Selasa, 17 April 2012

KEBIJAKAN EKONOMI INDONESIA DITINJAU DARI KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM



17
 
Oleh: Yulia Hafizah*
                                                     Alumni Pascasarjana Program Studi Ekonomi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya

Abstract


This paper aims to picture the Indonesia economy policy in perspective of Islamic economy concept. First, the writer describe historically the relation between economy and politic which then present the world economy systems. In Indonesia context, the system of economy which formulated was different with the other world economy system such as liberalism and mercantilism. The system economy of Indonesia, known as the Pancasila economy system stand between both of them. According to the writer, the Indonesia economy system has the same goal with the basic concept of Islamic economy that to create the social justice. The problem is that the basic concept of Indonesia economy often had the multi-faces when implementated in the reality.

A. Pendahuluan

Sejak dahulu sampai sekarang, praktek politik tidak bisa dilepaskan begitu saja dengan ekonomi. Kehidupan politik dan kehidupan ekonomi selalu saling bertemu, saling mempengaruhi dan jalin menjalin. Aktivitas-aktivitas politik karena itu amat sulit dipisahkan dari aktivitas-aktivitas ekonomi.

Dalam setiap tindakan politik ada aspek ekonominya, demikian pula struktur perekonomian suatu masyarakat dapat mempengaruhi lembaga-lembaga politik, baik yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Joseph Crosey yang mengadakan penyelidikan khusus dan mendalam tentang hubungan ilmu politik dan ekonomi, seperti yang dikutip oleh Isjwara mengatakan: That politics and economic life have much to do with each other as remark matched in self evidence only by the parallel observation that politic science and economics are of mutual interest.1

Orang-orang Yunani menciptakan istilah “oikonomos” yang berarti urusan rumah tangga, sejak itu pula kehidupan politik tidak terlepas darinya. Namun istilah tersebut tidak hanya dipergunakan dalam arti yang sempit—mengenai pengelolaan rumah tangga saja—tetapi juga dipergunakan dalam arti luas, menyangkut pengelolaan negara kota. Karena negara kota itu disebut dengan negara polis, maka istilah political economy sudah digunakan.2  Istilah tersebut mengandung pengertian bahwa dalam sebuah masyarakat ekonomi, keterlibatan pemerintah di dalamnya memang tidak dapat dinafikan.

 

B. Sekitar Kebijakan Ekonomi

Sampai abad ke-17 M., keterlibatan pemerintah dalam bidang perekonomian dapat ditelusuri dari adanya usaha negara Spanyol dalam membiayai penjelajahan Columbus untuk menemukan jalan terpendek dari Eropa ke India. Berhasilnya penemuan tersebut mengakibatkan dorongan yang luar biasa kepada negara-negara Eropa untuk berlomba-lomba mengejar kekayaan—salah satunya dengan menjajah negara-negara di Asia yang mereka temukan. Dari sini kemudian berkembang sebuah aliran atau paham ekonomi Merkantilis (negara merupakan faktor positif “pemimpin” dalam perekonomian).3

 Politik perekonomian merkantilisme sebagai aliran perekonomian bertujuan untuk memperkuat negara dengan jalan akumulasi kekayaan atau kapital, karena itu pembangunan ekonomi harus diprioritaskan. Kalau upaya akumulasi itu tidak cukup dilakukan di dalam negeri, perdagangan internasional harus digalakkan sebagai sarana perjuangan  mencapai kepentingan  nasional, yaitu akumulasi kapital. Demi memperoleh surplus sebanyak mungkin   dari perdagangan internasional dalam lingkungan yang penuh konflik, pemerintah dalam masing-masing negara harus mengembangkan kebijaksanaan “nasionalis-ekonomi  yaitu dengan: pertama, menerapkan pengendalian harga dan upah buruh sehingga barang yang dihasilkan bisa dijual dengan harga yang bersaing di pasar internasional; kedua, menerapkan strategi industrialiasi substitusi impor; ketiga, menggalakkan  ekspor barang manufaktur dan membatasi impor hanya untuk komoditi pasar.4

Dalam abad ke-18, lahirlah di Eropa stelsel perekonomian baru yang didasarkan atas ajaran Quesnay di Perancis dengan aliran phisiokratnya dan Adam Smith di Inggris dengan aliran klasiknya yang membuka aliran perekonomian liberal. Stelsel perekonomian ini berbeda sekali dengan stelsel perekonomian merkantilisme. Jika dalam stelsel perekonomian merkantilisime negara memainkan peran positif dalam bidang perekonomian dan secara langsung turut campur tangan dalam jalannya perekonomian, maka sebaliknya aliran liberalisme justru tidak menghendaki campur tangan negara dalam bidang ini. Negara harus membiarkan individu masing-masing mencari kesejahteraannya, berusaha dan berekonomi dengan sebebas-bebasnya dalam ekonomi domestik maupun internasional. Dengan kata lain mereka menganjurkan pasar bebas.5

 memang tepat digunakan karena sebutan tersebut mengandung makna menyamakan kebijakan suatu bangsa atau negara dengan kebijakan seorang pedagang yang berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar saat menjual dibandingkan dengan apa yang dikeluarkan saat membeli. Seperti layaknya pedagang, bangsa yang merkantilis msemandang bangsa lain sebagai saingannya dengan cara monopoli dan lain-lain. Demikian pula halnya mereka memperlakukan negara-negara jajahannya, menguras sumber-sumber daya yang murah dan mengupahnya dengan upah yang rendah. Lihat Ibid., hal. 33.

 

 

Selanjutnya, pada akhir Perang Dunia I di Inggris dikemukakan ide-ide tentang “Negara kesejahteraan” (welfare state), antara lain oleh pelopor-pelopor “Fabian Society”,6   sebagai akibat dari tidak terjadinya keseimbangan dalam pemenuhan lapangan pekerjaan (full employment) dari politik ekonomi liberalis. Pada waktu itu walaupun pasar telah mencapai keseimbangan makro ekonomi, namun di sisi lain telah banyak menimbulkan dampak pengangguran dan hal ini merupakan sumber kemiskinan. Dalam situasi tersebut, penciptaan lapangan pekerjaan tidak bisa dilakukan lagi oleh pasar. Karena itu negara harus turun tangan untuk melakukan investasi, bahkan investasi-investasi besar untuk menciptakan proyek berskala besar guna menciptakan kesempatan kerja. Dengan investasi tersebut, mekanisme pasar kembali pulih.7

Dalam suatu negara kesejahteraan, negara mempunyai tugas politik dalam semua sektor kehidupan, terutama dalam sektor perekonomian. Tugas negara dalam menciptakan kesejahteraan tidak terbatas pada suatu golongan tertentu dalam masyarakat, tetapi adalah untuk semua warganegara dan tidak pula untuk suatu waktu dalam kehidupan individu, dimulai dari dilahirkan sampai meninggal. Negara harus memperhatikan kesejahteraan individu dan masyarakat tersebut dan inilah yang dinamakan universalisme negara kesejahteraan. Seiring dengan lahirnya konsepsi negara kesejahteraan ini, timbul pula apa yang dinamakan “konsepsi ekonomi kesejahteraan yang memberikan dasar-dasar teoritis ekonomis kepada konsepsi negara kesejahteraan itu.8

Dari sini kita kembali melihat, bahwa negara memainkan peranan positif dan konstruktif dalam semua bidang, terutama dalam sektor perekonomian. Campur tangan negara dalam sektor perekonomian yang vital dapat dipandang sebagai salah satu ciri dari perekonomian abad kedua puluh satu ini.

 

C. Kebijakan Dasar Ekonomi Indonesia

Di Indonesia, keterlibatan negara bidang ekonomi bisa dilihat dari politik “ekonomi terpimpin yang dijalankan. Landasan konseptual bagi ekonomi terpimpin ini tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 1, 2, 3, dan 4 yang menyatakan bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan” (ayat

1). “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (ayat 2). “Bumi dan air dan kekayaan

 

 

Tidak ada komentar: