilmu lain untuk melihat sisi lain dari dinamika
manusia yang belum dikaji dari masa lalu. Ilmu social (sosiologi) dan ilmu
budaya (antropologi) sangat membantu dalam hal mencari kemungkinan topic
penelitian sejarah. Melalui ilmu bantu pula memungkinkan keberagaman kajian
sejarah sehingga memperkaya karya sejarah.
Namun tidak jarang peneliti sejarah juga
memerlukan ilham atau intuisi untuk mengatasi hal itu. Dalam ilmu sejarah hal
tersebut dibenarkan, bahkan intuisi diperlukan terutama ketika peneliti sejarah
harus berurusan dengan minimnya sumber. Dalam kondisi demikian diperlukan ketajaman
intuisi untuk menentukan sumber yang hendak dicari atau untuk memperkirakan
keberadaan sumber.
Sehingga dalam hal ini ilham atau intuisi yang
harus dimiliki oleh sejarawan bukan ilham atau intuisi yang dimiliki seorang
pengarang. Dalam hal ini intuisi peneliti sejarah dibutuhkan dalam upayanya
menelusuri sumber lain yang diperlukan penelitiannya. Karena itu intuisi yang
dimiliki peneliti sejarah berjalan berdasarkan data yang telah dimiliki
terdahulu. Jadi intuisi tidak muncul tiba-tiba, tetapi terkondisi berdasar atas
data yang telah dimiliki peneliti. Dalam hal ini intuisi peneliti akan muncul
ketika peneliti mendapati data yang dimilikinya kurang memadai atau dia merasa
masih kurang. Maka peneliti akan berusaha keras memikirkan beragam kemungkinan
di mana dia dapat memperoleh data. Jadi dalam hal ini intuisi lebih pada
pemahaman sejarawan atas apa yang ditelitinya dan instinktif yang dilakukan
selama penelitian berlangsung.
Selain intuisi seorang peneliti sejarah juga
harus dapat berimajinasi. Imajinasi sejarah penting dikuasai karena penelitian
sejarah berhubungan dengan masa lalu yang hanya sedikit meninggalkan jejak.
Meskipun dokumen dari masa lalu yang menjadi kajian penelitian cukup banyak
tidak akan mungkin rekonstruksi yang dilakukan akan sama persis dengan
peristiwa yang sudah berlalu tersebut. Semakin jauh jarak obyek penelitian
dengan ruang hidup peneliti, semakin
diperlukan imajinasi.
Imajinasi yang dimaksud dalam sejarah adalah
kemampuan membayangkan apa yang sebelumnya, sedang, dan telah terjadi pada masa
itu. Dalam berimajinasi sejarawan harus tetap berpedoman pada data yang
dimilikinya. Karena itu data menjadi penting. Dalam hal itu sejarawan dituntut
untuk dapat membayangkan tidak hanya peristiwa yang menjadi obyek kajiannya
saja, tetapi termasuk juga bentang geografis, latar budaya, latar sosial,
ekonomi, politik dari obyek, masyarakat, dan lingkungan yang ditelitinya.
Pemahaman akan ruang lingkup sosial budaya peristiwa yang menjadi obyek
penelitiannya akan “menghidupkan” rekonstruksi sejarahnya. Me seorang sejarawan akan dapat
merangkai hubungan antar pelaku sejarah dengan lingkungan sosial, budaya,
bahkan lingkungan alam. Melalui imajinasi pula sejarawan dapat menempatkan para
pelaku sejarah pada panggung depan, tengah, atau belakang dalam sebuah
peristiwa sejarah.
Selain imajinasi, sejarah juga memerlukan
sejarah sehingga karya sejarah tidak lagi membosankan. Namun demikian banyak
yang berpendapat bahwa apabila sejarah ditulis dengan gaya novel maka akan
kehilangan obyektivitasnya. Karya sejarah dengan pelibatan emosi banyak
dihasilkan sejarawan Eropa terutama kajian jaman Romantik (abad 18-19).
Penaklukan benua baru Amerika terutama pertempuran orang kulit putih dengan
orang Indian banyak disajikan dengan model penulisan yang
“melibatkan”-olahpembacahadirpadakejadiansehingg tersebut. Kajian sejarah
budaya tepat apabila disajikan dengan gaya demikian, karena kita dapat
“merasakan” dan dapat “menjadi bagia dengan emosi tersebut terutama penting
untuk keperluan pewarisan nilai. Tentu saja kaidah ilmiah sejarah yang menuntut
rekonstruksi berdasar atas sumber tidak boleh ditinggalkan.
3.
Guna Sejarah
Apakah sejarah berguna? Pertanyaan ini sering dilontarkan
terutama oleh para siswa di kelas yang berpendapat sejarah tidak berguna karena
tidak berhubungan dengan kehidupan mereka sekarang. Pendapat itu tidak salah.
Namun demikian ada suatu realita yaitu banyaknya buku sejarah di toko buku,
film sejarah yang dibuat baik untuk alasan komersiil maupun documenter.
Akhir-akhir ini dunia pariwisata dimarakkan dengan wisata sejarah yaitu wisata
dengan mengunjungi tempat yang menjadi ikon atas suatu peristiwa atau
peradaban. Contoh wisata perkebunan kopi yang banyak ditawarkan oleh PT
Perkebunan. Wisata itu tidak hanya mengunjungi perkebunan kopi tetapi juga akan
menelusuri industry kopi Indonesia yang sudah dimulai sejak era colonial
Belanda. Pengunjung akan diajak melihat mesin pengolah kopi dari masa perkebunan
masih dikuasai pengusaha Belanda, bahkan ada pula mesin dari masa colonial yang
masih dipakai hingga sekarang. Dengan demikian kita mengetahui bahwa tehnologi
pengolahan kopi yang kita kenal sekarang diperkenalkan oleh Belanda pada era
1900-an. Itulah guna sejarah, salah satunya adalah untuk mengetahui dari mana
suatu hal itu berasal atau dimulai.
Dalam hal guna, sejarah memiliki dua guna
yaitu guna intrinsic dan ekstrinsik. Guna intrinsic adalah sejarah sebagai
ilmu, sejarah untuk mengetahui masa lalu, sejarah sebagai pernyataan dan
sejarah sebagai profesi; sedangkan guna ekstrinsik adalah sejarah sebagai pendidikan.
Guna ekstrinsik sejarah sangat jelas tertuang dalam kurikulum mata pelajaran
sejarah sejak tingkat SD sampai SLTA. Bahkan pada masa Orde Baru masih
ditambahkan dengan penataran P4 yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru
di universitas baik negri maupun swasta, dan pegawai negri. Dalam hal demikian
sejarah dipakai sebagai media penanaman pendidikan moral dan politik.
Salah satu guna sejarah yang jarang
dieksplorasi adalah sejarah sebagai pendidikan masa depan. Di Negara-negara
maju seperti Amerika, Jepang, Cina, Inggris dan Eropa History of Future
diajarkan di perguruan tinggi dan menjadi kajian penting. Keberadaan kajian
sejarah masa mendatang dirasa penting demi kelangsungan peradaban dan bangsa.
Kesadaran akan pentingnya sejarah telah membawa Negara-negara besar bertahan
bahkan cenderung menjadi penentu dalam percaturan global. Pengalaman masa lalu
dijadikan acuan untuk merancang masa depan yang lebih baik bagi umat manusia.
Sejarah masa depan juga dipakai sebagai sarana untuk me selain berhubungan dengan
eksplorasi semesta juga dipakai sebagai wahana supremasi Amerika dalam bidang
tehnologi kedirgantaraan. Keberadaan mobil listrik di Eropa selain factor
kebersihan dan kesehatan lingkungan juga sebagai wahana supremasi Eropa sebagai
bangsa yang mendorong perubahan seperti yang telah dilakukan pada masa lalu
(renaissance, merkantilisme, imperialism, kolonialisme dll).
4.
Pendekatan Sejarah
Pada tahun 1958 berlangsung Kongres Sejarah di
Yogyakarta. Kongres ini bertujuan menulis sejarah Indonesia melalui sudut
pandang Indonesia dengan pendekatan baru. Pandangan baru yang dimaksud adalah
karya sejarah yang lebih menonjolkan peran orang kebanyakan dibanding berfokus
pada orang-orang besar. Juga untuk mengganti sudut pandang sejarah Indonesia
dari Nederlando centris kepada Indonesia centris. Sejarah Indonesia yang
ada adalah “pembalikan”
dari sejarah Netherland-Indie).
Apabila dalam sejarah Hindia Belanda Diponegoro adalah penjahat maka dalam
versi sejarah Indonesia era !950-an Diponegoro adalah pahlawan dan VOC-Belanda
penjahatnya. Pembalikan tanpa control dan analisa mebuat sudut pandang tulisan
menjadi satu arah. Perubahan sosial dan budaya masyarakat kebanyakan tidak
terekam dan “tersisih” dari sejarah.
Karena itu dalam Kongres tersebut Sartono
Kartodirjo sejarawan dari UGM mengusulkan penggunaan pendekatan ilmu-ilmu
sosial untuk penulisan sejarah Indonesia agar lebih bisa menunjukkan kejadian yang mendekati kenyataan pada
jamannya. Pendekatan ilmu sosial akan menawarkan dimensi baru yang dilewatkan
oleh sejarah konvensional. Dengan penggunaan pendekatan ilmu sosial
kelompok-kelompok marginal seperti buruh, petani, masyarakat desa, pedagang,
mahasiswa/pelajar sampai bencana alam dan lingkungan akan menjadi perhatian dan
dapat muncul pada panggung sejarah Indonesia.
Pemakaian pendekatan sosioligis dalam sejarah akan mengungkap segi-segi
sosial dari peristiwa yang dikaji. Dalam kajian itu akan dieksplorasi hubungan
sosial antar kelas dalam masyarakat, peran dan status, konflik-konflik sosial
dan lain-lain. Secara metodologis pemakaian sosiologi untuk mengkaji sejarah
bertujuan memahami subyektifitas perilaku sosial, memahami motivasi dan
tindakan individu dalam peristiwa kolektif. Dalam hal ini teori sosial akan
membimbing sejarawan mengidentifikasi factor-faktor yang menyebabkan suatu
peristiwa terjadi. Contoh historiografi dengan pendekatan sosiologi adalah
Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo.
Pendekatan antropologi juga dapat dipakai sebagai alternative lain untuk
mengungkap sisi lain sejarah Indonesia. Dalam beberapa hal hamper tidak
perbedaan pendekatan antropologi dengan pendekatan sosiologi, karena keduanya
sama-sama mempelajari masyarakat terutama bentuk sosial dan strukturnya. Namun
demkian yang membedakan dengan sosiologi adalah obyek kajian. Pendekatan
antropologi dipakai untuk mengkaji masalah-masalah budaya. Dalam menjelaskan
perubahan masyarakat dalam waktu otomatis kita juga akan menggambarkan
kehidupan budaya dan perubahan yang terjadi dalam kurun waktu sejarah tersebut.
Dengan penelusuran budaya suatu kelompok masyarakat kita akan mengetahui gerak
perubahan yang terjadi.
Ada empat metode antropologi yang dapat
dipakai dalam rekonstruksi sejarah. Pertama metode asimilasi yaitu menjelaskan
bagaimana proses saling menghisap unsure-unsur budaya dalam kontak budaya.
Kedua metode fungsional menjelaskan bagaimana suatu kebudayaan pada suatu
entitas masyarakat di wilayah tertentu secara lengkap dan sistematis. Ketiga
metode fungsional dalam analisa tentang mitologi mempelajari ide, pemikiran,
pandangan hidup yang menjadi sumber motivasi bagi kegiatan fisik dan spiritual
masyarakat pemilik mitologi tersebut. Metode silsilah digunakan untuk
mengumpulkan terminology kekerabatan pada bahasa tertentu untuk menganalisa
system kekerabatan. Metode ini juga dapat dipakai untuk mengumpulkan data
tentang segala hal yang berada di sekitar individu,
bahkan dapat dipakai untuk menyusun kembali ejarah suatu kelompok masyarakat.
Pendekatan paling tua dalam penulisan sejarah adalah pendekatan politik.
Historiografi dengan pendekatan politik sering disebut dengan sejarah
konvensional sehingga sejarah identik dengan politik. Namun demikian apabila
kita merujuk pada konsep politik modern maka penulisan sejarah dengan
pendekatan politik tidak akan terjebak seperti karya sejarah politik
konvensional. Apabila konsep politik diartikan sebagai distribusi kekuasaan
maka maka kita akan bertemu dengan hakekat dan tujuan system politik, hubungan
structural dalam system itu, pola perilaku individu dan kelompok dalam system,
hokum dan kebijakan sosial, partai politik, kelompok kepentingan, komunikasi
dan pendapat umum serta birokrasi dan administrasi. Dengan demikian sejarah
dengan pendekatan politik tidak lagi berisi sejarah tokoh-tokoh besar.
Pendekatan ilmu lain yang dapat dipakai untuk merekonstruksi sejarah tidak
terbatas pada ketiga pendekatan itu, tetapi masih banyak seperti ekonomi,
geografi, ekologi, gender, feminism bahkan semiotic. Penggunaan beragam
pendekatan untuk merekonstruksi sejarah akan memunculkan nua dan tentu saja
akan menjadikan karya sejarah menarik, karena akan mengungkap sisi yang selama
ini tidak dianggap sebagai kajian sejarah. Contoh Kebudayaan Indies karya
Sapardi Djoko D menceritakan tentang akulturasi budaya Eropa-Indonesia dalam
beragam hal mulai dari pakaian sampai arsitektur. Denys Lombart dengan karyanya
Persekutuan Aneh memaparkan tentang kehidupan perempuan Tionghoa yang
menjadi “istri” orang Batavia pada abad 16-17, bagaimana mereka
menciptakan identitas baru karena secara sosial telah “dibuang” oleh
masyarakatnya. menjadi ikon Jakarta yang selalu dikenakan none-none Betawi
yaitu baju kebaya encim.
KEPUSTAKAAN
Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu
Burke, Peter. 2001. Sejarah dan Teori Ilmu Sosial. Jakarta: YOI
Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi
Sejarah. Jakarta: Gramedia
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang
Langganan:
Postingan (Atom)