KAREKU KANDEI
Budaya ini biasanya dilakukan pada saat mbaju ro
ndoso (menumbuk padi) pada persiapan awal hajatan (perkawinan, do’a selamatan,
do’a khitanan). Kareku kandei dilakukan oleh gadis-gadis/ibu-ibu. Dalam bahsa Bima
kandei adalah tempat untuk mbaju (menumbuk) padi yang berbentuk balok segi
empat yang di pahat/dilobangi sedalam ±30 cm, panjang ±150 cm dan lebar ±40 cm.
kandei dilengkapi dengan aru (alu) yang terbuat dari o’o (bambu) panjang dua
meter. Kareku kandei dilakukan oleh 3-5 orang dengan irama yang berbeda seperti
pukulan satu, dua, tiga dan nggobe. Nggobe adalah perpaduan pukulan satu, dua
dan tiga, sehingga terdengarlah irama yang indah dan memiliki nilai seni.
Disaat-saat menumbuk padi (mbaju) di selingi dengan
kareku kandei, dengan tujuan untuk memberitahukan seluruh masyarakat Rupe bahwa
pada hari itulah di mulainya atau dilaksanakan acara mbaju ro ndoso atas adanya
suatu hajatan di Desa Rupe. Kareku kandei masih membudaya sampai sekarang.
Disamping itu ada pula alat lain yaitu nocu dan aru
(lesung dan alu) yang terbuat dari kayu. Nocu tersebut merupakan tempat
menumbuk padi (mbaju) yang kedua (ntomu) setelah ntomo yang dilaksanakan di
kandei. Nocu tinggi ±70 cm, lingkaran lobang penampung padi (asa nocu) ±40 cm.
aru (alu) harus terbuat dari kayu luhu (haju doro) dengan panjang ±130 cm.
Setelah padi ditumbuk (ntomu dan ndondo) pada kandei dan nocu, akan di tampi
(mbedi) atau di bersihkan dengan menggunakan doku (nyiru) untuk memisahkan biji
padi (
) dengan saroe (sekam) lalu
bagi yang belum
menjadi bongi akan ditumbuk kembali sampai semuanya selesai menjadi bongi
(beras) semua.
Proses membersihkan padi yang ditumbuk tadi diawali
dengan;
> Mbedi yaitu mebersihkan
dari hasil tumbuk
> Nelo/soro yaitu untuk
memisahkan biji padi (bongi) atau beras yang masih berkulit
> Katempa yaitu
pemindahan bongi (beras) dengan madana (padi sisa yang belum terkupas kulitnya)
> Kabara yaitu proses terakhir membersihkan beras
dari madana (sisa yang belum terkupas kulitnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar