Sabtu, 21 April 2012

Politik Pemerintahan Kerajaan Bima Abad VIII-XVI


Berbicara tentang Politik Pemerintahan Kerajaan Bima Abad VIII-XVI tentulah  memiliki keterkaitan dengan perkembangan agama pada masa sebelum Islam di Dana Mbojo (Bima), Pada hakikatnya perkembangan Agama di Bima sebenarnya sama dengan perjalanan sejarah perkembangan agama di daerah-daerah lain di wilayah Nusantara. Pada tahap-tahap awal perkembangan Agama dan kepercayaan Masyarakat Bima yaitu pada masa Naka dan masa Ncuhi, yakni lahir beberapa jenis agama yang berdasarkan pikiran serta hayalan manusia (agama budaya), bukan agama wahyu (Agama Samawi) seperti Islam. Agama budaya ini tumbuh dan berkembang ketika masyarakat masih berada dalam tingkat kehidupan yang masih sangat sederhana, dengan kata lain masih primitif. Karena itu agama-agama budaya hasil pikiran serta hayalan mereka disebut agama masyarakat primitif, yang meliputi dinamisme, animisme dan politeisme. (Nasution, H. 1974)
Agama-agama budaya itu oleh masyarakat Mbojo dikenal dengan istilah “makamba” (dinamisme), “makimbi” (animisme) dan Hindu (politeisme). Sementara politik pemerintahan yang ada, Dari informasi sejarah, dapat diketahui bahwa di Bima telah berlaku berbagai sistem politik pemerintahan, yang sesuai dengan keadaan zaman.
1
Selain masalah Agama dan kepercayaan Masyarakat Bima Pra Islam, dalam penelitian inipun diupayakan untuk mendapatkan suatu masukan yang berarti dalam mengetahui tentang tatanan politik pemerintahan di Bima dari masa naka sampai masa kerajaan. Sebagaimana diketahui ciri seorang pemimpin yang dipilih untuk menjadi panutan atau contoh tauladan bukanlah diambil dari orang biasa melainkan orang-orang yang memiliki kemampuan yang “luarbiasa” yang dianggap cukup mampu untuk menjaga dan melindungi masyarakat yang dipimpinnya selain daripada menjadi panutan dan contoh sebagaimana diuraikan sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Priyo Utomo (1953:13) tentang tipe kepemimpinan pada zaman Naka sebagai berikut :
“..............yang diangkat menjadi Naka bukanlah orang sembarangan, melainkan seorang tokoh yang benar-benar faham tentang adat istiadat dan memiliki kekuatan gaib menurut agama Makamba dan Makimbi (Animisme dan Dinamisme). Dengan kata lain, Naka harus memiliki kemampuan dibidang agama dan memiliki pengetahuan yang luas.” (Priyo Utomo, 1953, hal 13)

Selain tipe kepemimpinan, pola kepemimpinan menjadi bagian integral dalam menata suatu pemerintahan yang baik. Walau bentuk pemerintahan itu dalam cakupan yang luas maupun dalam cakupan terkecil sekalipun. Keberadaan seorang Naka, Ncuhi serta Raja sangat diharapkan demi terciptanya roda pemerintahan yang kondusif serta aman baik dari ancaman yang datangnya dari dalam maupun ancaman-ancaman dari pihak luar/asing. Pelaksanaan roda pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang ditelorkan harus senantiasa dapat menjamin kesejahteraan Masyarakat.
Olehnya demikian peranan Ncuhi dibidang politik pemerintahan terus berlanjut pada masa kerajaan bahkan sampai pada masa Kesultanan. Mereka berperan sebagai penasihat Raja/Sultan dan sering diangkat sebagai Gelarang (Kepala Desa), khusus Ncuhi Dara akan diangkat menjadi Gelarang Rasana’e yang berada di pusat pemerintahan kerajaan dan kesultanan. Tugas lain  dari Ncuhi dara adalah melantik Raja / Sultan disamping Ncuhi Parewa, Dorowuni, Banggapupa, dan Bolo. (Tajib, A. 1995, hal 35).
Raja Pertama Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga.
Raja ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan dan sebagainya.
Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri).
Pada Puncak Kejayaan Kerajaan Bima, Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
Titik Kemunduran Kerajaan Bima (Masa Peralihan) dimulai dari lahirnya rasa ingin menguasai tahta oleh seorang Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek (kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka. Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera.
Meski demikian, Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah.
Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka Salisi dapat dihancurkan.

Tidak ada komentar: