Berbicara tentang Politik Pemerintahan Kerajaan Bima Abad VIII-XVI
tentulah memiliki keterkaitan dengan perkembangan agama pada masa sebelum
Islam di Dana Mbojo (Bima), Pada hakikatnya perkembangan Agama di Bima sebenarnya
sama dengan perjalanan sejarah perkembangan agama di daerah-daerah lain di
wilayah Nusantara. Pada tahap-tahap awal perkembangan Agama dan kepercayaan
Masyarakat Bima yaitu pada masa Naka dan masa Ncuhi, yakni lahir beberapa jenis
agama yang berdasarkan pikiran serta hayalan manusia (agama budaya), bukan
agama wahyu (Agama Samawi) seperti Islam. Agama budaya ini tumbuh dan
berkembang ketika masyarakat masih berada dalam tingkat kehidupan yang masih
sangat sederhana, dengan kata lain masih primitif. Karena itu agama-agama
budaya hasil pikiran serta hayalan mereka disebut agama masyarakat primitif,
yang meliputi dinamisme, animisme dan politeisme. (Nasution, H. 1974)
Agama-agama budaya itu oleh
masyarakat Mbojo dikenal dengan istilah “makamba” (dinamisme), “makimbi”
(animisme) dan Hindu (politeisme). Sementara politik pemerintahan yang ada,
Dari informasi sejarah, dapat diketahui bahwa di Bima telah berlaku berbagai
sistem politik pemerintahan, yang sesuai dengan keadaan zaman.
1
|
“..............yang
diangkat menjadi Naka bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang tokoh yang
benar-benar faham tentang adat istiadat dan memiliki kekuatan gaib menurut
agama Makamba dan Makimbi (Animisme dan Dinamisme). Dengan kata lain, Naka
harus memiliki kemampuan dibidang agama dan memiliki pengetahuan yang luas.” (Priyo Utomo, 1953, hal 13)
Selain tipe kepemimpinan, pola
kepemimpinan menjadi bagian integral dalam menata suatu pemerintahan yang baik.
Walau bentuk pemerintahan itu dalam cakupan yang luas maupun dalam cakupan
terkecil sekalipun. Keberadaan seorang Naka, Ncuhi serta Raja sangat diharapkan
demi terciptanya roda pemerintahan yang kondusif serta aman baik dari ancaman
yang datangnya dari dalam maupun ancaman-ancaman dari pihak luar/asing.
Pelaksanaan roda pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang ditelorkan harus
senantiasa dapat menjamin kesejahteraan Masyarakat.
Olehnya demikian peranan Ncuhi
dibidang politik pemerintahan terus berlanjut pada masa kerajaan bahkan sampai
pada masa Kesultanan. Mereka berperan sebagai penasihat Raja/Sultan dan sering
diangkat sebagai Gelarang (Kepala Desa), khusus Ncuhi Dara akan diangkat
menjadi Gelarang Rasana’e yang berada di pusat pemerintahan kerajaan dan
kesultanan. Tugas lain dari Ncuhi dara
adalah melantik Raja / Sultan disamping Ncuhi Parewa, Dorowuni, Banggapupa, dan
Bolo. (Tajib, A. 1995, hal 35).
Raja Pertama Kerajaan Bima adalah
Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga
sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai
hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti
Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta
masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai
tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga.
Raja ini banyak mengirim keluar
saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya
adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang
dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak
perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata
pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta
pertukangan dan sebagainya.
Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a
Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada
sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan
jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan
penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas
sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana
menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli
Nggampo (Perdana Menteri).
Pada Puncak Kejayaan Kerajaan Bima,
Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu
oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta,
Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar
Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana).
Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan
Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi
suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
Titik Kemunduran Kerajaan Bima (Masa
Peralihan) dimulai dari lahirnya rasa ingin menguasai tahta oleh seorang
Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh
saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang
merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus
sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek
(kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan
wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan
keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan
ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka.
Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh
Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda)
putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke
yang dibakar di Mpori Wera.
Meski demikian, Salisi masih belum
aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih
ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan
masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La
Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama
Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang
menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai
Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah.
Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan
diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya
masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana
sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah
Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape
dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah
Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam
perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka
Salisi dapat dihancurkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar