Minggu, 25 Februari 2018

Pengantar Ilmu Sejarah

Pengantar Ilmu Sejarah 
Oleh : Yusuf, S.Pd (Guru Sejarah SMAN 2 Langgudu Kab. Bima)

Kata sejarah sudah tidak asing lagi di telinga kita. Apabila kita menjumpai atau mendengar kata sejarah, maka yang terbayang di sebagian besar kita adalah masa lalu, kekunoan, barang-barang dari jaman dahulu serta semua hal yang berhubungan dengan masa lalu, kuno, dan lapuk. Meskipun sebagian besar dari masyarakat kita menganggap sejarah tidak penting, tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah selalu menjadi hal yang paling disalahkan apabila terjadi tragedy pada perjalanan umat manusia.
Secara literasi sejarah berasal dari kata syajarah (bahasa Arab) yang berarti pohon, syajarah an-nasab yaitu pohon istilah. Sejarah dalam bahasa Inggris adalah history yang merupakan turunan dari kata historia (bahasa Latin) yang berarti orang pandai. Kata historia juga diartikan sebagai pengetahuan tentang gejala-gejala alam. Dalam perkembangannya sejarah lebih merujuk kepada aktivitas manusia di masa lampau.
Pada awalnya sejarah dimaknai sebagai cerita tentang peristiwa masa lalu. Sejarah dalam bentuk demikian bersifat naratif, artinya gambaran masa lalu disajikan secara lengkap meliputi urtan fakta beserta penjelasannya. Sejarah dalam bentuk tersebut pada umunya bersifat rinci dan kronologis tentang suatu peristiwa. Sejarah demikian lebih bersifat cerita bukan merupakan sejarah ilmiah, karena tidak menuntut penggunakan metodologi da teori.
1.           Sejarah sebagai Ilmu
Sejarah sebagai cerita masa lalu sering mencampuradukkan antara kenyataan sejarah dengan hal-hal yang tidak nayata atau dongeng. Pencampuradukan ini membuat sejarah sering pula disamakan dengan mitos atau legenda. Dengan demikian peristiwa sejarah menjadi kabur, sementara yang berkembang menjadi popular dan kemudian dipercaya sebagai suatu kebenaran sejarah oleh masyarakat sebenarnya hal yang bukan fakta sejarah.
Agar suatu peristiwa sejarah yang sebenar kisah yang “ditambahkan” maka aansejarahpada harus terletak pada kemampuan sejarah membuktikan kebenaran peristiwa sejarah yang dapat diuji secara ilmiah. Jadi sejarah harus membuktikan bahwa masa lalu itu benar-benar terjadi.
Sejarah sebagai ilmu harus membuktikan keobyektifan dan berlandaskan pada keberadaan serangkaian artefak, manuskrip, dokumen untuk membuktikan dan merekonstruksi peristiwa masa lalu. Dokumen, artefak, manuskrip adalah jejak yang ditinggalkan dari aktivitas manusia di masa lalu. Semua benda itu yang disebut sumber primer diteliti untuk dicari keterhubungan satu dengan yang lainnya sehingga menjadi fakta. Fakta-fakta kemudian diinterpretasi yang berakhir pada historiografi.
Sejarah sebagai ilmu adalah empirs, dalam kinerja sejarawan berdasarkan pada pengamatan, pengalaman dan penafsiran. Dalam hal ini peneliti sejarah harus mencari dan mengamati sumber, membandingkan keterangan dari satu sumber dengan sumber yang lain, melakukan klasifikasi informasi yang ada pada sumber, menarik fakta dan terakhir menyimpulkan. Semua kegiatan itu harus terekam dan dapat diuji berulang kali.
Salah syarat ilmu adalah memiliki obyek. Obyek ilmu sejarah adalah manusia, tetapi dalam hal ini yang dimaksud lebih pada aktivitas manusia di masa lampau. Dalam melakukan pengamatan atas obyek, sejarah tidak dapat melakukan pengamatan langsung selayaknya ilmu alam karena obyek kajiannya tidak dapat diamati secara langsung. Ilmu sejarah melakukan pengamatan atas obyek pene mereka berupa manuskrip, dokumen, atau artefak yang merepresentaskan kegiatan manusia di masa lalu. Jadi dalam hal ini obyek kajian sejarah adalah manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
Seperti halnya ilmu pengtahuan yang lain, ilmu sejarah juga mempunyai teori yang sering disebut filsafat sejarah kritis. Teori adalah hal-hal yang berkenaan dengan kaidah pokok keilmuan. Filsafat menyebutnya epistemology yang berarti pengetahuan tentang sesuatu atau obyek penelitian. Dalam hal ilmu sejarah obyek penelitiannya adalah manusia dalam waktu. Inilah yang membedakan sejarah dengan mitos. Dalam mitos tidak jelas waktu dari kejadian, sedangkan pada sejarah waktu menjadi suatu hal yang penting sehingga jelas kapan suatu kejadian itu berlangsung.
Sebagai kajian ilmiah, sejarah juga melakukan generalisasi atau melakukan penarikan kesimpulan umum. Berbeda dengan ilmu social yang menarik kesimpulan pada satu penelitian dan diberlakukan juga untuk obyek yang sama tetapi tempat berbeda sehingga kesimpulan di satu tempat penelitian dapat berlaku sama untuk tempat lain asal dalam kondisi yang sama, generalisasi sejarah sering berupa koreksi atas kesimpulan ilmu lain. Contoh Marx menggeneralisasi bahwa semua revolusi adalah perjuangan kelas (kelas buruh terhadap kelas majikan), tetapi dalam hal revolusi Indonesia bukanlah perjuangan kelas tetapi digerakkan oleh nasionalisme.
Seperti halnya ilmu lain, sejarah juga memiliki metode. Metode adalah langkah-langkah yang harus ditempuh seorang peneliti agar dalam melakukan rekonstruksi terhindar dari bias subyektifitas. Metode akan menuntun dan membatasi gerak peneliti sehingga kebenaran penelitian dapat dipertanggungjawabkan. Keberadaan metode pada ilmu sejarah membuat sejarah terbuka untuk diuji sehingga kebenaran sejarah lebih dapat diterima.
2.           Sejarah sebagai Seni
Ketika kita membaca sebuah karya sejarah, adakalanya kita merasa bosan karena redaksional karya yang kit abaca tidak menarik. Tetapi di pihak lain kita mendapati karya sejarah yang sangat enak dibaca sehingga kita tidak merasa sedang membaca karya sejarah ilmiah, tetapi kita merasa seperti membaca novel. Menarik tidaknya suatu karya sejarah sangat tergantung pada penulis atau peneliti sejarah.
Karya sejarah ilmiah harus berupa rekonstruksi data sejarah yang terpercaya dan andal. Seorang peneliti sejarah memiliki keharusan menguasai tehnik menelusuri dan mengumpulkan data atau dalam bahasa sejarah lebih dikenal dengan istilah sumber sejarah. Kemampuan, kejelian dan ketelitan peneliti sangat menentukan ketersediaan sumber sejarah yang menjadi bahan dasar untuk rekonstruksi sejarah.
Seorang peneliti sejarah ketika akan menentukan topic kajian penelitian tidak dapat hanya mengandalkan ilmu sejarah. Peneliti sejarah memerlukan ilmu lain untuk melihat sisi lain dari dinamika manusia yang belum dikaji dari masa lalu. Ilmu social (sosiologi) dan ilmu budaya (antropologi) sangat membantu dalam hal mencari kemungkinan topic penelitian sejarah. Melalui ilmu bantu pula memungkinkan keberagaman kajian sejarah sehingga memperkaya karya sejarah.
Namun tidak jarang peneliti sejarah juga memerlukan ilham atau intuisi untuk mengatasi hal itu. Dalam ilmu sejarah hal tersebut dibenarkan, bahkan intuisi diperlukan terutama ketika peneliti sejarah harus berurusan dengan minimnya sumber. Dalam kondisi demikian diperlukan ketajaman intuisi untuk menentukan sumber yang hendak dicari atau untuk memperkirakan keberadaan sumber.
Sehingga dalam hal ini ilham atau intuisi yang harus dimiliki oleh sejarawan bukan ilham atau intuisi yang dimiliki seorang pengarang. Dalam hal ini intuisi peneliti sejarah dibutuhkan dalam upayanya menelusuri sumber lain yang diperlukan penelitiannya. Karena itu intuisi yang dimiliki peneliti sejarah berjalan berdasarkan data yang telah dimiliki terdahulu. Jadi intuisi tidak muncul tiba-tiba, tetapi terkondisi berdasar atas data yang telah dimiliki peneliti. Dalam hal ini intuisi peneliti akan muncul ketika peneliti mendapati data yang dimilikinya kurang memadai atau dia merasa masih kurang. Maka peneliti akan berusaha keras memikirkan beragam kemungkinan di mana dia dapat memperoleh data. Jadi dalam hal ini intuisi lebih pada pemahaman sejarawan atas apa yang ditelitinya dan instinktif yang dilakukan selama penelitian berlangsung.
Selain intuisi seorang peneliti sejarah juga harus dapat berimajinasi. Imajinasi sejarah penting dikuasai karena penelitian sejarah berhubungan dengan masa lalu yang hanya sedikit meninggalkan jejak. Meskipun dokumen dari masa lalu yang menjadi kajian penelitian cukup banyak tidak akan mungkin rekonstruksi yang dilakukan akan sama persis dengan peristiwa yang sudah berlalu tersebut. Semakin jauh jarak obyek penelitian dengan ruang hidup  peneliti,  semakin  diperlukan  imajinasi.
Imajinasi yang dimaksud dalam sejarah adalah kemampuan membayangkan apa yang sebelumnya, sedang, dan telah terjadi pada masa itu. Dalam berimajinasi sejarawan harus tetap berpedoman pada data yang dimilikinya. Karena itu data menjadi penting. Dalam hal itu sejarawan dituntut untuk dapat membayangkan tidak hanya peristiwa yang menjadi obyek kajiannya saja, tetapi termasuk juga bentang geografis, latar budaya, latar sosial, ekonomi, politik dari obyek, masyarakat, dan lingkungan yang ditelitinya. Pemahaman akan ruang lingkup sosial budaya peristiwa yang menjadi obyek penelitiannya akan “menghidupkan” rekonstruksi sejarahnya. Me seorang sejarawan akan dapat merangkai hubungan antar pelaku sejarah dengan lingkungan sosial, budaya, bahkan lingkungan alam. Melalui imajinasi pula sejarawan dapat menempatkan para pelaku sejarah pada panggung depan, tengah, atau belakang dalam sebuah peristiwa sejarah.
Selain imajinasi, sejarah juga memerlukan sejarah sehingga karya sejarah tidak lagi membosankan. Namun demikian banyak yang berpendapat bahwa apabila sejarah ditulis dengan gaya novel maka akan kehilangan obyektivitasnya. Karya sejarah dengan pelibatan emosi banyak dihasilkan sejarawan Eropa terutama kajian jaman Romantik (abad 18-19). Penaklukan benua baru Amerika terutama pertempuran orang kulit putih dengan orang Indian banyak disajikan dengan model penulisan yang “melibatkan”-olahpembacahadirpadakejadiansehingg tersebut. Kajian sejarah budaya tepat apabila disajikan dengan gaya demikian, karena kita dapat “merasakan” dan dapat “menjadi bagia dengan emosi tersebut terutama penting untuk keperluan pewarisan nilai. Tentu saja kaidah ilmiah sejarah yang menuntut rekonstruksi berdasar atas sumber tidak boleh ditinggalkan.
3.           Guna Sejarah
Apakah sejarah berguna? Pertanyaan ini sering dilontarkan terutama oleh para siswa di kelas yang berpendapat sejarah tidak berguna karena tidak berhubungan dengan kehidupan mereka sekarang. Pendapat itu tidak salah. Namun demikian ada suatu realita yaitu banyaknya buku sejarah di toko buku, film sejarah yang dibuat baik untuk alasan komersiil maupun documenter. Akhir-akhir ini dunia pariwisata dimarakkan dengan wisata sejarah yaitu wisata dengan mengunjungi tempat yang menjadi ikon atas suatu peristiwa atau peradaban. Contoh wisata perkebunan kopi yang banyak ditawarkan oleh PT Perkebunan. Wisata itu tidak hanya mengunjungi perkebunan kopi tetapi juga akan menelusuri industry kopi Indonesia yang sudah dimulai sejak era colonial Belanda. Pengunjung akan diajak melihat mesin pengolah kopi dari masa perkebunan masih dikuasai pengusaha Belanda, bahkan ada pula mesin dari masa colonial yang masih dipakai hingga sekarang. Dengan demikian kita mengetahui bahwa tehnologi pengolahan kopi yang kita kenal sekarang diperkenalkan oleh Belanda pada era 1900-an. Itulah guna sejarah, salah satunya adalah untuk mengetahui dari mana suatu hal itu berasal atau dimulai.
Dalam hal guna, sejarah memiliki dua guna yaitu guna intrinsic dan ekstrinsik. Guna intrinsic adalah sejarah sebagai ilmu, sejarah untuk mengetahui masa lalu, sejarah sebagai pernyataan dan sejarah sebagai profesi; sedangkan guna ekstrinsik adalah sejarah sebagai pendidikan. Guna ekstrinsik sejarah sangat jelas tertuang dalam kurikulum mata pelajaran sejarah sejak tingkat SD sampai SLTA. Bahkan pada masa Orde Baru masih ditambahkan dengan penataran P4 yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa baru di universitas baik negri maupun swasta, dan pegawai negri. Dalam hal demikian sejarah dipakai sebagai media penanaman pendidikan moral dan politik.
Salah satu guna sejarah yang jarang dieksplorasi adalah sejarah sebagai pendidikan masa depan. Di Negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Cina, Inggris dan Eropa History of Future diajarkan di perguruan tinggi dan menjadi kajian penting. Keberadaan kajian sejarah masa mendatang dirasa penting demi kelangsungan peradaban dan bangsa. Kesadaran akan pentingnya sejarah telah membawa Negara-negara besar bertahan bahkan cenderung menjadi penentu dalam percaturan global. Pengalaman masa lalu dijadikan acuan untuk merancang masa depan yang lebih baik bagi umat manusia. Sejarah masa depan juga dipakai sebagai sarana untuk me selain berhubungan dengan eksplorasi semesta juga dipakai sebagai wahana supremasi Amerika dalam bidang tehnologi kedirgantaraan. Keberadaan mobil listrik di Eropa selain factor kebersihan dan kesehatan lingkungan juga sebagai wahana supremasi Eropa sebagai bangsa yang mendorong perubahan seperti yang telah dilakukan pada masa lalu (renaissance, merkantilisme, imperialism, kolonialisme dll).
4.           Pendekatan Sejarah
Pada tahun 1958 berlangsung Kongres Sejarah di Yogyakarta. Kongres ini bertujuan menulis sejarah Indonesia melalui sudut pandang Indonesia dengan pendekatan baru. Pandangan baru yang dimaksud adalah karya sejarah yang lebih menonjolkan peran orang kebanyakan dibanding berfokus pada orang-orang besar. Juga untuk mengganti sudut pandang sejarah Indonesia dari Nederlando centris kepada Indonesia centris. Sejarah Indonesia  yang  ada  adalah  “pembalikan”  dari  sejarah Netherland-Indie). Apabila dalam sejarah Hindia Belanda Diponegoro adalah penjahat maka dalam versi sejarah Indonesia era !950-an Diponegoro adalah pahlawan dan VOC-Belanda penjahatnya. Pembalikan tanpa control dan analisa mebuat sudut pandang tulisan menjadi satu arah. Perubahan sosial dan budaya masyarakat kebanyakan tidak terekam dan “tersisih” dari sejarah.
Karena itu dalam Kongres tersebut Sartono Kartodirjo sejarawan dari UGM mengusulkan penggunaan pendekatan ilmu-ilmu sosial untuk penulisan sejarah Indonesia agar lebih bisa menunjukkan kejadian yang mendekati kenyataan pada jamannya. Pendekatan ilmu sosial akan menawarkan dimensi baru yang dilewatkan oleh sejarah konvensional. Dengan penggunaan pendekatan ilmu sosial kelompok-kelompok marginal seperti buruh, petani, masyarakat desa, pedagang, mahasiswa/pelajar sampai bencana alam dan lingkungan akan menjadi perhatian dan dapat muncul pada panggung sejarah Indonesia.
Pemakaian pendekatan sosioligis dalam sejarah akan mengungkap segi-segi sosial dari peristiwa yang dikaji. Dalam kajian itu akan dieksplorasi hubungan sosial antar kelas dalam masyarakat, peran dan status, konflik-konflik sosial dan lain-lain. Secara metodologis pemakaian sosiologi untuk mengkaji sejarah bertujuan memahami subyektifitas perilaku sosial, memahami motivasi dan tindakan individu dalam peristiwa kolektif. Dalam hal ini teori sosial akan membimbing sejarawan mengidentifikasi factor-faktor yang menyebabkan suatu peristiwa terjadi. Contoh historiografi dengan pendekatan sosiologi adalah Pemberontakan Petani Banten 1888 karya Sartono Kartodirjo.
Pendekatan antropologi juga dapat dipakai sebagai alternative lain untuk mengungkap sisi lain sejarah Indonesia. Dalam beberapa hal hamper tidak perbedaan pendekatan antropologi dengan pendekatan sosiologi, karena keduanya sama-sama mempelajari masyarakat terutama bentuk sosial dan strukturnya. Namun demkian yang membedakan dengan sosiologi adalah obyek kajian. Pendekatan antropologi dipakai untuk mengkaji masalah-masalah budaya. Dalam menjelaskan perubahan masyarakat dalam waktu otomatis kita juga akan menggambarkan kehidupan budaya dan perubahan yang terjadi dalam kurun waktu sejarah tersebut. Dengan penelusuran budaya suatu kelompok masyarakat kita akan mengetahui gerak perubahan yang terjadi.
Ada empat metode antropologi yang dapat dipakai dalam rekonstruksi sejarah. Pertama metode asimilasi yaitu menjelaskan bagaimana proses saling menghisap unsure-unsur budaya dalam kontak budaya. Kedua metode fungsional menjelaskan bagaimana suatu kebudayaan pada suatu entitas masyarakat di wilayah tertentu secara lengkap dan sistematis. Ketiga metode fungsional dalam analisa tentang mitologi mempelajari ide, pemikiran, pandangan hidup yang menjadi sumber motivasi bagi kegiatan fisik dan spiritual masyarakat pemilik mitologi tersebut. Metode silsilah digunakan untuk mengumpulkan terminology kekerabatan pada bahasa tertentu untuk menganalisa system kekerabatan. Metode ini juga dapat dipakai untuk mengumpulkan data tentang segala hal yang berada di sekitar individu, bahkan dapat dipakai untuk menyusun kembali ejarah suatu kelompok masyarakat.
Pendekatan paling tua dalam penulisan sejarah adalah pendekatan politik. Historiografi dengan pendekatan politik sering disebut dengan sejarah konvensional sehingga sejarah identik dengan politik. Namun demikian apabila kita merujuk pada konsep politik modern maka penulisan sejarah dengan pendekatan politik tidak akan terjebak seperti karya sejarah politik konvensional. Apabila konsep politik diartikan sebagai distribusi kekuasaan maka maka kita akan bertemu dengan hakekat dan tujuan system politik, hubungan structural dalam system itu, pola perilaku individu dan kelompok dalam system, hokum dan kebijakan sosial, partai politik, kelompok kepentingan, komunikasi dan pendapat umum serta birokrasi dan administrasi. Dengan demikian sejarah dengan pendekatan politik tidak lagi berisi sejarah tokoh-tokoh besar.
Pendekatan ilmu lain yang dapat dipakai untuk merekonstruksi sejarah tidak terbatas pada ketiga pendekatan itu, tetapi masih banyak seperti ekonomi, geografi, ekologi, gender, feminism bahkan semiotic. Penggunaan beragam pendekatan untuk merekonstruksi sejarah akan memunculkan nua dan tentu saja akan menjadikan karya sejarah menarik, karena akan mengungkap sisi yang selama ini tidak dianggap sebagai kajian sejarah. Contoh Kebudayaan Indies karya Sapardi Djoko D menceritakan tentang akulturasi budaya Eropa-Indonesia dalam beragam hal mulai dari pakaian sampai arsitektur. Denys Lombart dengan karyanya Persekutuan Aneh memaparkan tentang kehidupan perempuan Tionghoa yang menjadi  “istri”  orang Batavia pada abad 16-17, bagaimana mereka menciptakan identitas baru karena secara sosial telah “dibuang” oleh masyarakatnya. menjadi ikon Jakarta yang selalu dikenakan none-none Betawi yaitu baju kebaya encim.

KEPUSTAKAAN
Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Burke, Peter. 2001. Sejarah dan Teori Ilmu Sosial. Jakarta: YOI
Kartodirjo, Sartono. 1993. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia
Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang 


Tidak ada komentar: