Sabtu, 11 Juni 2011

PENDEKATAN DALAM ILMU SEJARAH

Pendekatan sejarah menjelaskan dari segi mana kajian sejarah hendak dilakukan, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana yang diungkapkannya, dan lain sebagainya. Deskripsi dan rekonstruksi yang diperoleh akan banyak ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipergunakan. Oleh sebab itu ilmu sejarah tidak segan-segan melintasi serta menggunakan berbagai bidang disiplin atau ilmu untuk menunjang studi dan penelitiannya, yang di dalam ilmu sejarah sudah sejak awal telah dikenalnya dan disebut sebagai Ilmu-ilmu Bantu Sejarah (Sciences Auxiliary to History).
A. Pendekatan Manusia
Penelitian sejarah selalu berarti penelitian tentang sejarah manusia. Fungsi dan tugas penelitian sejarah ialah untuk merekonstruksi sejarah masa lampau manusia (the human past) sebagaimana adanya (as it was).Harus disadari sepenuhnya bahwa betapapun cermatnya suatu penelitian sejarah, dengan tugas rekonstruksi semacam itu seorang sejarawan akan masih tetap menghadapi sejumlah problem yang tidak mudah. Dengan memberikan aksentuasi ”sejarah manusia” untuk mengingatkan bahwa penelitian dan rekonstruksi sejarah hendaknya lebih berperspektif pada konsep manusia seutuhnya. Manusia adalah makhluk rohani dan jasmani. Rohani dengan manifestasinya dalam bentuk akal, rasa, dan kehendak, yang menjadi sumber eksistensi kemanusiaannya, namun eksistensi hanya nyata dalam realitas di dalam alam jasmani. Perkembangan rohani manusia menjadi nampak dalam wadah agama, kebudayaan, peradaban, ilmu pengetahuan, seni dan teknologi. Manusia juga beraspek individu sekaligus sosial, unik (partikular) sekaligus umum (general). Keduanya sekaligus merupakan keutuhan (integritas), kesatuan (entitas), dan keseluruhan (totalitas). Rekonstruksi sejarah pun hendaknya utuh dan menyeluruh.
B. Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial
Melalui pendekatan ilmu-ilmu sosial dimungkinkan ilmu sejarah memperoleh pemahaman yang lebih utuh mengenai makna-makna peristiwa sejarah. Thomas C. Cochran, misalnya, telah menerapkan konsep peranan sosial (social role) dalam melaksanakan eksplorasi dan eksplanasi mengenai berbagai sikap, motivasi serta peranan tokoh masyarakat Amerika pada Abad XIX. Konsep mobilitas sosial (social mobility) telah membuktikan sangat berguna dalam studi berbagai segi masyarakat masa lampau.
1. Pendekatan Sosiologi
Pendekatan sosiologi dalam ilmu sejarah, menurut Max Weber, dimaksudkan sebagai upaya pemahanan interpretatif dalam kerangka memberikan penjelasan (eksplanasi) kausal terhadap perilaku-perilaku sosial dalam sejarah. Sejauh ini perilaku-perilaku sosial tersebut lebih dilekatkan pada makna subjektif dari seorang individu (pemimpin atau tokoh), dan bukannya perilaku massa.
Pendekatan sosiologi dalam ilmu sejarah menghasilkan sejarah sosial. Bidang garapannya pun sangat luas dan beraneka ragam. Kebanyakan sejarah sosial berkaitan erat dengan sejarah sosial-ekonomi. Tulisan Marc Bloch mengenai French Rural History, Sartono Kartodirdjo tentang Peasants’ Revolt of Banten. Kelas sosial, terutama kaum buruh, menjadi bidang garapan juga bagi sejarah sosial di Inggris. Demikian pula proses transformasi sosial dengan berkembangnya pembagian kerja sosial yang kian rumit dan diferensiasi sosial yang menjadi sangat bervariasi dan terbentuknya aneka ragam institusi sosial juga tidak pernah luput dari pengamatan sejarwan sosial. Tema-tema seperti : kemiskinan, perbanditan, kekerasan dan, kriminalitas dapat menjadi bahan tulisan sejarah sosial. Di pihak lain seperti kesalehan, kekesatriaan, pertumbuhan penduduk, migrasi, urbanisasi, transportsasi, kesejahteraan, dan lain-lain telah banyak dikaji dan semakin menarik minat para peneliti sejarah (Kuntowijoyo, 1993 : 42-43).
2. Pendekatan Antropologi
Pendekatan antropologi mengungkapkan nilai-nilai, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan dan pola hidup, yang mendasari perilaku tokoh sejarah (Sartono Kartodirdjo, 1992 : 4). Antropologi dan sejarah pada hakikatnya memiliki objek kajian yang sama, ialah manusia dan pelbagai dimensi kehidupannya. Hanya bedanya sejarah lebih membatasi diri kajiannya pada peristiwa-peristiwa masa lampau, sedang antropologi lebih tertuju pada unsur-unsur kebudayaannya. Kedua disiplin ilmu itu dapat dikatakan hampir tumpang tindih, sehingga seorang antropolog terkemuka, Evans-Pritchard, menyatakan bahwa ”Antropologi adalah Sejarah”. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Arnold J. Toynbee (1889-1975) yang menyatakan bahwa tugas seorang sejarawan tidak jauh berbeda dari seorang antropolog, ialah melalui studi komparasi berusaha mempelajari siklus kehidupan masyarakat, kemudian dari masing-masing kebudayaan dan peradaban mereka ditarik sifat-sifatnya yang universal (umum).
Fakta yang dikaji dari kedua disiplin ilmu, antropologi dan sejarah, adalah sama pula. Terdapat tiga jenis fakta, ialah : artifact, socifact, dan mentifact. Fakta menunjuk kepada kejadian atau peristiwa sejarah. Sebagai suatu konstruk, fakta sejarah pada dasarnya sebagai hasil strukturisasi seseorang terhadap suatu peristiwa sejarah. Maka artifact sebagai benda fisik adalah konkret dan merupakan hasil buatan. Sebagai proses artifact menunjuk hasil proses pembuatan yang telah terjadi di masa lampau. Analog dengan hal itu maka socifact menunjuk kepada peristiwa sosial yang telah mengkristalisasi dalam pranata, lembaga, organisasi dan lain sebagainya. Sedang mentifact menunjuk kepada produk ide dan pikiran manusia. Ketiganya, artifact, socifact, dan mentifact, adalah produk masa lampau atau sejarah, dan hanya dapat dipahami oleh keduanya, antropologi dan sejarah, dengan melacak proses perkembangannya melalui sejarah. Studi ini jelas menunjukkan titik temu dan titik konvergensi pendekatan antropologi dan pendekatan sejarah .
Secara metodologis pendekatan antropologi memperluas jangkauan kajian sejarah yang mencakup (Sartono Kartodirdjo, 1992 : 156) :
1). kehidupan masyarakat secara komprehensif dengan mencakup pelbagai dimensi kehidupan sebagai totalitas sejarah; 2) . aspek-aspek kehidupan (ekonomi, sosial, politik) dengan mencakup nilai-nilai yang menjadi landasan aspek-aspek kehidupan tersebut; 3) . golongan-golongan sosial beserta subkulturnya yang merupakan satu identitas kelompoknya; 4) . sejarah kesenian dalam pelbagai aspek dan dimensinya, serta melacak ikatan kebudayaan sosialnya; 5) . sejarah unsur-unsur kebudayaan : sastra, senitari, senirupa, arsitektur, dan lain sebagainya; 6). pelbagai gaya hidup, antara lain : jenis makanan, mode pakaian, permainan, hiburan, etos kerja, dan lain sebagainya.
Pendek kata segala bidang kegiatan manusia dapat dicakup dalam sejarah kebudayaan. Dalam sejarah kebudayaan dimensi politik tidak termasuk di dalamnya, meskipun menurut definisi yang luas kehidupan politik pun termasuk dalam kebudayaan.
3. Pendekatan Ilmu Politik
Pengertian politik dapat bermacam-macam sesuai dari sudut mana memandangnya. Namun pada umumnya definisi politik menyangkut kegiatan yang berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Fokus perhatian ilmu politik, karenanya, lebih tertuju pada gejala-gejala masyarakat seperti pengaruh dan kekuasaan, kepentingan dan partai politik, keputusan dan kebijakan, konflik dan konsesnsus, rekrutmen dan perilaku kepemimpinan, masa dan pemilih, budaya politik, sosialisasi politik, masa dan pemilih, dan lain sebagainya. Apabila politik diartikan sebagai polity (kebijakan), maka definisi politik lebih dikaitkan dengan pola distribusi kekuasaan. Jelas pula bahwa pola pembagian kekuasaan akan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sosial, ekonomi, dan kultural. Posisi sosial, status ekonomi, dan otoritas kepemimpinan sesorang dapat memberi peluang untuk memperoleh kekuasaan.
Otoritas kepemimpinan senantiasa menjadi faktor kunci dalam proses politik. Max Weber membedakan tiga jenis otoritas : (1) Otoritas karismatik, yakni berdasarkan pengaruh dan kewibawaan pribadi; (2) Otoritas tradisional, yakni berdasarkan pewarisan; dan (3) Otoritas legal-rasional, yakni berdasarkan jabatan serta kemampuannya.
Semula politik menjadi tulang punggung sejarah. Politics is the backbone of history. Pernyataan ini menunjukkan peranan politik dalam penulisan sejarah pada masa lampau. . Pada saat sekarang sejarah politik nampak masih menonjol, namun tidak sedominan seperti dahulu. Maka ungkapannya pun bergeser menjadi ”History is past politics, politics is present history.” Sejarah adalah politik masa lalu, politik adalah sejarah masa kini.
Pendekatan politik dalam penulisan sejarah menghasilkan sejarah politik. Sejarah politik dapat menggunakan berbagai pendekatan sesuai dengan topik yang dipilih. Setidaknya terdapat 8 (delapan) macam pendekatan, meskipun antara pendekatan yang satu dengan lainnya sering saling tumpang-tidih (Kuntowijoyo, 1993 : 177-182) . Ialah :
a). Sejarah intelektual : Aspirasi pokok sejarah intelektual ialah adanya Zeitgeist (jiwa zaman) dan pandangan sejarah idealistik yang berpendapat bahwa pikiran-pikiran mempengaruhi perilaku. Contoh tulisan Herbert Feith dan Lance Castle yang berjudul : Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965. (Jakarta : LP3ES, 1988).
b). Sejarah konstitusional. : Dari konstitusi suatu bangsa dapat diketahui filsafat hidup, dasar pemikiran waktu membangun bangsa, dan struktur pemerintahan yang dibangun. Dalam konstitusi juga terlihat kepentingan, konsensus, dan konsesi yang diberikan kepada masing-masing kepentingan. Contohnya ialah buku Herbert Feith. (1962). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca : Cornell University Press).
c). Sejarah institusional. : Isinya mengenai sistem politik dengan perangkat (lembaga, struktur, institusi), baik negara (kabinet, birokrasi, parlemen, militer) dan non Negara (ormas, orsospol, LSM). Paling banyak ditulis orang mengenai partai. Contoh : Ahmad Syafii Maarif. (1988). Islam dan Politik Indonesia pada Demokrasi Terpimpin. (Yogyakarta : IAIN Sunan Kalijaga Press).
d). Sejarah behavioral. : Ialah mengenai perilaku (behavior) negara dan partai-partai politik dalam sosialisasi gagasan, rekrutmen pemimpin/anggota, dan pelaksanaan tindakan politik termasuk dalam sejarah perilaku. Contoh : tulisan Clifford Geertz. (1960). The Religion of Java. (Glencoe : The Free Press).
e). Sejarah komparatif. : Isinya mengenai kajian komparatif tentang kehidupan politik di Indonesia. Contoh : tulisan R. William Liddle. (1972). Culture and Politics in Indonesia.(Ithaca : N.Y. Cornell University Press).
f). Sejarah sosial : Berisi sejarah kelompok-kelompok sosial (ulama, santri, pengusaha, petani, mahasiswa, dan pemuda) dengan aspirasi politiknya sesuiai dengan kepentingannya. Misalnya : Heru Cahyono. (1992). Peranan Ulama dalam Golkar. (Jakarta : Sinar Harapan).
g). Studi Kasus. : Ialah mengenai studi kasus-kasus politik. Contoh : Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI. (1997). Evaluasi Pemilu Orde Baru. (Bandung :Mizan).
h). Biografis. : Tentang biografi politik. Contoh : J.D. Legge. (1972). Sukarno : A Political Biography. (London :The Pinguin Press.
4. Pendekatan Psikologi dan Psikoanalisis
Dengan menggunakan pendekatan psikologi dan psikoanalis studi sejarah tidak saja sekedar mampu mengungkap gejala-gejala di permukaan saja, namun lebih jauh mampu menembus/memasuki ke dalam kehidupan kejiwaan, sehingga dapat dengan lebih baik untuk memahami perilaku manusia dan masyarakatnya di masa lampau. Terobosan pertama yang paling terkenal dalam menerapkan psikologi dalam (depth psychology) pada studi ilmu sejarah dilakukan oleh Erik H. Erikson. Ternyata konsep-konsep mengenai krisis identitas di masa remaja dapat digunakan untuk mengeksplanasi perilaku tokoh-tokoh sejarah terkemuka. Mengenai mengapa Martin Luther tampil sebagai reformator, Mahatma Gandhi menjadi seorang pemimpin gerakan anti kekerasan (non violence) di India, dan Adolf Hitler tanmpil sebagai seorang yang anti Semitis, serta Sukarno sebagai orang anti kolonialisme dan imperialisme, dapat dilacak kembali melalui analisis kehidupan tokoh-tokoh tersebut di masa remaja mereka. Dengan demikian pendekatan psycho history yang dirintis oleh Erik H Erikson telah membuka suatu dimensi baru dalam studi sejarah.
Pendekatan psycho history juga dapat dikembangkan menjadi konsep psikologi sosial (sociopsychological) untuk menjelaskan perilaku sekelompok anggota masyarakat. Tentu saja permasalahannya menjadi semakin kompleks. Richard Hostadter, misalnya, dalam karya tulisannya The Age of Reform (1955) berupaya menjelaskan bangkitnya gerakan-gerakan sosial pada Abad XIX dan XX di Amerika. Menurunnya status dan prestise masyarakat kelas menengah di Amerika pada peralihan menuju Abad XX mendorong tampilnya pemimpin-pemimpin gerakan progresif. Mereka bergerak dan melakukan perlawanan terhadap orang-orang industrialis kaya baru dan boss-boss mereka yang cenderung korup (Allan J.Lichtman, 1978 : 138).
5. Pendekatan Kuantitatif
Pendekatan kuantitatif adalah upaya untuk mendeskripsikan gejala-gejala alam dan sosial dengan menggunakan angka-angka. Quantum, quantitas dalam bahasa Latin berarti jumlah. Oleh sebab menggunakan angka-angka, maka pendekatan kuantitatif mempersyaratkan adanya pengukuran (measurement) terhadap tingkatan ciri-ciri tertentu dari suatu gejala yang diamati. Pengamatan kuantitatif berupaya menemukan cirri-ciri tersebut, untuk kemudian diukur berdasarkan kriteria-kriteria pengukuran yang telah ditentukan. Hasil pengukuran itu berupa angka-angka yang menggambarkan kuantitas atau derajat kualitas dari kenyataan dan eksistensi gejala alam yang diukurnya. Data-data angka hasil pengukuran dari gejala-gejala alam yang diamati itulah yang kemudian dianalisis, dicari derajat kuantitas, atau kualitasnya, dipelajari hubungannya antara gejala yang satu dengan lainnya, dikaji pengaruhnya terhadap suatu gejala, hubungan seba-akibatnya, pendek kata dianalisis sesuai dengan tujuan penelti.
Pendekatan kuantitatif dalam penelitian dan penulisan sejarah menghasilkan apa yang disebut sejarah kuantitatif (quantitative history). Sejarah kuantitatif pertama-tama dikenal di Perancis sekitar tahun 1930-an, yang mulai berkembang pada tahun 1949 dan 1950-an. Studi Crane Brinton (1930) mengenai keanggotaan partai Yakobin dalam revolusi Prancis, analisis Donald Greer (1935) tentang korban-korban masa Pemerintahan Teror pada dasarnya merupakan usaha-usaha kuantifikasi penulisan sejarah sosial (Harry Ritter, 1986 : 351-0352).
Menjelang tahun 1960-an sejarah kuantitatif mulai merembes ke Amerika Serikat dengan pertama-tama mengambil bentuk sejarah ekonometrik (econometric history) yang dirintis oleh sejarawan Lee Benson (1957, 1961) yang penulisannya diilhami dan didasari pada penerapan orientasi statistic dari-dari teori behaviorisme dsalam ilmu-ilmu sosial-politik. Beberapa penelitian mulai memperluas penggunaan analisis statistic, tidak saja dalam sejarah-sejarah ekonomu, politik dan sosial, melainkan juga dalam sejarash-sejarah cultural dan intelektual dengan menggunakan metode seperti halnya content analysis. Sejak saat itu karya-karya sejarah mulai dihiasi dengan gambar-gambar grafik, chart, table, persentase, bahkan kadang-kadang memasukkan komputasi statistic Kai-Kuadrat dan regresi.
Metode sejarah hingga sekarang lebih cenderung menggunakan pendekatan kualitatif. Harus diakui pendekatan kualitatif mengandung banyak kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu adalah bersumber pada tiadanya kriteria yang jelas dalam penyusunan instrumentasi yang digunakan untuk mengukur kebenaran data dan fakta, serta tiadanya kaidah-kaidah umum, apalagi khusus, dalam metode dan teknik menganalisis hubungan antar berbagai peristiwa sejarah, hingga dengan demikian dalam menganlisis hubungannya, lebih banyak ditentukan oleh intuisi dan imaginasi peneliti yang kadar kebenarannya tidak dapat diuji secarsa empirik. Generalisasi sejarah tak pernah mendasarkan diri pada infeerensi dari hubungan antara besarnya sampel dengan jumlah populasi.
Penggunaan pendekatan kuantitatif dalam metode sejarah dapat memperkecil kelemahan-kelemahan tersebut di satu pihak, dan dapat memperbesar bobot ilmiahnya dalam analisis peristiwa-peristiwa sejsarah di lain pihak. Penalaran berdasarkan tata-fikir dan prosedur statistik setidak-tidaknya dapat mengendalikan (mengontrol) analisis dan interpretasi berdasarkan pada pendapat-pendapat pribadi. Lebih jauh tata-fikir dan prosedur statistik dalam metode sejarah dapat membantu metodologi sejarah dalam mengefektifkan tugas-tugas ilmiahnya, ialah untuk memberikan penjelasan (eksplanasi), meramalkan (prediksi), dan mengendalikan (kontrol) terhadap gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa sejarah. Dalam melakukan generalisasi, dengan demikian, sejarawan harus menjadi lebih berhati-hati dan dalam menganalisis hubungan kausal yang kompleks dan rumit dari berbagai peristiwa kiranya tidak mungkin lagi dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan pendekatan kuantitatif. Pendek kata penggunaan pendekatan kuantitatif dapat mempertajam wawasan metode sejarah.
Sejauh menggunakan pendekatan interdisipliner diatas bukan berarti fokus kajian dalam penulisan nantinya akan mengarah kepenelitian ilmu sosial yang bersifat khusus, namun aspek sejarah lebih dikedepankan yang berdasar pada nilai-nilai fakta yang ada. Pengunaan konsep diatas lebih ditekankan hanya pada penyusunan data maupun penuturan Historis dan bukan berarti mempengaruhi arah kajian sejarah kearah kajian Sosiologis, Antropologis kearah Politikologis dan lain sebagainya.
* Yusuf, S.Pd (Guru SMA Negeri 1 Parado - Bima)

Tidak ada komentar: